Bab 3

11.6K 74 2
                                    

Kegiatan berberesku di panti asuhan berakhir disore hari tepatnya pukul 4 , aku berniat segera pulang ke rumah tante Meli sebelum malam tiba. Sebenarnya bisa saja aku bermalam di panti, namun pagi-pagi sekali aku harus kembali ke kios karna harus bekerja.

“Bu, aku pulang sekarang ya.“

“Gak nginep sini aja?“

Aku menggelengkan kepalaku. “Enggak bu, kan besok masih kerja, takut terlambat nganter bahan lagi ke rumah juragan.“

Bu Maya menggeleng mendengar ucapanku yang memanggil pak Bahri dengan sebutan juragan.

“Yaudah kalo mau pulang langsung aja, keburu malem.“

Aku mulai beranjak dari tempat duduk, begitu pula dengan bu Maya. Tak lupa aku pamit dengan beberapa anak panti, mereka terlihat tak rela melihat aku yang harus pergi dari panti. Padahal hampir setiap hari aku kesini mereka masih saja bertingkah seperti tak akan menemuiku lagi.

Begitu keluar dari area panti aku langsung berjalan menuju pangkalan ojek disini, kalau pangkalan ojek didekat panti ini aku tidak memiliki tukang ojek langganan. Tukang ojek disini selalu berganti-ganti dan tidak pasti, aku bahkan curiga setelah ngojek mungkin mereka mati sangking seringnya berubah.

Ku coba memanggil salah satu tukang ojek yang sedang duduk menganggur, dia segera bangkit dan menuju motornya. Setiap kali aku naik ojek yang asing begini, aku selalu berdo'a didalam hati entah do’aku akan diterima atau tidak oleh Tuhan yang penting aku mengucapkannya terlebih dulu.

Untungnya tukang ojek yang aku tumpangi ini adalah tukang ojek murni, bukan begal atau perampok yang sedang berpura-pura dan mengambil uangku di tengah jalan. Kurang dari 20 menit aku akhirnya sampai dengan selamat dirumah tanteku, kulihat ada satu motor asing yang terparkir di depan rumah tanteku. Jantungku mulai berdetak kencang, bisa saja itu perampok yang masuk kedalam rumah dan mungkin menyandera tanteku. Langkahku tergesa-gesa masuk kedalam rumah, tanganku sibuk mengambil pisau yang berada didalam tasku, kubuka  paksa pintu rumah dan malah menemukan satu orang yang sempat membuatku kesal siang tadi.

Bang Kumar.

Sosok itu kini duduk sambil merokok diruang tamu, kakinya dia silangkan salah satu lengannya dia sandarkan di bahu sofa. Matanya kemudian melirik kearahku dan melihat tanganku yang membawa pisau.

“Kenapa lo ngos-ngosan gitu? Abis dirampok?“

Dengan santainya bang Kumar malah bertanya padaku. Tingkahnya sudah seperti berada dirumahnya sendiri, walaupun bukan perampok, bolehkan aku melempar pisau ini kearah bang Kumar?

“Eh? Pulang Na? Gak nginep panti?“

Tiba-tiba tante Meli datang dari arah dalam rumah dengan membawa nampan yang berisi kopi hitam yang aku yakin untuk bang Kumar. Tante Meli kemudian meletakkan kopi yang dia bawa di depan bang Kumar, dan duduk disampingnya.

“Enggak Tan.“

Aku tak mau berlama-lama diruangan yang sama dengan preman pelabuhan itu, maka setelah mengucapkan jawabanku pada tante Meli, aku langsung masuk rumah dan menuju kamarku.

Kubuka pintu kamar yang telah 5 tahun ku tempati ini, sebenarnya ini adalah kamar yang dibuat oleh suami tante Meli untuk anak mereka kelak. Sebelum mengalami kecelakaan dulu, tante Meli dan suaminya berencana untuk memiliki anak. Mereka sudah beberapa kali mencari dokter kandungan untuk program anak mereka, namun naasnya kecelakaan terlebih dahulu melunturkan harapan mereka. Begitu pula dengan ku, harusnya hari itu kami berlibur di sebuah pantai dikota ini dan kami malah berakhir diruang mayat rumah sakit.

Sambil berbaring aku memandang foto kedua orang tuaku yang terpajang pada dinding kamar. Tega sekali mereka meninggalkan ku duluan, jika hari itu aku ikut menjemput kedua orang tuaku mungkinkah aku bersama mereka saat ini?

Trsst (Tersesat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang