Bab 10

4K 21 0
                                    

Nyatanya bang kumar dirumah keluarga Bahri sampai siang hari, saat makan siang tadi, kulihat bang kumar ikut duduk diruang makan dengan pak Prama. Aku curiga bahwa bang kumar nampaknya hanya numpang makan disini.

Namun lagi-lagi bu Cintya tidak ikut makan, tapi sosoknya sudah bangun dari tidurnya, dan sempat menyuruhku untuk membuat kopi tanpa gula tentunya, untuk menjadi sarapan sekaligus makan siangnya.

Apa perut bu Cintya yang aku yakin sudah setipis kertas hvs itu tidak nyeri jika hanya diisi oleh kafein pagi dan siang hari? Jangan-jangan memang hanya kopi yang dia konsumsi selama ini.

“ Bu Cintya berat badannya mungkin setengah dari berat badan saya ya bu? “

“ ya gak mungkin kali na, dia kan bukan tengkorak aja! Ya kali beratnya kayak bocah SD. “

Iya juga sih bu Cintya memang tidak sekurus itu, hanya saja beberapa bagian tulangnya terlihat menonjol. Terutama dibagian bahunya yang lurus, ujungnya tampak begitu tajam, jika tidak sengaja bersenggolan, mungkin akan sakit menusuk badan. Kuperhatikan juga bu Cintya ini memang tak banyak bicara dan basa-basi, begitu ingin sesuatu langsung dia katakan, tanpa senyuman tanpa ada balasan.

“ Udah berapa lama sih mereka nikahnya bu? “

Bu Meta tampak mengingat-ingat kembali memory masa lampaunya.

“ Berapa ya?? 7 tahun..Udah lama tapi gak punya anak, kayaknya sih emang karna nikahnya cuma karna dijodohin. “

“ Beneran dijodohin bu? “

Bergosip seperti inilah satu-satunya kegiatan yang menyatukan ku dengan bu Meta.

“ iya na, duh dulu kan masih pada disini. Waktu mau dijodohin pak Prama marah-marah terus, kalo pulang malem mabok, kadang bawa cewek gak jelas. Bu selena sampe sakit sangking pusing ngadepin pak Prama yang terus-terusan nolak perjodohan itu, tapi akhirnya mereka nikah juga. “

Aku yakin pak Prama menerima perjodohan itu karna diancam tidak diberi harta warisan, seperti pada drama yang sering kutonton. Bahkan demi sebuah harta, orang disini rela menukar cinta dan kebahagiaan mereka.

Lama duduk mengobrol bersama bu Meta aku sampai lupa harus membereskan sisa gelas kopi yang kini mungkin sudah ditinggalkan bu Cintya. Segera saja aku bangkit dan pamit sebentar pada bu Meta. Tanpa curiga aku melangkah ke tempat bu Cintya berada saat menikmati kopi tadi. Saat sudah dekat, nyatanya bu Cintya masih duduk disana, pandangannya terlihat menatap kearah satu titik yang kulihat tak ada apa-apa didepannya. Kuputuskan untuk berbalik saja, tak mau mengganggu kegiatan melamun nyonya dirumah ini.

“ Kamu yang namanya Jana? “

Tak kusangka bu Cintya menyadari kehadiranku, efek kafein pada kopi nyatanya tidak membuatnya lengah dikala melamun. Aku segera berbalik dan menatap bu Cintya yang masih menatap pada arah yang sama.

“ I..iya bu. “

Suaraku sudah seperti murid SMA yang tertangkap membolos oleh guru BK mereka, ini pertama kalinya bu Cintya mengajakku bicara, tentu aku belum tahu betul karakter nyonya satu ini.

“ Udah tidur sama  Prama berapa kali? “

Mataku melotot dan rasanya hampir keluar, tenggorokan ku rasanya tercekat. tubuhku yang sudah tegang kini gemetar, pertanyaan itu bagai timah panas yang melesat kedalam jantungku.

“ mak.. Maksudnya bu? “

Kulihat tangan bu Cintya kini bersedekap, kepalanya sudah menoleh padaku. Rautnya yang sudah datar kini makin datar saat mendengar pertanyaanku.

“ Kamu bukan perempuan polos yang gak ngerti arti kata ‘tidur' yang saya bilang kan? Mau saya perjelas? “

Kepalaku kini makin tertunduk, tak berani memandang sosok yang dari langkah kakinya sudah berjalan mendekat kearahku. Dari pandanganku yang tertunduk kebawah aku melihat heels merah itu berhenti tepat didepanku.

Trsst (Tersesat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang