Bab 7

5K 38 0
                                    

Pekerjaanku sebagai babu dirumah keluarga Bahri nyatanya tidak segampang itu, kalau kemarin hanya pak Prama saja yang menikmati masakanku, kali ini semua keluarga Bahri sedang berkumpul dirumah ini dan tentunya membuatku harus memasak lebih banyak saat ini.

“ Bu, ini saya kerjanya selama pak Prama disini aja apa seterusnya? “

Ditengah kegiatan ku memasak aku menyempatkan diri bertanya pada bu Meta.

“ La kok tanya ibu? Terserah kamu sama yang gaji kamu dong na! “

“ Ini nanti kerjaan saya cuma masak aja kan bu? “

Bu Meta melihatku sekilas dan memutar bola matanya keatas.

“ Emang ini warung makan kerjaanya cuma masak makanan? Ya enggak lah na, kamu ya bantu ibu beres-beres sama nyuci. “

Beres- beres rumah sebesar ini??!

Memang benar kata orang, kalau sedang emosi tidak boleh asal mengambil keputusan. Seperti diriku kemarin yang asal setuju bekerja dirumah ini tanpa tahu job desk yang jelas dirumah ini, bahkan aku juga tidak tahu gajiku disini nanti berapa.

“ Tapi tenang aja na, bayarannya ma lumayan daripada kamu kerja dikios tantemu.”

Aku mau bekerja disini sebenarnya bukan hanya karna gaji saja, tapi karna memang ingin menjauh dari tante Meli dan tentu saja si penjahat kelamin yang mungkin kini sudah tinggal di rumah tante Meli.

Tak mau hari pertamaku bekerja kacau gara-gara memikirkan hal-hal dimasa lalu, aku segera menyelesaikan pekerjaan ku. Setelah semua makanan selesai kukerjakan aku meregangkan tubuhku sejenak, ini lebih berat daripada menghitung stok barang bahkan aku rasanya lebih mampu menghadapi ibu-ibu cerewet yang bertanya ini-itu tapi akhirnya tidak jadi membeli, ketimbang memasak dirumah keluarga juragan semacam ini. Bukan masalah memasaknya yang berat namun tekanan yang aku dapati saat acara sarapan keluarga ini dimulai.

Dari celah dapur lorong dapur yang menyatu dengan ruang makan keluarga ini, aku mengintip kegiatan keluarga Bahri sarapan pagi . Terlihat sosok Pak Jonathan Bahri, Ibu Selena, pak Prama dan sosok wanita cantik berperawakan kurus disamping pak Prama yang aku duga adalah sang istri.

Pemandangan yang kulihat saat Ini malah mengingatkan ku dengan apa yang pernah terjadi pada masa laluku. Aku pernah mengalami semua itu dulu saat ayah dan ibuku masih hidup, kami akan sarapan bertiga dengan menu yang sama setiap pagi yaitu nasi goreng terasi ala ibuku. Ditambah dengan telur mata sapi yang selalu ku protes karena bentuknya tidak seperti yang kulihat di iklan mie instan. Walaupun sarapan hal yang sama setiap hari kami tidak pernah bosan dengan menu  ibuku itu, malah saat ini aku rindu sekali untuk menyantapnya.

Mataku kembali melirik kearah orang kaya yang sedang menikmati sarapan mereka, memperhatikan ekspresi mereka dengan seksama, kalau-kalau aku menemukan raut yang tidak menyenangkan saat menyantap masakanku.

Sesi sarapan keluarga kaya ini sungguh membosankan tidak ada percakapan ataupun guyonan. Hanya suara denting sendok yang beradu dengan piring yang memenuhi ruang makan, aku sampai menguap sangking bosannya. Tapi salahku sendiri sih menunggui orang sarapan seperti ini, lagipula memang lebih baik makan dengan tenang bukan?

Hingga pada akhirnya ke-empat orang kaya didepanku ini menyelesaikan sarapan mereka dan pak Jonathan lah orang yang pertama kali bersuara.

“ Papa udah datengin panti asuhan bu Maya, dan bilang sama ibu panti rencana kamu buat adopsi anak. “

Mata pak Jonathan mengarah pada pak Prama yang masih mengelap mulutnya menggunakan kain yang telah disediakan diatas meja.

“ Kapan-kapan aku sama Cintya  bakal dateng langsung ke panti bu Maya, papa udah pilihin anaknya? “ kini kepala pak Prama menoleh sepenuhnya kearah pak Jonathan.

Trsst (Tersesat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang