Bab 6

5.7K 46 2
                                    

Senyum pak Prama semakin lebar setelah mendengar jawabanku saat ini, namun ada satu orang yang kini menatap tajam kearahku. Siapa lagi kalau bukan preman pelabuhan satu ini, Nampaknya julukannya sudah bukan preman pelabuhan lagi melainkan penjahat kelamin, ya sebutan itu lebih cocok untuknya.

“ Kapan kamu bisa mulai kerja? Hari ini bisa? “

Sebelum aku menjawab satu suara malah sudah mendahului ku.

“ Dia masih kerja sama tantenya, lo gak bisa ambil babu orang gitu aja. “

Setelah menyebutku lonte sekarang aku disebut babu, yang memang benar sih aku akan jadi babu juga. Tapi bisakah dia tau tempat sedikit kalau mau berkata seperti itu?

“ Enggak kok pak! Saya cuma bantu aja, udah ada BABU yang akan gantiin nanti. “

Sengaja ku tekan kata BABU sambil melirik tajam pada bang Kumar yang kini menaikkan satu alisnya padaku. Sungguh menyebalkan sekali raut wajahnya saat ini, lihat saja jika dibandingkan pak Prama sudah seperti langit dan comberan.

Aku jadi teringat tubuhku sudah dinodai oleh makhluk comberan itu, yang juga mengingatkanku bahwa tadi pagi bang Kumar mengeluarkan cairannya di dalam rahimku. Panik mulai menyerangku, tiba-tiba saja aku ingin segera pergi dari rumah ini untuk membeli pil kontrasepsi.

Pak Prama yang masih betah menatap ku menyadari bahwa aku gugup saat ini.

“ Kamu kenapa Jana? Kok jadi gugup gitu? Takut sama Kumar? Gak papa gak usah takut sama dia kalo ada saya.“

Sungguh peka sekali laki-laki kaya satu ini, memang benar yang membuatku gugup adalah bang Kumar, hanya saja bukan  karna takut dipukul, tapi takut kalau benihnya tumbuh di rahimku.

“ eh, enggak pak. Saya bisa mulai kerja besok pak! Hari ini saya pergi dulu. “

Tak mau menunda lagi aku langsung saja meluncur keluar dari rumah keluarga Bahri, untuk segera pergi ke apotek terdekat.

Langkahku tergesa-gesa menuju ke pangkalan angkot, menaiki salah satu angkot disana. Mataku terus mencari keberadaan apotik yang mungkin akan dilewati angkot yang kutumpangi ini.

“ Pak kiri pak! “

Beruntungnya aku menemukan satu apotek disisi kiri jalan, langsung saja aku hentikan angkot ini dan segera turun menuju apotek yang untungnya lumayan sepi. Begitu sampai kusampaikan pada sang apoteker pil yang aku butuhkan, tanpa berlama-lama lagi aku langsung mengambilnya tak lupa aku membeli air mineral di apotek itu untuk meminum pil ini langsung.

Perasaan lega sedikit kurasakan saat pil sudah sepenuhnya tertelan dalam perutku, meskipun aku tidak tahu pil ini nantinya akan berguna atau tidak.

**

Seperti yang kurencanakan, siang ini aku mengemasi beberapa pakaianku untuk pindah dari rumah tanteku ke panti. Biar saja, lagipula besok aku juga sudah tak bekerja disini kios tante Meli, rasa kecewa ku terhadap tante Meli membuatku nekat meninggalkan nya, aku merasa seperti dijual oleh tante Meli pada bang Kumar untuk menjaga tokonya tetap aman.

Jika ingin jual diri kenapa tidak dirinya saja sendiri?

Kedua orang tuaku pasti kecewa pada kami diatas sana, apalagi suami tante Meli yang sekarang sudah diselingkuhi. Aku jadi teringat sudah lama tak mengunjungi beliau dirumah sakit, jadi Kuputuskan sore ini untuk mengunjungi suami tante Meli dahulu sebelum nanti pergi ke panti.

Seperti biasa aku menggunakan ojek pak Sabirin untuk pergi ke rumah sakit, rumah sakit yang dipilih tante Meli untuk sang suami, bukanlah rumah sakit elite, tentunya rumah sakit yang mau menggunakan asuransi dari pemerintah dan untungnya mampu merawat suami tante Meli sampai sekarang ini, setahuku sih begitu.

Trsst (Tersesat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang