Bab 9. Seperti Kasmaran

564 16 0
                                    

Airin bergerak binal di atas tubuh Atar, memberikan kenikmatan pada suaminya. Meski ini merupakan hal baru bagi dirinya namun ternyata dia menikmatinya dan tentu saja suaminya itu juga sangat menikmati atas perlakuannya.

Atar bahkan tak segan memberikan pujian atas kehebatan istrinya, meski terkesan nakal dan binal namun Atar justru menyukainya. Istrinya terlihat panas dan semakin menggairahkan membuatnya tak tahan hingga kini kembali membalikkan posisinya hingga sang istri terkurung di bawah tubuhnya.

Kedua insan itu terus bergumul, melewati tiap detik jarum jam yang bergerak juga suara deras hujan yang menyamarkan desahan keduanya. Airin dan Atar kembali menyatu dengan panas dan gairah yang membara. Sebuah penyatuan yang terasa sudah sangat lama sejak peristiwa itu. Penyatuan yang mengungkapkan cinta, gairah sekaligus rindu yang terpendam dalam dada.

***

Atar membuka matanya perlahan, senyumnya merekah saat yang pertama kali dilihatnya adalah sang istri yang terlelap dalam pelukannya.

Atar memberikan kecupan-lembut di wajah Airin membuat tidur wanita itu terganggu dan perlahan membuka matanya. "Eungh... Kamu ngapain?" ucap Airin pelan seraya sedikit menjauhkan wajahnya dari Atar.

"Maaf... Aku bangunin kamu, yah?" ucap Atar dengan raut bersalahnya yang membuat Airin terkekeh geli.

Tanpa menjawab pertanyaan Atar, Airin menempelkan wajahnya di dada bidang Atar, menduselnya membuat suaminya terkekeh geli pada tingkahnya yang menggemaskan.

Atar membelai lembut punggung Airin, membuat kantuk wanita itu terasa kembali. Dengan lengan yang semakin erat melingkar di perut suaminya, Airin kembali memejamkan matanya.

Tampak senyum tipis di wajah Airin yang terpejam. Wanita itu merasa bahagia hubungannya dengan suaminya kembali menghangat. Dia berharap keputusannya untuk memberi Atar kesempatan adalah keputusan yang benar. Namun, bila suatu hari nanti lelakinya kembali mengulang kesalahan yang sama maka ia akan benar-benar menutup hatinya untuk lelaki itu.

Bagi Airin, cukup sekali dia memberikan kesempatan untuk suaminya. Dan bila pada akhirnya kesempatan itu tak digunakan dengan baik oleh Atar, setidaknya Airin sudah mencoba dan ia takkan menyesali keputusannya nanti.

Saat ini, Airin hanya akan menikmati waktunya yang tersisa bersama Atar. Entah itu dalam jangka waktu yang panjang atau sebentar Airin tak tahu. Ia akan menyerahkan dan memasrahkan segalanya pada sang pencipta. Apapun akhir dari rumah tangganya nanti ia percaya itu yang terbaik.

Takdirnya mungkin tak seberuntung pasangan harmonis di luar sana yang bisa menjalani pernikahan sampai ajal menjemput. Namun bukankah Tuhan tak akan memberikan cobaan pada seorang hamba melampaui batas sanggup hambanya?

Berbeda dengan Airin dan Atar yang tengah sama-sama menikmati kehangatan kembali rumah tangganya, di wilayah berbeda nan jauh dari Jakarta Diana tengah meringkuk sendiri di bawah selimut tebal tanpa ada kehangatan yang diberikan Atar seperti setahun terakhir.

Dalam tidurnya, wajah Airin berkeringat, air matanya menitik jatuh hingga membasahi bantal. Wanita itu memimpikan kehidupan selanjutnya tanpa seorang Atar.

Kini dia benar-benar sendiri. Tak ada keluarga juga tak ada kekasihnya yang selama ini menemaninya. Sedang untuk pulang ke keluarganya pun Diana tak ingin. Dia tak akan lagi mau mengulang kisahnya yang dulu. Mengemis dan terus menanti kasih sayang juga keadilan dari orang tuanya.

Airin terbangun dan langsung tergugu dalam tangisnya. Tubuh wanita mungil itu bergetar mengeluarkan isakan-isakan pilu bagi siapapun yang mendengarnya. "Atar .... aku butuh kamu, aku mau kamu..." Airin terus menangis dengan menggumamkan kalimat yang sama hingga kesadarannya menghilang.

AIRIN (Luka Yang Tersimpan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang