Bukan Kisahku |Cerpen|

654 2 0
                                    

Hidup itu menyeramkan. Untukku, orang yang ditelantarkan oleh seorang malaikat yang dinamakan ibu. Tubuhku terbaring di tembok dingin yang bau, kakiku memeluk lutut, berharap hangat menyelimutiku sedikit saja.

Satu tahun yang lalu, aku masih ingat saat ibu masih menatapku dengan kasih sayang yang tidak ada batas. Tapi setelah ibu bercerai dengan ayah, perlakuannya selama lima belas tahun itu bagai dua orang yang berbeda. Hidupku bagai dijungkir balik, gelap dan kelam.

"Sekolah" lirihku pelan, menatap cahaya terang yang masuk dari sela-sela jendela.

Tubuhku terangkat pelan-pelan, menumpu telapak tangan pada tembok dingin agar tubuhku terangkat. Aku bersandar pada tembok, menatap sekeliling. Tempat ini adalah puncak dimana ibu begitu marah, pengap dan gelap, mengurungku di gudang yang kosong. Tadi malam, ibu membentak dan menyeretku ke ruangan ini.

Aku tidak pernah tahu alasan kenapa ibu seperti itu, apa karena alasan ibu dan ayah bercerai? Aku bahkan tidak pernah diberi tahu. Sejak saat itu, tidak pernah aku mendengar cerita dari mereka, apalagi cerita tentang diriku.

Yang aku tahu hanya ibu selalu mencampakank dan tidak peduli padaku. Menganggap seolah-olah aku tidak ada disekitarnya.

Suara reyot pintu merampas pandanganku, membuat cahaya matahari masuk memperjelas tatanan barang yang sudah tidak terpakai terlihat jelas. Aku yang terduduk dipojok tembok menatap siluet seseorang dengan lemah, tubuhku benar-benar tidak bertenaga.

"Kamu masih ada disini?"

Suaranya berat, ini bukan suara lembut ibu yang aku tahu, meskipun sekarang tidak pernah lagi terdengar. Aku mendongak, menatap sosok laki-laki jangkung. Wajahnya menatapku iba, kentara sekali kalau dia mengasihaniku.

Aku perlahan ingat wajahnya, namanya adalah Gema Wijaya. Dan juga, orang yang pertama kali membuatku berdebar.

Gema adalah sahabat dekatku, mungkin, dia adalah orang baik yang Tuhan kirimkan untukku. Dan sebagai penghalang munculnya perasaan benci pada ibu. Karena lihatlah, separah apapun ibu mengecewakanku, dia selalu mengimkan orang baik untuk mengobatiku. Setidaknya aku harus tahu, kalau ibu pasti masih memikirkanku.

"Aku pengen keluar Gema" ucapku sayu "Di sini gelap, aku gak bisa lihat apapun"

Laki-laki itu tidak langsung membalasku, wajahnya seperti memikirkan sesuatu. Lalu, garis bibirnya mulai bergerak mengucapkan kata yang sebenarnya banyak jawaban namun aku sulit mengatakannya "Apa yang ingin kamu lihat?"

Gema tersenyum tipis, laki-laki itu seperti sudah tahu kalau aku tidak bisa menjawabnya.

"Aku bisa membawamu keluar, bahkan, aku akan mengajakmu berkeliling untuk memuaskan keinginanmu"

Senyumku terbit meskipun setiap garis wajahku terasa begitu sakit, aku tidak sabar untuk memenuhi perkataan Gema.

"Kapan? Apa sepulang sekolahmu?"

Suaraku kecil, hampir tidak bisa terdengar. Tapi Gema lagi-lagi menjawab perkataanku tanpa meminta untuk mengulang. Aku benar-benar bersyukur karena jatuh hati pada laki-laki seperti dia.

"Untuk hari ini aku bolos" ucapnya "Dan, alasannya karena kamu"

"Kenapa? Aku bisa menunggu" cegahku "Tapi aku tidak bisa ikut sekolah hari ini"

"Tidak apa" balasnya, ia berdiri kembali setelah menatapku sedikit lama "Aku akan membantumu kaluar"

Tangannya terentang dihadapanku, hanya melihatnya saja aku tahu kalau dia menyuruhku untuk menggandeng tangannnya agar aku bisa berdiri. Perlahan, aku keluar dari ruangan gelap itu dengan harapan terpenuhinya rasa sesak yang selama ini tersimpan.

Cerita Pendek & Puisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang