4. Minus Adab

147 7 13
                                    

𝐰𝐞𝐥𝐜𝐨𝐦𝐞 𝐭𝐨 𝐦𝐲 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐲!!!

𝐡𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐫𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐠𝐚𝐢𝐬!!
𝐡𝐨𝐩𝐞 𝐲'𝐥𝐥 𝐥𝐢𝐤𝐞 𝐚𝐧𝐝 𝐞𝐧𝐣𝐨𝐲 𝐢𝐭!!

𝐥𝐨𝐯𝐞 𝐲𝐨𝐮𝐮

─━━━━ ⋆ · · ❅ · · ⋆ ━━━━─

Nino menatap lekat kedua mata Alkina, sedetik kemudian ia tertawa. Alkina semakin mengerutkan keningnya.

Nino menetralkan tawanya, kemudian dia berkata, "apaansih, serius amat mukanya. Gue cuman bercanda kali." Ia mencubit hidung sepupunya itu, membuat Alkina jengkel dan langsung menendang perutnya, sayangnya tendangan itu ditangkis oleh Nino.

Azlan yang mendengar kegaduhan di sekitarnya pun berkata, "kalian gak mau masuk?"

"O-oh iya." Alnino dan Alkina hanya menggaruk tengkuk mereka yang tak gatal.

Keduanya pun masuk, Azka mempersilahkan mereka untuk duduk di sofa yang salah satu sisinya telah diisi oleh Azlan.

Azka pamit masuk ke dalam, dan diangguki oleh ketiganya. Azka pergi ke dapur, ia berniat untuk menyiapkan teh manis hangat. Hanya itu yang bisa ia suguhkan saat ini.

Alkina duduk di dekat Azlan, di tangannya terdapat sebuah benda panjang yang sering digunakan oleh tunanetra untuk membantu berjalan.

"Azlan, ini ada tongkat..., tongkat... apayah namanya?" Alkina bingung sendiri. Ia membalikkan badannya menghadap Nino.

"Nama tongkat ini apa, Bang?" tanyanya.

"Gak tau. Tongkat pedoman, mungkin," jawabnya. Laki-laki itu langsung mendapat hadiah dari sepupunya, berupa injakkan pada kakinya.

"Ah sudahlah, intinya ini tongkat bisa bantu lo jalan, supaya tau kalo ada benda atau sesuatu yang ada di depan waktu lagi jalan," jelasnya.

Azlan tau apa yang dimaksud Alkina, ia tampak bimbang, bingung harus mengatakan apa.

Kemudian ia bersuara, "maaf, gue... gak bermaksud menolaknya. Tapi dari kemarin, kalian udah banyak ngebantu, rasanya ngerepotin kalian banget. Padahal gue bukan siapa-siapa kalian," ucapnya.

Di wajah Azlan nampak tersirat suatu kebingungan, seperti ada ratusan pertanyaan yang ia simpan di dalam benaknya.

"Cuman itu alasannya?" Alkina menaikkan alisnya sebelah. Azlan hanya menjawabnya dengan anggukan.

"Bantu orang kan gak mandang siapa yang kita bantu. Jadi, lo harus terima ini," paksa gadis itu. Ia tak suka jika ada orang yang menolak apa yang ingin ia berikan.

Azlan termenung, bahkan ia tak sadar kalau Nino sudah memanggil-manggil namanya sejak tadi.

"Lan," panggil Nino untuk yang sekian kalinya, ia menepuk pundak Azlan. Membuat sang empu menoleh ke sumber suara dan sisi pundak yang ia rasakan.

"Ngomong-ngomong, orang tua lo mana?" tanya Nino. Alkina langsung menyikut lengan Nino. Namun Nino tidak paham maksud dari tindakan sepupunya itu.

Terlihat getaran di bibir Azlan, "I-ibu..." Azlan menjeda ucapannya, "udah udah di surga," sambungnya, wajah laki-laki itu kini terlihat sendu.

"Kalo Ayah-" belum sempat selesai, kalimatnya dipotong oleh teriakan adiknya dari dapur, "udah mati!!" sambung Azka.

"Azka!!" sentak Azlan.

"Apa? Azka gak berharap dia masih hidup." Azka keluar dari dapur, di tangannya terdapat sebuah nampan dengan tiga gelas teh di atasnya. Lalu dengan santai ia letakkan jamuan itu di atas meja.

BLIND LOVE || &TeamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang