Pisah rumah

394 55 4
                                    

Mari lanjut!
_____________

Bunyi klakson membuat Serena segera berjalan ke depan rumah. City car warna merah sudah terparkir di sana. "Buruan, Mbak!" teriak Tira, adik satu-satunya yang juga musuh bebuyutan tapi tetap disayang Serena.

"Sabar! Gue pamit ke Mama Lita dulu tadi." Serena segera menutup pintu mobil lantas memakai seatbelt.

"Udah bilang kita buru-buru jadi gue nggak bisa ketemu Tante Lita?" Tira melajukan mobilnya.

"Mama. Tante," tegur Serena sinis.

"Idih. Buat lo Mama, buat gue ya Tante lah. Mantunya kan elo, bukan gue, Mbak." Tira tergelak. Serena hanya memutar bola matanya malas, semalas ia menyanggah omongan adiknya yang seringnya ajak ribut.

"Mbak, si Romeo ke mana? Masih molor jangan-jangan?"

"Tuh tau. Segala nanya." Jawaban sinis Serena membuat Tira curiga.

"Lo berdua masih kayak musuh? Apa jangan-jangan sampe sekarang kalian belum tidur bareng?" lirik Tira sekilas sebelum kembali menatap jalanan di sabtu siang yang ramai.

Mereka akan ke mal untuk ke salon, makan, nonton dan belanja. Tira butuh baju baru untuk kuliah, Serena hanya menemani karena bajunya sudah banyak.

"Tidur bareng ya udah, lah, tapi nggak ngapa-ngapain."

"Lho kok bisa? Lo berdua yakin belum having sex?"

"Belum. Nggak minat." Serena melipat kedua tangan di depan dada.

"Wah kacau sih lo berdua. Kalau para orang tua tau apa nggak syok?"

"Ya lo jangan lemes, awas aja," ancam Serena seraya mengepalkan tangan ke arah Tira yang cengar cengir.

"Masalahnya di mana sih, Mbak? Emang kalian nggak saling suka? Gue malah lihatnya Romeo naksir elo udah lama tapi nggak jujur."

"Pret! Naksir apaan. Naksir buat ajak gue ribut. Lagian, Ra, gue nyesel kenapa buru-buru iyain ide konyol pernikahan itu. Lo tau dirut perusahaan tempat gue kerja, kan?"

Tira mengerutkan kening, coba mengingat apakah kakaknya pernah cerita.

"Lupa." Nah, kan, sudah bisa ditebak Serena.

"Pak Erik Melvin Sutejo. Gue pernah kenalin lo waktu temenin gue acara dinner kantor setahun lalu."

Tira manggut-manggut. "Yang mukanya agak-agak korea ya," sambungnya.

"Betul." Serena mengacungkan ibu jari ke hadapan Tira.

"Kenapa dia?"

Serena menarik napas dalam terlebih dahulu lalu menghembuskan cepat seolah menyesal akan sesuatu. "Dia suka sama gue, Ra. Dia jujur bilang kayak gitu."

"Eh gila! Dirut naksir elo! Kenapa nggak jujur dari dulu!" teriak Tira.

Serena memukul bahu kiri Serena. "Bisa nggak pake teriak, kan! Budeg gue nanti!" omel Serena.

"Sorry, Mbak, sorry," kekeh Tira.

"Waktu gue nikah sama Meo, Melvin lagi di LN, ada urusan kerjaan. Pas balik dia kaget tau gue udah nikah dan sama brondong anak tetangga, Melvin bilang kalau seharusnya yang pantas jadi suami gue itu ... dia."

Tira tertawa, "gentle banget tuh laki, keren."

"Makanya gue nyesel. Mana Mama Lita tanya kapan gue hamil. Gimana mau hamil, perkara anak itu bukan main-main, sedangkan pernikahan ini gue ngerasa kayak mainan. Gue sama Meo, gue pribadi sih, kalau nanti Tante Lita sembuh, mau cerai aja dari Meo."

Jodoh Satu RTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang