Serena tercengang saat melihat mewahnya apartemen yang katanya dibelikan untuk Romeo. Pemuda itu bersilang tangan di depan dada sambil bersandar pada meja bar yang ada di dalam unit tersebut.
"Meo, bagus banget!" puji Serena.
"Betah tinggal di sini, Tan? Gue nggak yakin," sinis Romeo.
"Dicoba dulu, lah. Lagian itu gedung kantor gue, kelihatan jelas dari sini. Kampus lo juga deket dari sini, halte busway di depan gedung ini. Kita di sini aja, deh!" ajak Serena girang. Pasalnya, semua akan mudah untuk aksesnya bekerja. Ia wanita metropolitan yang punya mobilitas tinggi juga gaya hidup layaknya wanita karir sukses walau sebagai aspri.
"Nggak deh. Gue nggak suka."
Romeo berjalan ke arah kaca besar mengarah ke pemandangan kota Jakarta pada malam hari.
"Kenapa lagi, sih! Ini tuh udah paling pas, Meo." Serena ikut berdiri di sisi kiri suaminya, ruangan kosong melompong, tak ada barang satupun bahkan kulkas. Sengaja dikosongkan karena memang apartemen itu hanya sebagai tempat Romeo suka menghilang sejenak dari orang-orang atau mengerjakan sesuatu yang penting.
Serena mendesah, kedua bahunya merosot karena kecewa batal tinggal di tempat high class seperti itu.
"Kita cari rumah aja, gue mau tinggal di komplek. Kalau bisa tetap di komplek orang tua kita juga," toleh Romeo. Ia melepaskan kemeja kotak-kotak yang dikenakan, ia lebarkan sebagai alas duduk lalu meminta Serena duduk melantai. Romeo bersila, kaos dalaman warna hitam membuat kontras terlihat jelas warna kulitnya yang putih.
Sesekali ia menyugar rambutnya dengan kelima jemari tangan. Jam tangan sporty, tak lupa dikenakan setiap harinya.
Kedua mata Serena memindah tubuh suami brondongnya yang tumbuh semakin matang. Jika ingat dulu ia pernah mengejar Romeo dengan sepeda karena iseng melempari dirinya dengan ranting pohon rambutan yang masih ada semut rangrangnya, atau menjewer telinga Romeo karena mendorong Tira hingga jatuh ke selokan, sekarang lelaki itu ada disisinya dan menyandang status sebagai suami.
"Bos lo suka banget sama lo, ya, Tan?" Pertanyaan mendadak itu meluncur cepat dari bibir merah Romeo.
"Tau dari mana lo. Sotoy." Serena duduk bersila, merapat ke Romeo tanpa ada maksud apapun.
"Cewek tadi, menurut lo gimana?" Romeo menatap Serena yang sedang menatapnya juga.
"Cantik, seksi. Kalah semok gue sama dia. Udah lama pacarannya?" Tangan Serena terulur merapikan lengan kaos Romeo yang terlipat. Romeo diam tak menjawab, ia malah terus menatap dalam Serena yang walau lebih tua darinya tapi bisa mengimbangi ia dalam bicara, bercanda, berantem bahkan bersandiwara.
Romeo menarik tengkuk Serena, membuat wajah istrinya begitu dekat dengannya. Ujung hidung keduanya bertemu, menempel dan Romeo gesek begitu pelan.
Serena mendadak panik, ia memegang lengan Romeo. Pikirannya menjadi hilang, apalagi saat Romeo mencium pipinya lama.
"Mau ajukan gugatan cerai kapan? Gue berubah pikiran, kalau memang kita harus pisah, gue mau baik-baik dan kita jelasin ke keluarga," bisik Romeo. Serena perlahan membuka kedua matanya. Romeo memberikan ciuman pada leher Serena, pelan namun dalam. Serena pasrah, tetapi mendadak berpikir kenapa Romeo mau diajak pisah, padahal katanya tidak akan melepaskannya.
Wajah Romeo ia sembunyikan di bahu Serena. Lalu kembali mengecup leher belakang istrinya.
"Gue tau lo nggak akan jatuh cinta sama gue, Ser. Sabar sedikit lagi sampai Mama gue sehat dan siap dengar kejujuran kita."
Romeo menatap Serena. Ia tersenyum sambil mengusap wajah istrinya dengan kedua ibu jari tangan. "Gue nggak pantes buat lo, Serena, gue sadar. Kuliah males, gue nggak sebanding sama lo yang--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Satu RT
RomanceTerpaksa menikah dengan pria lebih muda, membuat Serena uring-uringan tapi tak bisa berkutik. Apalagi ini menyangkut nyawa seorang Ibu. Mau tak mau ia terima perjodohan ini yang tinggalnya masih satu RT. Serena yang dewasa bertemu Romeo yang muda...