-3-

461 47 0
                                    

"Maacih, Mama Ayin. Echan mam banak-banak tadi. Echan puyang duyu, ya?" ucap Haechan setelah selesai memakai sepatunya dengan baik. Haechan meletakkan kedua tangan di depan tubuh, membungkukkan diri dengan hormat. Senyuman manis tercipta di bibir si mungil saat tubuhnya kembali ditegakkan. Haechan memamerkan deretan giginya pada Mama Irene dan Mark yang berdiri di depan pintu.

"Hati-hati ya, Sayang?" balas Mama Irene lembut, mencium pipi kanan Haechan dengan gemas. "Besok main lagi ke sini, oke?"

"Iya, Mama!" seru Haechan dengan nada ceria. "Maki, Echan puyang duyu, ya? Baba!"

"Hati-hati, Echan!" ucap Mark, membalas lambaian tangan yang Haechan berikan. Haechan tersenyum lucu, mengangguk, lalu berlari kecil keluar halaman rumah Mark menuju rumah di samping kirinya.

"Mama! Echan puyang!" Haechan berteriak sambil membuka pintu yang memang tidak terkunci. Madk memperhatikan Haechan dari pagar yang menjadi pembatas rumah keduanya.

"Echan, becok cekolah cama-cama lagi, ya?"

"Iya!" balas Haechan sebelum menghilangkan tubuh di balik pintu, menutupnya dengan sedikit kasar dari dalam.

Haechan membuka kedua sepatu yang membungkus kaki, meletakkannya di rak dengan teratur. Tangannya melepaskan tas yang sedari tadi disandang, berjalan menuju dapur. "Mama!" pekiknya, mencari keberadaan sang mana.

"Mama mana?" Haechan celingukan, berlari keluar dapur. Kalau tidak di dapur, biasanya mama Haechan berada di kamar. Haechan membuka pintu hati-hati. Mamanya berada di atas ranjang dengan mata terpejam.

"Mama," panggil Haechan pelan, menatap wajah perempuan yang sudah melahirkannya tersebut. Haechan dengan hati-hati naik ke ranjang, setelah menjatuhkan tasnya ke lantai lebih dulu. Mendekati tubuh mamanya, tersenyum manis.

Bibir penuh anak empat tahun tersebut mendekati pipi mamanya, memberikan ciuman basah di sana. "Mama," panggil Haechan lagi, setelah melepaskan bibirnya.

Tidak ada respons. Haechan mencebik kesal, memberikan ciuman basah bertubi ke seisi wajah mamanya. Berusaha keras agar mamanya mau membuka kedua mata. "Mama! Mamana Echan, bangun!" rengek Haechan, menepuk-nepuk pipi mamanya.

Usaha Haechan terlihat membuahkan hasil saat Yeri, mamanya melenguh pelan. Haechan sedikit memundurkan tubuh, tersenyum puas saat kedua bola mata yang tadinya terpejam itu mulai terbuka, kemudian mengerjap-ngerjap berusaha membiasakan diri dengan cahaya. "Mama!" pekik Haechan, memeluk leher Mama Yeri dengan kepala yang kini mengusak pipi mamanya.

"Haechan sudah pulang?" Mama Yeri tertawa pelan, menepuk punggung Haechan perlahan. Saat pelukan terlepas, Mama Yeri menyandarkan tubuh pada punggung ranjang. "Tadi main dulu, ya?" tanyanya saat mendapati jarum jam sudah menunjuk angka tiga.

"Echan liat Icung, Mama. Icung panas, cakit. Telus main cama Maki, mam uga di lumahna Mama Ayin," cerita Haechan. Haechan mendudukkan diri di pangkuan Mama Yeri, menatap dengan kedua bola mata polos, lalu tersenyum manis. "Mama bobo lama, napa? Mama cakit? Cakit cama kayak Icung, ya?"

Mama Yeri menggeleng pelan, tertawa mendengar pertanyaan Haechan. Dia tertidur setelah menyiapkan makan siang, berniat menunggu Haechan pulang, tapi malah terlewat. Pintu depan selalu tertutup, tapi tidak dikunci, karena Haechan bisa menangis kalau tidak bisa membukanya. Lagi pula, daerah mereka tinggal memiliki reputasi yang baik untuk masalah keamanan.

"Mama tidak sakit, hanya ketiduran saat menunggu Haechan pulang," jelasnya, tidak ingin membuat Haechan merasa khawatir.

Haechan mengangguk lucu, mencium pipi kanan mamanya cukup lama. Dia tertawa kecil saat mamanya membalas ciuman tadi. Kening, kedua kelopak mata, hidung, kedua pipi, lalu bibir penuh Haechan. Seisi wajahnya tidak lepas dari ciuman yang Mama Yeri berikan.

Echan and Friends [discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang