"Ehmm Kalian kapan mau menikah?" pertanyaan Widari yang tiba-tiba mampu membuat Gendhis, Imas, dan Mada terkejut.
"Kamu mau menikah Wi?" Mada bertanya dengan nada penasaran.
Widari hanya menghembuskan nafasnya.
"Wi kamu ndak papa?" ujar Imas yang khawatir akan raut wajah Widari yang terlihat sedih.
"Aku dipaksa menikah sama si mbok."
"Bukannya wajar ya karena kamu sudah 18 tahun?" ujar Mada.
"Yo aku sih ndak papa kalau nikahnya sama yang sebaya atau beda dua sampai tiga tahun, loh iki sama orang yang seumuran sama mbah putri, ndak mau lah aku," curhatnya dengan kesal, membuat Mada mengeluarkan tawanya, karena pernyataan Widari yang ternyata dipaksa nikah dengan umur yang hampir 70 tahunan. Refleks Widari menepak tangan kirinya Mada. Seketika tawa mada berhenti dan digantikan dengan ringisan.
"Ish piye toh, bukannya bantuin ngehibur, ini malah ngeledekin aku," ujar Widari kesal.
"Memangnya nikah sama siapa Wi?" tanya Gendhis serius.
"Itu mbah Agus," jawab Widari dengan nada yang semakin kesal.
"Mbah Agus yang perutnya buncit?" tanya Mada dengan raut muka terkejut dan hanya di balas anggukan oleh Widari.
"Mbah Agus yang jenggotnya putih, panjang?" tanya Imas menerka nerka dan dibalas anggukan oleh Widari.
"Mbah Agus yang istrinya banyak?" kini giliran Gendhis yang bertanya dan lagi-lagi hanya dijawab anggukan lemas oleh Widari.
Ketiga temannya itu syok, siapa yang tidak tahu mbah Agus manusia dengan sifat mesum, penggila wanita, sering nongkrong di warung pinggir yang banyak perempuan cantik dan tertarik dengan yang masih gadis untuk dinikahinya.
"Ya Allah Gusti kenapa dipaksa nikah?" Ucap Gendhis dengan nada melas.
"Si mbok terlilit hutang dengan kakek itu, dan si mbok ga punya uang buat bayarnya, lalu si tua itu menawarkan syarat kalau hutang si mbok akan lunas asalakan dirinya menjadi menantunya, dasar si tua udah kakek-kakek, ndak ngaca wajah sudah ndak enak dipandang masih saja pengen kawin," geram widari.
"Si mbok kenapa hutang sama kakek itu?" giliran Mada yang bertanya.
"Hufftt... Kalian tahu kan si mbok sudah tua kalau kerja berat badannya ndak kuat, gampang sakit-sakitan si mbok ndak punya uang buat berobat, terus si mbok memutuskan pinjam uang sama si tua itu sampai akhirnya hutangnya jadi gede karena ndak di bisa bayar," ucap Widari lesu.
Widari, ia hanya tinggal berasama si mbok ibunya yang kini usianya hampir setengah abad, suaminya meninggal pada saat penembakan masal oleh tentara belanda sekitar delapan tahun yang lalu, banyak korban yang berjatuhan terutama laki laki dewasa dan lansia sehingga Widari dan ibunya meninggalkan tanah kelahirannya.
"Jadi sekarang piye keputusanmu?" tanya Mada dengan nada serius.
"Yowes piye maning ndak ada jalan lain," jawab Widari sambil membereskan pakainnya.
"Menerimanya?" tanya Imas yang sekarang menatap Widari sungguh-sungguh.
"Yo kaburr," ucapnya dengan enteng. Ketiga temannya langsung melototinya.
"Edan kamu Wi," ucap Mada syok.
"Yo terus aku kudu piye? Menerimanya? Aku ndak mau!" sarkas Widari.
"Terus, kamu ndak kasian sama si mbok?" Imas membuka suara.
"Si mbok aja tega memaksa aku nikah sama si tua, dia juga ndak kasian sama aku," ujarnya dengan melanjutkan mencuci bajunya.
"Wi ndak ada orang tua yang tega sama anaknya," Gendhis menasehati temannya itu.
"Ada! Si mbok," Widari menaikan sedikit nada bicaranya.
"Yowes nanti kita omongin sama si mbok, kita akan bujuk dia supaya kamu ndak dinikahin sama mbah Agus," ujar Imas tersenyum
Mata Widari berbinar. "Beneran yo kalian akan omongin ini sama si mbok?"
"Nggih," ucap ketiganya serentak.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAVIA 1898
Historical FictionMata birumu yang membuatku betah menatapmu. Tindakanmu yang aneh namun membekas di ingatanku. Perkataanmu yang singkat tapi mampu membuatku terjerat. Aku tidak menyesal bisa mengenalmu Tuan.