KISAH PILU

23 4 0
                                    

"Ya ampun Mas, dari dulu ndak berubah suka sekali menggoda Ambar," ucapnya tersipu malu.

"Dulu aku yang pertama kali mendengar kabar kau tengah mengandung, rasanya campur aduk," Agib menatap dalam mata istrinya itu.

"Mas ingat saat kamu melahirkan Gendhis, kamu berjuang mati matian, Mas ndak tega melihat kamu kesakitan."

"Lalu jari jari tangannya yang kecil menggenggam jari telunjuk Mas," Ambar melihat mata suaminya itu sedikit berkaca kaca.

"Gendhis yang pernah Mas suapin, sekarang sudah bisa makan sendiri."

"Gendhis yang dulu mas bantu berjalan, sekarang lihat dia bahkan lebih cepat dari Mas," Ambar hanya mendengar ocehan suaminya dengan mata yang berkaca kaca.

"Gendhis yang dulu kita rawat sekarang sudah dewasa Ambar," tak terasa Agib meneteskan air matanya.

"Sekarang putri kecil kita tumbuh menjadi gadis yang cantik, seperti Biyungnya," Ambar menahan sesak di dadanya.

"Setelah menikah dia akan dibawa pergi oleh suaminya," tangis Agib pecah dia sudah tidak bisa menahan air bening itu turun.

"Sejujurnya Mas ndak rela anak yang kita rawat dengan penuh kasih sayang setelah dewasa akan hidup bersama laki laki lain."

"Dia ndak tahu bagaimana kamu hampir meregang nyawa saat melahirkan Gendhis, dia ndak tahu bagaimana kamu ndak tidur semalaman karena Gendhis sakit, dia ndak tahu bagaimana kita melewati hari hari yang pilu bersama Gendhis, dia hanya tahu Gendhis besar dengan wajah yang cantik," Ambar menangis tetsedu sedu mendengar ucapan suaminya.

"Mas hanya bisa berdo'a semoga Gendhis mendapatkan suami yang baik, yang bisa mencintai Gendhis melebihi cinta Mas pada Gendhis, yang bisa menyayangi Gendhis sebesar kamu yang menyayangi Gendhis," setelah mengatakan itu Agib mengusap air matanya dan mengajak Ambar untuk masuk ke dalam rumah karena sudah larut malam.

Gendhis termenung didalam kamarnya dan tak terasa butiran bening meluncur membasahi kedua pipinya,
benarkah Ayahnya berbicara seperti itu.

Gendhis tidak sengaja mendengar pembicaraan orang tuanya didalam kamar. Dia mendengarkan dari awal sampai akhir.

Gendhis tak menyangka Ayahnya itu
sangat menyayangi dirinya, dulu Gendhis berpikir Ayahnya tidak menyayangi Gendhis dan Ibunya, karena Ibunya berasal dari luar keraton. Tapi sekarang pikiran buruk semua tentang Ayahnya itu lenyap.

Gendhis teringat percakapannya bersama Ibunya saat berumur 12 tahun.

"Biyung apa mungkin Romo menikah lagi," ujarnya tiba-tiba.

"Hussh ngomong apa kamu Gendhis, ndak boleh berbicara seperti itu, Biyung ndak pernah mengajarkan kamu berbicara buruk tentang Romomu," ujar Ambar menasehati.

"Biasanya Romo satu minggu sekali balik kerumah ini sudah hampir 3 pekan Romo ndak ada kabar," ucap Gendhis meyakinkan Ibunya.

"Romomu sibuk mengurus keraton, nanti juga balik," ujarnya tersenyum.

"Biyung kenapa mau menikahi Romo?" tanya Gendhis penasaran, kenapa Ibunya ini sangat tegar mempunyai suami seperti Ayahnyaa yang jarang pulang.

"Karena Biyung mencintai Romomu, Romomu itu penyang Gendhis."

"Romo ndak penyayang, Romo galak, buktinya Gendhis ndak boleh main disungai sama teman-teman Gendhis," ujarnya kesal.

"Romo sayang sama Gendhis makannya Gendhis ndak boleh main disungai, takut terhanyut arus, Gendhis kan ndak bisa berenang."

"Tetap saja Romo ndak sayang Gendhis," ujarnya cemberut.

"Suatu saat nanti Gendhis akan tahu seberapa sayangnya Romo kepada Gendhis."

Ibunya benar, sekarang Dia percaya mengapa Ibunya sangat mencintai Ayahnya. Gendhis sekarang menangis dengan menahan isaknya hingga tertidur.

TBC

BATAVIA 1898Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang