Mata sebiru lautan itu mampu membuat Gendhis tersihir. Rambut coklatnya yang tersisir rapih kebelakang menyisakan beberapa helai rambut di dahi pria itu.
Jas putih dengan celana yang senada menambah kesan pria itu yang berwibawa.
Setelah Gendhis sadar pria itu tiba tiba melepaskan cengkramannya dan melangkahkan kakinya pergi meninggalkan tempat itu.
Gendhis hanya bisa menatap punggung pria itu yang semakin lama semakin hilang terbawa keramaian.
Gadis itu melihat sekitar ternyata sudah ramai para nelayan sudah mulai berdatangan, ia melihat keatas dan matahari sudah sedikit naik.
"Bisa bisanya aku ketiduran."
Gendhis bangkit dari tempatnya dengan hati hati, ia segera pergi meninggalkan tempat itu menuju penginapan.
"Pasti biyung sangat khawatir," ujaranya didalam hati.
Ia mempercepat langkah kakinya untuk segera menemui kedua orang tuanya.
Selang beberapa saat Gendhis tiba di penginapan. "Gusti ramai sekali," ujarnya terkejut.
Gendhis di buat gugup, ia sedikit menundukan pandangannya, salah satu alasannya karena ramai dan alasan lainnya karena hampir semua yang Gendhis lihat adalah orang-orang Belanda.
Gadis itu sedikit takut, lalu ia semakin mempercepat langkahnya melewati lorong panjang.
Yang ada dipikirannya ia harus segera sampai di kamarnya, ya hanya itu.
Gendhis terlalu sibuk dengan pikiran kacaunya hingga ia tidak sengaja menenggor bahu seseorang dari arah berlawanan.
"Maafkan saya, saya terburu-buru," ujarnya masih menunduk.
"Gendhis, ya ampun nduk kemana saja kamu, biyung dari tadi nyariin kamu."
Suara itu, Gendhis melihat orang yang dihadapannya, merasa lega karena ia bertemu dengan ibunya disini.
"Biyung," ucapnya sedikit lega
"kamu kenapa," ujar Ambar khawatir melihat raut wajah putrinya.
"Ndak papa, tadi Gendhis hanya keluar untuk melihat-lihat," Gendhis tersenyum lebar menghalau segala rasa takutnya.
"Yowes kita sarapan dulu, Romo sudah menunggu sedari tadi."
Ambar mengajak putrinya menuju tempat makan. Mereka memasuki ruangan yang sangat luas dan tentu saja sangat ramai.
Walaupun Gendhis tidak terlalu suka keramaian, untungnya sekarang ia bersama ibunya.
Gendhis sesekali melirik para orang Belanda itu makan dengan sangat lahap dan sesekali berbincang bersama.
Terlihat berbahagia, padahal ini bukan tanah tempat tinggalnya, makananya yang mereka makanpun hasil kerja keras penduduk pribumi.
Lupakan, ia sangat tidak suka orang-orang asing itu, menurut cerita dari teman-temannya, mereka itu sangat kejam, pemaksa dan tidak suka dibantah.
Gendhis memang belum pernah bertemu dengan orang Belanda, tetapi melihat dari rupanya saja sudah terlihat jelas, kulit putih rambut pirang, walaupun tidak semua orang Belanda pirang, contohnya pria yang menggenggam lengannya di perahu tadi.
Gendhis bingung kenapa pria itu tiba tiba menggenggam lengannya, dan dia diam saja, bukan apa apa hanya saja itu tidak sopan!
Gendhis saja tidak tahu dengan dirinya saat ini, mungkin kurang tidur menyebabkan pikirannya sulit bekerja.
"Nduk kenapa ndak di makan sarapannya?" ujar Agib yang sedari tadi melihat putrinya hanya diam tidak menyentuh makananya.
Gendhis sedikit bingung. "sejak kapan aku wes duduk di kursi?"
"Tuh kan melamun lagi."
"Gendhis," ujar Ambar memegang pundak putrinya.
"Nggih Biyung?"
"Romo bertanya kenapa sarapannya ndak di makan?"
"Gendhis sarapan diluar saja," ujarnya.
"Loh kenapa? Ndak suka?" tanya Ambar dan dibalas anggukan kecil oleh Gendhis.
Gadis itu belum pernah memakan makanan yang ada di hadapannya. Dan mungkin rasanya juga aneh mengingat bentuknya yang entahlah.
"Dicicipi dulu nduk, rasanya ndak terlalu buruk," ujar Ambar tersenyum.
Gendhis melihat makanan yang ada di hadapannya, tangannya mulai terulur mengambil makanan empuk tersebut dan mulai memasukan kedalam mulutnya.
'lembut dan manis,' itulah yang dirasakan lidah Gendhis.
Kini mereka sibuk dengan makanan yang ada di hadapannya. Tidak ada dari mereka bertiga yang mengeluarkan suara.
Gendhis buru buru menyelesaikan sarapannya, ia teringat hari ini tidak ada kegiatan, jadi Gendhis memutuskan untuk
pergi melihat-lihat lingkungan sekitar."Romo, apa Gendhis boleh keluar untuk melihat-lihat sebentar?" Gendhis berpikir ia tidak boleh melewatkan kesempatan untuk melihat lihat gedung Batavia, karena mungkin ini adalah pertama dan terakhir kali ia kesini.
"Monggo nduk," ucap Agib memberi izin putrinya.
Gendhis hendak ingin pergi tapi ayahnya memanggilnya.
"Gendhis."
Gendhis menoleh, lalu ayahnya menyerahkan kantung kecil yang berisi uang logam.
"Buat membeli sesuatu."
Ayahnya ini memang paling mengerti keadaanya yang membutuhkan uang. Tanpa ragu Gendhis mengambilnya dengan senang hati.
"Matur suwun Romo," Ujarnya lalu pamit.
"Mas apa ndak berlebihan?" Ambar membuka suara.
"Ndak papa sesekali," ujar Agib tersenyum ke istrinya.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAVIA 1898
Historical FictionMata birumu yang membuatku betah menatapmu. Tindakanmu yang aneh namun membekas di ingatanku. Perkataanmu yang singkat tapi mampu membuatku terjerat. Aku tidak menyesal bisa mengenalmu Tuan.