"Nduk ayo."
Suara Ibunya membuat Gendhis tersadar kembali.
Gadis itu pergi menuju delman yang sudah dipesan Ayahnya. Suasana yang gelap namun rembulan menyinarinya.
Gendhis melihat sekitar, ternyata tidak terlalu sepi, tidak seperti ditempatnya yang dini hari semua orang tertidur, lain hal dengan sekarang, banyak yang masih melakukan kegiatan.
Gedung-gedung yang besar dengan disinari rembulan menambah pemandangan yang sangat indah. Disana terdapat kanal-kanal kecil yang terkesan mewah.
Gedung bangunan yang disesuaikan dengan gaya Eropa barat, menyulap mata orang asing yang sedang menikmatinya.
Gendhis suka dengan Batavia, setelah sekian lama berangan-angan akhirnya tercapai untuk mengunjungi kota tersebut. Gadis itu tersenyum senang.
Setelah lama menunggangi delman, akhirnya mereka sampai di sebuah penginapan.
Agib dan Ambar turun kemudian membayar sekantong kain, mereka bertiga masuk kedalam hotel, aru saja menginjakan kaki di teras hotel, cukup sunyi hanya ada beberapa orang petugas hotel yang masih terjaga.
Gendhis dan kedua orang tuanya telah sampai di lantai atas, Agib membuka pintu kamarnya nomor 61 lalu menaruh barang barang mereka dan membereskannya.
Terdapat dua tempat tidur yang sepertinya muat untuk dua orang, didalamnya terdapat kamar mandi, lemari dan juga cermin meja. Ruangannya pun cukup luas.
"Nduk, bersihkan badanmu. Biyung mau membereskan ini dulu," ujar Ambar sembari membereskan barang barang yang dibawanya.
"Nggih biyung," ucap Gendhis masuk ke kama mandi.
Cukup lama dikamar mandi Gendhis akhirnya keluar menampilkan rambut yang tergerai basah dengan kemben yang dibaluti tapih.
Disana Ia hanya mendapati Biyungnya yang sudah selesai dengan Barang-barangnya.
"Biyung, Romo kemana?" tanya Gendhis yang sedari tadi tidak melihat keberadaan Ayahnya.
"Romo sedang berbincang dengan temannya."
"Sudah berapa lama?"
"Ndak terlalu lama, memangnya ada apa?" putrinya ini pasti mau sesuatu.
"Ehmm apa Gendhis boleh keluar sebentar untuk mengeringkan rambut," ucap Gendhis sedikit tertunduk.
"Memangnya kamu ndak capek?" Ambar khawatir dengan kesehatan putrinya, karena mereka baru saja melakukan perjalanan jauh.
Gendhis menggelengkan kepalanya. "Mboten Biyung, justru Gendhis ndak bisa tertidur."
Gendhis memang sulit tertidur jika berada di tempat baru, entahlah dia merasa kurang nyaman dengan lingkungan barunya.
"Yowes silahkan, tapi cepat pulang sebelum Romo mu kembali," ujar Ambar mengizinkan.
Gadis itu mengembangkan senyumnya mendengar Ibunya mengizinkan untuk keluar sebentar.
"Terimakasih Biyung," ucapnya lalu pamit.
Di sepanjang lorong, Gendhis tidak menemukan siapa siapa, terlihat suasana begitu sepi dan sunyi, mungkin semua orang sudah tertidur.
Gendhis melihat ruangan terbuka di ujung lorong dan memutuskan untuk pergi kesana.
Sesampainya disana, ternyata jika dilihat dari atas kota Batavia sangat menakjubkan, dia bisa melihat semuanya dari sini.
Gendhis menikmati angin malam Batavia yang menerpa kulit kuning langsatnya dan rambutnya yang terurai panjang bertebaran tertiup angin ombak.
Penginapannya memang dekat dengan pelabuhan, Gendhis tidak sabar ingin segera melihat laut yang biru itu, pasti sangat menyenangkan.
Membayangkannya saja membuat dirinya begitu senang. Gendhis memang sangat menyukai laut.
Jika memandang laut biru itu seperti dia mempunyai dunianya sendiri, sangat menghanyutkan.
Cukup lama berdiam disana Gendhis segera pulang kekamarnya, rambutnya pun sudah mulai kering.
Gendhis berjalan tergesa gesa, takut Ayahnya sudah pulang, pasti dia akan merecokinya jika tahu Gendhis keluar kamar malam malam.
Setelah sampai di depan kamar, Gendhis mengetuk pelan pintu tersebut.
Dengan perasaan was was, Gendhis akan pasrah jika dia dimarahi oleh Ayahnya.
"Nduk sudah pulang toh cepat tidur, Romomu akan segera balik,"
Gendhis bernapas dengan lega, ternyata Ayahnya belum pulang, kali ini keberuntungan memihak dirinya.
Gadis itu segera masuk menuju kasurnya dan memaksakan kedua matanya untuk terpejam.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAVIA 1898
Historical FictionMata birumu yang membuatku betah menatapmu. Tindakanmu yang aneh namun membekas di ingatanku. Perkataanmu yang singkat tapi mampu membuatku terjerat. Aku tidak menyesal bisa mengenalmu Tuan.