"Batavia? Kenapa kita pergi kesana?" tanya Gendhis sedikit terkejut.
"Eyang mu mendapatkan undangan penting di Batavia, tapi beliau ndak bisa datang karena sedang ndak enak badan dan Eyangmu ingin Romo menghadirinya," Agib menjelaskan kepada putrinya
"Eyang sakit?" tanya Gendhis cemas.
"Eyang sudah tua jadi ndak bisa berpergian terlalu jauh," ujar Agib menjelaskan.
Walaupun Gendhis tidak dekat dengan Kakeknya tapi ada rasa khawatir mengingat terakhir kali Gendhis melihat kakeknya 6 bulan yang lalu saat ulang tahun kakeknya yang ke 80.
Gendhis dan Ibunya memang jarang berkunjung ke Keraton, hanya hari besar atau pertemuan penting, karena keluarganya kurang akur dengan keluarga ayahnya.
Mungkin karena Ibunya orang biasa dan menikah dengan Ayahnya yang berdarah biru. Hanya Neneknya yang berlaku baik terhadap dirinya dan Ibunya.
"Ayo kita berangkat," ujar Agib.
"Tunggu Romo, Gendhis belum menyiapkan barang barang yang mau Gendhis bawa."
"Ini sudah Biyung bereskan semuanya," ucap Ambar tersenyum.
Gendhis tersenyum lebar menampilkan lesung di kedua pipinya.
Mereka bertiga berangkat menggunakan delman menuju stasiun.
Setelah lama menunggangi delman, mereka tiba di stasiun dengan kondisi langit yang mulai jingga. Gendhis turun dan melihat lihat sekitar, banyak sekali para pedagang makanan hingga barang barang dapur.
Gendhis pertama kalinya ke stasiun, dia terpana akan banyaknya orang orang yang berlalu lalang. 'ramai' satu kata untuk situasi saat ini.
Setelah Agib membayar upah, Agib mengajak Istri dan anaknya untuk langsung menaiki kereta.
Gendhis tersadar, sebagian besar orang yang menaiki kereta api adalah orang Belanda.
Kini Gendhis melangkahkan kaki dengan mengenakan kebaya putih dan kain batik pereng berwarna coklat, rambutnya yang hitam di sanggul rapih.
Agib bergegas membawa barang barangnya menuju gerbong kereta,
Disana mereka duduk di kelas 1 yang terdapat 3 kursi duduk.Gendhis duduk di dekat jendela lalu di sampingnya diisi oleh Ibunya dan disebelahnya lagi Ayahnya.
Sepanjang perjalanan Gendhis terdiam, Ia hanya menikmati angin yang berhembus melalui jendela kecil dan pemandangan matahari yang berwarna jingga kemerah merahan.
Sambil menikmati hembusan angin yang menerpa kulitnya, pikiran Gendhis teringat teman temannya.
"Kalau mereka tahu aku akan ke Batavia pasti mereka terkejut."
Tak terasa Gendhis mulai memejamkan kedua indra penglihatannya dan mulai tertidur lama.
Lama tertidur nyenyak, Gendhis terusik oleh suara Ibunya yang membangunkan dirinya.
"Nduk, bangun kita sudah sampai," Ambar menepuk nepuk pelan pipi anaknya.
Gendhis membuka matanya perlahan, ternyata sudah dini hari, dia menatap wajah Ibunya yang tersenyum.
"Romo kemana Biyung?" tanya Gendhis, Ia tidak melihat keberadaan Ayahnya.
"Romo sedang mengambil barang barang, ayo kita turun."
Gendhis bangun dari duduknya, dia merasakan badannya seakan remuk, mungkin karena duduk ber jam-jam.
Kesadaran Gendhis belum sepenuhnya terkumpul, Ia memaksakan melangkahkan kakinya keluar menyusul Ibunya hingga dari arah yang berlawanan Ia tak sengaja menyenggol seorang wanita berambut pirang.
"Maaf," Ucap Gendhis menyesal.
Perempuan bergaun putih selutut dengan rambut pirangnya yang di ikat menyerupai sanggul itu hanya tersenyum kepada Gendhis lalu segera pergi masuk kedalam kereta.
"Cantik," itulah yang ada di pikiran Gendhis.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAVIA 1898
Historical FictionMata birumu yang membuatku betah menatapmu. Tindakanmu yang aneh namun membekas di ingatanku. Perkataanmu yang singkat tapi mampu membuatku terjerat. Aku tidak menyesal bisa mengenalmu Tuan.