Keesokan harinya Gendhis bangun dengan keadaan mata yang membengkak.
Entahlah sekarang Ia sedang memikirkan perkataan Romonya tadi malam."Gendhis ndak apa apa kali ini saja, Romo ndak pernah minta apapun, sekarang sudah saatnya Gendhis membahagiakan Romo," Gendhis bermonolog dengan dirinya.
Gendhis bangkit dari ranjangnya, ia pergi mengambil peralatan untuk mandi disungai.
Dari rumahnya menuju sungai tidaklah terlalu jauh, Gendhis hanya harus melewati hutan yang sedikit rindang.
Gendhis berjalan menelusuri hutan, suasananya begitu sejuk hingga menyentuh kulit kuning langsatnya yang hanya berpakaian kemben putih dengan kain tapih berwarna coklat, rambutnya yang hitam panjang tergerai.
Gendhis tiba disungai, Dia melihat Mada yang sedang berendam didalam sungai.
"Mada."
"Eh Mbak, tumben mandinya pagi pagi," ujar Mada sedikit menepi.
Biasanya Gendhis mandi tidak sepagi ini, tapi sekarang Ia ingin mendinginkan badan dan juga pikirannya.
"Ndak papa pengen saja, kalau kamu Da? Ndak biasanya juga mandi pagi pagi," ujar Gendhis lalu ikut berendam.
"Terpaksa, karena nanti mau menemani Raka pergi ke ladang."
"Tumben Rakamu minta ditemani."
"Entahlah."
Keduanya cukup lama tidak mengeluarkan suara hanya arus sungai yang terdengar, sampai suara Mada memecahkan keheningan.
"Mbak kenapa?" tanya Mada yang memperhatikan temannya sedari tadi cukup pendiam.
"Ndak papa."
Temannya ini peka akan keadaanya, walaupun sedikit usil, tapi kalau keadaannya serius sikapnya langsung berubah seperti orang dewasa.
"Kalau ada masalah, Mbak bisa cerita ke Mada, Mada akan jadi pendengar yang baik," ujarnya tersenyum tulus.
Mada, wanita yang suka sekali menjaili orang terutama kakaknya, ternyata banyak menyimpan kepedihan. Kakaknya Panji adalah keluarga satu satunya yang Mada punya, kedua orang tuanya meninggalkan mereka berdua.
Dimulai dari Ibunya yang meninggalkan mereka 10 tahun yang lalu tanpa kejelasan, kemudian Ayahnya yang meninggal 5 tahun yang lalu karena sakit. Panji bekerja keras untuk menghidupi adiknya.
"Kamu kapan menikah Da?" Tanya Gendhis mengalihkan pembicaraan.
"Ih Mbak seperti Widari, jangan jangan Mbak mau menikah ya," goda Mada
"Mbak hanya penasaran, siapa yang mau sama bocah usil ini," Ujar Gendhis sambil memercikan air sungai ke arah Mada.
"Mbak mau tek gendorin?" ujarnya sedikit kesal
"Aku ini baru 18 tahun masih muda, masih banyak impian yang belum tercapai," ujarnya memandang langit.
"Kamu punya impian?" tanya Gendhis bercanda. Dan hanya di balas lirikan tajam oleh Mada.
"Kalau ada yang melamar sebelum impianmu tercapai bagaimana?"
"Ehmm kalau wajahnya rupawan seperti Arjuna bisa dipertimbangkan," ujar Mada tersenyum.
"Kamu ini," ucap Gendhis ikut tersenyum.
Gendhis dan Mada naik ke permukaan dan langsung mengganti baju mereka, setelah selesai mereka berdua meninggalkan tempat tersebut dan pulang.
Sesampainya dirumah Gendhis melihat Ayahnya yang berpakaian rapih sedang duduk diteras.
"Romo," ujar Gendhis menghampiri Ayahnya
"Nduk."
"Biyung kemana?"
"Ada di dalem, kenapa?" tnya Agib.
"Ndak papa."
Hening beberapa saat, Gendhis memberanikan diri menatap Ayahnya.
"Ehmm Romo, Gendhis akan menerima perjodohannya," Gendhis menatap Romonya tersenyum.
"Nduk, ndak usah dipaksakan," ujar Agib menatap putrinya.
"Tapi Gendhis sudah memikirkannya dan kali ini Gendhis mau membahagiakan Romo," ujarnya tersenyum.
"Yowes nanti kamu ikut Romo,"
Gendhis sedikit terkejut dengan perkataan Romonya, apakah Dia langsung dinikahkan.
"Kemana Romo?" tanya Gendhis penasaran.
"Batavia," ujar Biyungnya yang tiba tiba muncul membawa barang barang.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAVIA 1898
Historical FictionMata birumu yang membuatku betah menatapmu. Tindakanmu yang aneh namun membekas di ingatanku. Perkataanmu yang singkat tapi mampu membuatku terjerat. Aku tidak menyesal bisa mengenalmu Tuan.