58. Promise

2.8K 226 14
                                    









Tidak seperti hari-hari biasanya, hari ini Eila tampak murung. Sejak memasuki kelas, anak itu seolah tidak ada minat untuk mengikuti pelajaran atau sekadar berinteraksi. Ia juga menolak maju ke depan untuk bernyanyi, padahal biasanya dia yang paling semangat. Bahkan ketika diajak Anye, Lina, dan beberapa temannya yang lain untuk bermain, Eila lebih memilih duduk di bangkunya sambil menggenggam sebungkus Beng-Beng.

"Anak-anak," Miss Ajeng mendekat setelah sekian menit memperhatikan para muridnya yang mencoba membujuk Eila. "Kalian main dulu ya? Miss mau ngobrol berdua sama Eila."

"Oke, Miss."

Semuanya membubarkan diri.

Anye yang selalu dekat dengan Lina—selain Eila—berbalik meninggalkan kelas seraya berkata pada Lina di sebelahnya. "Nanti Anye yang beliin Eya cilor, Lina yang beliin es tehnya ya?"

"Okidah!" Lina menyatukan ibu jari dan jari telunjuk—membentuk huruf O.

"Aku nggak dibeliin?" protes Raffa.

Menyita perhatian Anye yang langsung pasang muka galak. "Sape lo?" sewotnya dengan gaya centil ala anak-anak TikTok.

Sementara Lina menjulurkan lidah dengan tampang mengejek. "Raffa seblak!"

"Lina papeda!" balas Raffa.

"Raffa sempolan!" Anye ikut-ikutan.

"Anye kopi!"

"Raffa banana roll!"

Kerandoman Anye dan kawan-kawan, menerbitkan senyum geli di wajah guru cantik yang baru saja melepas masa lajang tersebut. Hingga di detik kelima, para muridnya lenyap dari pandangan, fokus Miss Ajeng teralih pada Eila yang masih duduk cemberut—dengan sebungkus Beng-Beng di genggaman.

Perempuan berusia 25 tahun itu beranjak duduk di sebelah Eila. "Eila," panggilnya.

Eila tidak menjawab, namun kepalanya terangkat—menyambut tatapan sang guru.

"Itu yang dipegang Eila apa? Kayaknya enak deh," Miss Ajeng berbasa-basi.

"Ini Beng-Beng," Eila menunjukkan makanan manis di tangannya.

"Beli di mana sih? Miss sering lihat Eila makan Beng-Beng, tapi tiap Miss mau beli, Miss nggak tahu belinya di mana," pancing Miss Ajeng.

"Di walung ada," jawab Eila, dibarengi anggukkan. "Tapinya di Indomalet juga ada. Sama Apamat juga," beritahunya—meski dengan kalimat tak beraturan. "Tapinya ini Eya kemalen dibeliin Papa. Tapinya sekalang Papa tidak boleh dekat-dekat Eya."

Giliran Miss Ajeng yang mengangguk—sedikit paham. "Jadi karena Papa nggak boleh dekat-dekat Eila, makanya Eila sedih?"

"Betul sekali, Miss." Kelopak mata si bocah mulai berkaca-kaca.

"Mmm ..." Tubuh Miss Ajeng dicondongkan ke depan, agak membungkuk agar sejajar dengan sang murid. "Nggak boleh dekat-dekat, gimana?"

"Tadi Eya mau diantal Papa, tapi sama Mama tidak boleh. Telus Mama malah-malah, bicalanya pake nada tinggi. Eya tidak like, Miss," beber Eila, diakhiri gelengan tegas—menandakan bahwa anak itu benar-benar terluka atas keputusan ibunya.

Dan sebagai orang tua kedua, Miss Ajeng pun memberi pengertian. Sambil dielusnya punggung kecil yang tampak lemah itu dengan gerakkan lembut, iris bening Miss Ajeng menatap sisi wajah Eila yang terlihat cantik dan menggemaskan. "Oh, mungkin Mama khawatir kalau Eila dan Papa sama-sama telat. Kan kalau nganterin Eila dulu, otomatis sampai kantornya telat. Nah, kalau telat, pasti Papa ditegur bosnya."

Repair [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang