"Yang tadi itu pasien terakhir kita, kan?" tanya Bunga pada perawat yang menjadi asistennya untuk praktek hari itu.
"Iya, dok. Ibu tadi pasien terakhir kita," jawab sang perawat.
"Oke kalau begitu saya pulang dulu," pamit Bunga.
"Tumben dokter pulang agak cepat hari ini," tanya sang perawat.
Bunga melihat arloji yang ada ditangannya, dan benar waktu baru menunjukkan pukul 8 malam. Biasanya Bunga baru meninggalkan rumah sakit pada pukul setengah sepuluh malam.
Walaupun jam praktek telah usai dan ia juga sudah berkeliling bangsal, Bunga lebih memilih menghabiskan waktu di ruangannya hingga hampir tengah malam, sehingga ketika dirumah ia hanya tinggal istirahat saja. Hal itu terus berlangsung sejak pertama kali ia bekerja di rumah sakit ini. Dan hari ini untuk kedua kalinya Bunga pulang lebih awal.
"Saya mau makan malam di restoran langganan saya dulu. Lagi ingin makan tongseng ayam disana," ucap Bunga sambil tersenyum. Ia ingat dulu ketika masih kuliah ia sering menghabiskan waktu bersama sahabatnya, Rani di restoran itu.
Bunga berjalan keluar sambil mencoba menelepon sang sahabat. Sudah 2 tahun ini mereka tidak pernah bertatap muka karena sang sahabat kini berada di kota yang berbeda dengannya karena mengikuti suaminya.
Beberapa kali ia mencoba menelepon tapi tidak ada jawaban.
"Mungkin ia sudah tidur," batin Bunga.
Bunga terus berjalan menuju tempat parkir dimana ia memakirkan mobilnya. Bunga mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Lokasi restoran tidak jauh dari rumah sakit tempat Bunga bekerja, hanya membutuhkan waktu 15 menit saja ia sudah sampai.
Bunga turun dan berjalan perlahan ke dalam restoran. Tidak banyak perubahan yang tampak dari bangunan restoran, semuanya tampak hampir masih sama.
Bunga menaiki beberapa anak tangga lalu mendorong pintu masuk. Tak banyak pengunjung pada malam itu, sehingga masih banyak meja yang kosong. Mungkin karena sudah lewat jam makan malam juga.
Bunga berjalan lurus menuju meja yang berada di pojokan ruangan. Namun ketika ia sedang berjalan, seseorang menghadang jalannya.
Degh
"Bunga," panggil orang itu.
Bunga diam memaku. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya akan bertemu dengan pria yang ada di depannya saat ini.
"Bisa kita bicara sebentar?" pinta pria itu.
"Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi!" tegas Bunga.
"Ada! Please, hanya sebentar saja," ucap pria itu.
Bunga tampak berpikir sejenak sebelumnya akhirnya mengangguk dan berjalan terlebih dahulu menuju meja yang sejak awal menjadi tujuannya. Dibelakangnya disusul oeh pria tadi.
Kini mereka duduk bersebrangan. Pelayan pun datang menannyakan pesanan mereka. Bunga hanya memesan lemon jus, karena nafsu makannya kembali buyar setelah bertemu pria ini.
"Mau apa kamu, Malik?" tanya Bunga. Ya, siapa lagi yang membuat nafsu makan Bunga hilang kalau bukan pria yang sudah membuatnya terlalu sakit yang berada di depannya saat ini.
"Aku mau minta maaf, Bunga. Aku tau aku salah," ucap Malik sambil menundukkan kepalanya.
"Lalu?" tanya Bunga dengan nada datar.
"Aku tidak banyak berharap kalau kamu mau memaafkan aku. Tapi sungguh, aku terpaksa menikahinya."
"Terpaksa? Padahal dia sudah hamil anak kamu?" tanya Bunga dengan tersenyum remeh. "Setelah kamu melamarku malam itu, lalu kamu menidurinya? Pria macam apa yang ada di depan aku ini."
"Maaf. Tapi sungguh, aku tidak sengaja. Kami berdua dalam pengaruh alkohol pada malam itu," jelas Malik.
Bunga yang mendengarkan pengakuan Malik langsung memejamkan matanya. Sakit. Dadanya langsung terasa sesak. Kemudian Bunga kembali membuka matanya dan menatap tajam ke arah Malik yang masih menundukkan kepalanya.
"Apa menurutmu aku begitu gampang? Apa menurutmu aku begitu bodoh, sehingga kamu dengan mudahnya tidur dengan wanita lain setelah kamu melamarku?" tanya Bunga dengan bibirnya yang bergetar.
"Maaf," ucap Malik lirih.
"Kamu tau betapa susahnya buatku untuk menerimamu, memulai hubungan baru lagi. Tapi setelah aku kembali membuka hatiku, mencoba menerimamu utuh dalam hatiku dan mulai mencintaimu, kamu bahkan menghancurkannya lebih parah dari sebelumnya, Malik. Tahukah kamu?"
Malik hanya terus menunduk. Ia tidak berani menatap wajah wanita yang ada didepannya saat ini. Matanya kinipun sudah memerah.
"Apa selama ini kamu sakit hati padaku karena aku seperti mengabaikanmu? Membuatmu merasa seperti cinta sendirian, sehingga kamu membalasnya dengan cara seperti ini? Ya, Malik kamu berhasil. Kamu tau, hanya dengan waktu 2 bulan aku sudah mulai benar-benar mencintaimu. Dua bulan ini aku mencintaimu, Malik. Tapi untuk sekarang, cinta itu sudah hilang tak bersisa sedikitpun!"
Malik mengangkat wajahnya. Menyesal. Itu yang ia rasakan saat ini. Akhirnya sang wanita pujaan yang selama ini ia cintai, akhirnya membalas cintanya. Namun, cinta itu langsung hilang seketika karena kebodohan satu malam yang ia lakukan.
"Maaf." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Malik. Penyesalan selalu datang diakhir.
"Kamu yang menyembuhkan lukaku yang sebelumnya, tapi kami juga yang akhirnya membuat luka itu menganga kembali, bahkan lebih lebar dari sebelumnya."
Bunga memejamkan kedua matanya sehingga air mata yang sejak tadi tertahan kini menetes membasahi pipinya.
"Aku ingin kamu hidup dengan tidak bahagia!" lirih Bunga.
"Aku ingin kamu menangis setiap malam. Aku ingin kamu menangis setiap kamu memikirkan aku.
"Kamu tahu, aku merasa seperti ingin mati dan selalu merasa marah setiap kali aku memikirkanmu. Aku ingin mati, Malik. Agar rasa bersalah itu menghantuimu sampai kamu mati," lirih Bunga.
Air mata Bunga menetes semakin deras dengan suara yang tertahan. Begitupun dengan Malik. Pria yang terkenal dingin dan batu bagi yang mengenalnya, kini ikut meneteskan air matanya.
Pria itu tahu betapa dalam sakit yang ia torehkan untuk Bunga. Ia tidak bisa berkata apa-apa ketika Bunga menyumpahinya. Ia merasa hal itu pantas ia dapatkan. Tidak pernah bahagia.
Bunga berdiri dari duduknya setelah mengeluarkan selembar uang merah ke atas meja.
"Aku harap ini adalah pertemuan terakhir kita. Aku juga minta padamu, katakan pada istrimu untuk mencari dokter dan rumah sakit yang lain. Aku tidak ingin bertemu dengan kalian berdua," kata Bunga.
Setelah mengatakan itu, Bunga langsung berlalu meninggalkan Malik yang masih diam dan menangis di tempat duduknya. Beruntung mereka duduk dipojokan dan ia duduk menghadap dinding sehingga tidak ada yang bisa melihat kondisinya saat ini.
Malik menunduk semakin dalam ketika rasa sesak semakin mendera dadanya. Ia mengusap kasar wajahnya. Malik juga mengeluarkan selembar uang merah ke atas meja dan segera menuju mobilnya.
Didalam mobil Malik memukul stir mobil berulang kali dengan keras. Ia juga memukul dadanya yang semakin terasa sesak. Kini suara tangis Malik menguasai mobil miliknya. Kondisi yang sama juga terjadi di mobil Bunga.
Masih di dalam area parkir restoran, Bunga menangis keras di dalam mobilnya. Rasa sesak itu kembali muncul setelah melihat Malik. Rasa benci kini menjadi dominasi setelah sebelumnya dengan susah payah ia menumbuhkan rasa cinta itu. Apakah ia tidak pantas untuk dicintai, sehingga selalu dikecewakan dengan cara prianya menikahi wanita lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga
RomanceBunga Jelita harus kembali menelan pil pahit ketika pria yang selalu meyakini dirinya bahwa ia berbeda dengan mantan kekasih Bunga dulu, kini malah membuat trauma Bunga semakin menjadi. Bunga yang akhirnya melabuhkan cintanya kembali setelah melihat...