CHAPTER 7 || Gerbang Pembatas

32 4 0
                                    

Untuk pertama kalinya bagi laki-laki rumahan seperti Gilang keluar malam tanpa kendaraan. Menapaki jalanan yang sepi, laki-laki itu spontan menghentikan langkah begitu merasakan ada seseorang—ah, beberapa orang mengikutinya di belakang.

“Keluar!”

Terancam ketahuan, tentu saja mereka yang awalnya mengikuti Gilang diam-diam, sekarang dengan terang-terangan menunjukkan diri. Salah satu dari mereka maju—mendekati Gilang, yang baru saja berbalik dan fokus menatap mereka satu per satu.

“Di mana Nathalia?” tanya Pria tersebut.

Alih-alih menjawab, Gilang justru hanya menyunggingkan senyum smirk. Lalu tanpa basa-basi kembali berbalik—mengabaikan keberadaan pria-pria yang sudah tidak asing lagi baginya.

Kesal karena diabaikan dan ingin ditinggal pergi, mereka kompak maju dan siap melayangkan tinju ke wajah tampan bocah ingusan tersebut. Tapi, tentu saja Gilang tidak akan membiarkan wajah tampannya bonyok sia-sia. Bermodalkan bela diri yang dikuasainya bersama Nathalia, Gilang dengan gesit menghindar dan balik memberikan tinju kuat pada seorang pria berambut klimis.

“Kalau berani maju satu-satu!” ucap Gilang, yang sebenarnya tidak ingin dikeroyok. Well ... modelan Nathalia saja babak belur, apalagi dirinya yang ilmunya masih sedikit di bawah. Oh, tentu saja ia harus mensejahterakan diri baik jiwa dan raga, ya kan?

Sesuai intruksi, satu per satu pria maju melawan. Gilang tersenyum puas dalam hati, tak menyangka jika omongannya akan didengar. Dan kali ini giliran dirinya yang harus membereskan hama-hama pengganggu.

“Arrgh ... kuat bener ni Bocah.” Pria yang paling besar berucap lirih. Yang diangguki oleh pria di sampingnya.

“Iya. Gue kira cuma si Alia doang yang bisa tinju,” sahutnya, sembari mengibaskan tangan yang ngilu-ngilu. Sial. Gilang benar-benar nyaris mematahkan jari-jarinya.

Sementara itu, Gilang masih ingin melawan dua pria lainnya. Akan tetapi, mereka buru-buru mencegah. “S–stop! Kita cuma mau tau di mana Nathalia, bukan mau berantem.”

Gilang mendengkus. “Gak ada,” jawabnya. “Nathalia tinggal di Asrama dan nggak akan pulang dalam waktu dekat. Lagian Om-om ini demen banget ganggu, Al. Udah dibilang Al nggak mau, udah jangan dipaksa. Bilang sama Bos kalian, jangan ganggu Nathalia lagi. Paham?”

Usai dengan kalimat panjangnya, Gilang pergi begitu saja. Lelaki itu menghela napas panjang, merasa lelah dengan keadaan rumit yang menimpa keluarga sepupunya.

***

“Gagal, Bos.”

Empat orang dalam ruangan kerja itu menunduk, tak berani mengangkat kepala atau sekadar bergerak memukul nyamuk. Mereka terlalu takut dengan sang Bos yang wajahnya tampak keruh sekarang, Bara Alexander.

“Nathalia di Asrama?“

“I–iya, Bos. Gil—Tuan muda Gilang bilang seperti itu,” ucap salah satu di antaranya. Pria tersebut tampak meringis, hampir salah sebut.

Bara Alexander yang tidak lain adalah ayah biologis si kembar Nathalia dan Nathaniel mendengkus, lantas mengibaskan tangan sebagai gestur jika mereka bisa keluar.

Tak lama setelah bawahannya keluar, pintu ruang kerja kembali dibuka, kali ini oleh Dea—Istrinya, yang baru saja pulang dari acara kumpul para wanita sosialita.

ALLEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang