Fatimah Siuman

51 31 3
                                    


****

Pak Rauf datang ke ruangan membawa bedongan bayi berwarna coklat, Pak Rauf mendekatkan bayi itu ke tubuh tak sadar Fatimah yang masi dengan peralatan bertahan hidupnya yang sebelumnya.

"Cantik, namanya siapa?", tanya Ian seyu dengan mata yang masi merah sembab.

"Aisyah, agar sholehah seperti istri Rasulullah kelak".

"Aisyah, kamu cantik sekali", kata Ian mengelus pelan pipi merah bayi itu yang bergerak gerak, ia memiliki hidung yang mirip dengan sosok yang Ian kenali.

Tut

Tut

Tut

Tangan kecil Aisyah berusaha menggapai Fatimah lebih dalam, ia merangkak kecil dan mengeok elokan mulutnya tak bersuara.

"Ais syah?".

Fatimah yang baru saja berucap?.. Ian menaik pandangan wajahnya yang awalnya menunduk, Fatimah sadar!..

"Kak Imma... ". Ian bergumam pelan penuh syukur dan lega luar biasa.

"MasyaAllah.. ". Fatimah tersenyum menitihkan air mata dari pelupuk matanya. Suaranya benar benar serak dan terasa akan habis, tangannya naik ingin mengelus kepala Aisyah yang bulat.

"Huh... ". Nafas Fatimah masi terdengar memberat.

"Kenapa Imma, mana yang sakit?", tanya Pak Rauf tanggap.

Pandangan lemah Fatimah kini naik melihat Ian, ingin menggenggam tangan Ian. Segera Ian faham ia menaikkan kedua tangannya agar Fatimah mampu menggapainya.

"I Ian... ", Fatimah berucap lemah dengan nafas serta kedipan mata yang sayu. "Ya... Ian disini Kak".

"Pak Rauf panggil dokter!". Ian melihat kondisi Fatimah yang nafasnya tersenggal dan matanya mulai mengsayu lebih dalam.

Namun pergerakan Pak Rauf terhenti atas gelengan cepat Fatihah.

"No iann... "

Ian menarik nafas yang terasa begitu sulit juga masuk rasanya, Ian melotot panik. "A aap", Ian merasa dunia bagai berhenti saat itu juga. Fatimah meraih tangan suaminya,

"Mas Rauf... ".

"-Iya Imma, Mas disini."

Kedua tangan Fatimah yang pucat pasi dingin dan lemah itu mendekatkan tangan keduanya.

"K kalian, ber sa ma, jaga Aisyah.. ".

Ian terkejut, air mata mengalir begitu saja dari pelupuk matanya sudah tak terasa lagi.

Ian menggelengkan kepalanya perlahan, "Kak Imma... " decit Ian membuat Fatimah tersenyum kecil.

"Ian sayang sama aku kan... ". Fatimah berucap sayu, Ian menutup mulutnya dengan tangan satunya menahan isakan yang semakin terasa memuncak.

"Ha... T tun tut aku". Nafas Fatimah semakin tersenggal berat bersama mata Fatimah yang mulai tidak selaras.

"Ashadu.. Ala Ilaha Illallah... WA ashadu ala Muhamadan Rasulullah".

Mata Fatimah perlahan tertutup dan genggaman tangannya pada kedua orang itu perlahan melemah, dan tak berdaya lagi.
Ian menjatuhkan dirinya, lututnya seakan akan tak mampu menopang berat tubuhnya. Tangisan tertahan itu sudah tak mampu tertahan lagi.

Ian bergumam tak berarti di sana, tidak... Ian tidak bisa menerima permintaan Fatimah, tidak bisa...

Ini pilihan Fatimah sejak awal, tapi Ian tidak bisa...

***

***

***

"Ada Bibi buat jaga Aisyah, saya izin pulang ke kos ya Pak Rauf". Ian berucap pelan pada Pak Rauf yang berdiam diri di kursi loby rumahnya, tempat yang biasa di gunakan mereka bertiga nongkrong jika sore.

Tak mendengar jawaban, Ian berlalu mendahului Pak Rauf turun ke lantai bawah. Suasana rumah menjadi lebih sepi dari biasanya, setelah pemakaman Fatimah di lakukan pagi tadi, ini sudah malam, Ian izin pulang ke kos. Tidak baik di rumah lelaki dan wanita bukan mahrom bersama, juga Bi Rini hanya ada saat pagi dan sore untuk membersihkan.

Hari Hari mulai sering menghujan, alam seperti mengerti juga prasaan manusia yang baru saja ditinggalkan untuk selamanya. Ian melihat langit yang abu abu sunyi, namun mata Ian yang sebelumnya sembab kini berubah menjadi datar.

___

Untuk beberapa hari, Ian tidak melihat Pak Rauf di kampus. Ini sudah hari ke tiga, semakin membuat Ian sadar bertapa besar rasa kehilangan Pak Rauf, sedalam apa prasaannya.

"Sella!", Ian menoleh, wajah ceria Mita akhirnya Ian temui lagi. "Oh, Mita. Lama ga ketemu", gumam Ian pelan di wajah datarnya.

"Kamu yang jarang keliatan, dari mana saja selama ini"..

Ian melihat atas kirinya sejenak, mengingat apa yang terjadi. "Ah, bukan apa apa. Hanya ada beberapa agenda". Mita mengangkuk faham, "hm yasudah, eh... Asik sih soalnya nanti jamkos lagi kita. Pak Rauf ga ada".

Ian dan Mita bersama sama menuruni lorong dan loby, hingga mereka sampai di aula tempat biasanya seminar atau pertemuan di lakukan. "Mita, gimana target belajar nya?", gadis berjilbab pasmina itu menoleh.

"Ya... Alhamdulillah sampai target".

Ian mengangkuk, ia kemudian membuka buku belajarnya mempelajari ulang.

"Oh ya Ian!", sentak semangat Mita tiba tiba membuat Ian yang tenang mengidikkan bahu terkejut. "Kita ke bioskop yok. Ntar malam, mumpung longgar kan", ajak tiba tiba Mita antusias.

"Nonton apa emang?".

"Ga tahu tiba tiba saja rindu sama Zainuddin dan Hayati". Keluh Mita melihat ponselnya dimana cuplikan film itu ada disana.

"Nonton di rumah saja kan bisa Mita", usul Ian dengan pelan. Kos Mata juga sudah memiliki akses langganan nonton film bioskop di salurannya, jadi buat apa ke bioskop lagi.

"Iya ya, kalau gitu kamu ke kos aku saja kita nonton sama sama. Ouh.. Engkau Hayati~". Mita memonolog mengulang adegan film itu.

Mita mengingatkan Ian, kisah cinta Zainuddin dan Hayati. Siapa yang tidak mengenalnya, seorang pria miskin yang di tolak cintanya lantaran kalah materi, sehingga berkerja keras menaikkan nama. Kala namanya sudah besar, Hayati datang menemuinya dan menawarkan hatinya kembali.

Namun Zainuddin menolak, pantang seorang pria makan sisa orang.


Mata Ian melihat kosong ke bawah, ke aula yang menjadi saksi bisu tempat Ian mempertanyakan pertanyaan itu. Sebagai mula semua tentang Mr. Butterflies muncul.

Ian menghirup udara dalam. Fatimah kini tiada, wanita sholehah itu kini sudah syahid insyaAllah disisi Allah, berkat melahirkan Aisyah. Namun, keinginannya, berat hati sekali Ian sanggup menyanggupi.

Dari dahulu, Ian selalu berprinsip, hatinya satu untuk dia, dan dia satu untuk Ian. Namun apa lah, dia sudah pernah hidup bersama dengan dambatan hatinya bahkan sudah memiliki buah hati. Walau kini mungkin kursi di sana sudah tidak berpenghuni, Ian tidak sanggup dan tidak bisa duduk di kursi itu.

"Ah... ", Ian meneteskan air matanya untuk kesekian lagi. Tidak ada orang disana, hanya mereka berdua. "Mita... Belajarlah yang betul. Ayo kita pergi dari sini".

Ian semakin membulatkan keputusannya, pergi meninggalkan tempat ini.

Pantang seorang wanita makan sisa orang.

****

Bangku Punya Ian [Revisi-END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang