Gambaran Cantik

63 30 2
                                    


***

Beberapa tahun berlalu.

"Terima kasih banyak Pak, moment ini begitu saya hormati dan akan saya kenang selamanya", Ian berkata mantap nan senangnya kepada seorang pria paruh baya dengan rambut yang sudah setengah putih.

Pria itu ikut tersenyum, "semangat anak anak muda ini, amat berharga di kemudian hari. Selera kamu ini memang bernilai Jiyan De Sella, gadis Belanda yang manis, kamu ini memang patut berada di tempat terhormat di galery." Ucapnya bernada asing khas pria yang hidup dalam melodi seni sambil mengangkat tangannya bergerak mengekspresikan apa yang ia ucap.

"Sekali lagi, terima kasih".

___
___

___
___

Bekerja dari rumah adalah pepekerjaan yang cocok untuk Faufan, pria matang nan manly 30an tahun yang kini berstatus sebagai single dady untuk anak balita semata wayangnya, Aisyah. Bocah itu kini sudah berusia beberapa tahun, ia sudah mampu berlari dan sudah cerewet.

Pilihan Fatimah, dan pilihan Ian, adalah keputusan yang harus Raufan hormati.

Nama Ian masi selalu menghantui Rauf, bayang bayangnya, walau raga nya tidak Rauf miliki, Rauf bersyukur ia masi dapat sedikitnya melihat sosok wanita yang dulu sukses menjadi cinta pertama, walau hanya didalam dunia virtual.

'Mr. Butterflies tidak akan hilang Ian, aku adalah Mr. Butterflies dan aku milik mu,..'

Gambar gambar Ian yang ada di pameran galeri Jogja, siluet kasar dan abstrak itu siapa?. Rauf melihatnya dengan teliti, mudah untuk Rauf kenali, sebab Rauf sangat kenal dengan Ian.

Rauf melihat gambaran gambaran itu sejenak lalu memejamkan netranya dalam, ingatan itu kembali membuat hatinya meleleh sunyi, ia ingin membelainya namun ada pagar yang membatasi karya itu dengan pengunjung.

'Selama ini, Ian tidak pernah melupakan Mr. Butterflies... Tidak pernah, dan tidak akan pernah. Ian mengenang Mr. Butterflies sebagai mimpi dan angan angan remajanya, yang tetap menjadi angan angan untuk selamanya... '

Rauf melihat karya karya Ian yang lain di sudut yang berbeda, gambar Ian selalu senada, dan selalu ada siluet tidak jelas seorang pria didalamnya. Juga karangan kupu kupu di sekitar gambar itu, 'Mr. Butterflies... '.

Mereka semua adalah Mr. Butterflies.

'Rob, saya ingin bertemu dengan Ian untuk beberapa saat saja. Saya sangat rindu padanya... '

***

Ada sebuah pertemuan meet and great yang akan di selangearakan oleh seorang pengusaha muda dari kalangan mahasiswa, Faufan sangat tertarik dengan itu. Sebab didalam nya di hadiri oleh banyak sastrawan dari Indonesia.

Di adakan di sebuah gedung hotel bintang lima di kota Jogja pusat, Faufan mengendarai mobilnya bersama Aisyah untuk pertama kalinya membawa anak itu untuk keluar.

"Papa... Isa-h haus~", ucap gadis kecil bergigi kecil dua itu dengan suara kecilnya. "Hm, Isya haus?".

Faufan menghentikan mobilnya sejenak di pinggiran jalan, dan mengambil air minum di botol khas anak anak di jog belakang mobil.

"Ini, bismillah dulu... ", ucap Si Papa mengingatkan dengan lembut.


Sebuah mobil lain mendahului mobil mereka, mobil dengan kecepatan sedang berwarna hitam. Cara mengemudi yang seperti seorang pemula, Rauf berniat mengikutinya dari belakang. Selagi masi satu jalan.

Mobil itu, seperti gaya Ian. "Astaghfirullah". Rauf tiba tiba beristighfar dalam mengemudinya, 'hh, ada ada saja... '. Rauf mulai merasa dungu dengan pikirannya pada gadis itu.

Sekali lagi, Rauf mengingat Ian, entah untuk yang keberapa kalinya, gadis itu kini sudah benar-benar tidak pernah Rauf temui, padahal kampus yang saat ini gadis itu tempati tidak jauh dari posisi tinggal Rauf. Tapi kegiatannya Rauf tidak tahu, yang jelas gadis itu sudah begitu banyak berubah, prestasinya dimana mana dan karyanya sukses terpajang di galery resmi Jogja, tampa wajah Ian disana.

Hanya nama De Sella yang orang orang kenal. Tidak dengan wajahnya.

'Ian... Sudahilah, saya begitu rindu dengan engkau... '.

Ini adalah hukuman yang begitu berat untuk Rauf, menahan perasaan yang begitu memuncak setiap hari hingga terasa nyaris, gila.

Pintu hotel sudah di depan mata, Rauf menggendong gadis kecilnya memasuki loby. Dan hendak naik ke lantai pertemuan itu.

Pemandangan pria matang bertubuh tinggi nan tegap, sangat profesional mengundang banyak celontekan mata dari banyak kalangan. Juga adanya gadis kecil di gendongannya, membuat banyak dari mereka berbisik yang nyaris Rauf dapat dengar.

'Saya Mamanya'. Hal itu seketika mengubah suasana hati Rauf yang awalnya baik baik saja, menjadi buruk.

Hingga sampai mereka di lantai tempat meeting itu, wajah wajah hadirin yang sudah ada menyambut Rauf dengan baik.

"Selamat malam Pak Rauf, silahkan duduk!", Rauf tersenyum dan welcome dengan mantan teman dosennya dulu itu. "Terima kasih".

"Siapa dia?", tanya yang lain. "Anak saya... " suara Rauf melembut menyebutnya. "Oh!. Iya iya, sudah besar ya, lain kali bawa bawa keluar biar kami kenal lah Pak Rauf", yang lain menibrung membuat Rauf hanya terkekeh kecil.

"Iya, kapan kapan".

"Aisyah kan." Rauf mengangkuk, pria berumur lebih dewasa darinya itu hendak mengambil Aisyah dengan melihatnya dan membuka tangan. "Lah, ga mau sama om nduk?".

"Hh, mungkin belum kenal sama sampean, Mas". Tanggap Rauf tidak ingin menyinggung. "Iya kah manis..." pria yang sudah berkepala tiga itu mengerut kan wajahnya ke Aisyah bermaksud menggoda gadi kecil itu.

Nihil, Aisyah hanya diam dan terus melengket pada Rauf.

"Hh, udah lah Mas. Acaranya udah mau mulai". Rauf menghadapkan dirinya ke arah inti ruangan itu.

"Permisi, dengan Pak Raufan Gantara Primanda", seorang pelayan pria mendatangi Rauf dengan sopan dan menunduk. "Iya, saya sendiri".

"Anda sudah memiliki kursi pesanan, mari saya antar anda". Rauf beranjak membawa Aisyah juga, ia mengikuti pelayan itu untuk sampai di kursi pesanan katanya.

Kursi dekat dengan inti ruangan, bersamaan dengan ketua organisasi kampus juga beberapa dewan negara. Cocok memang dengan profesinya saat ini.

"Selamat malam Pak Rauf, putra BUMN", Rauf tersenyum nan hanya mengangkuk kecil, "Malam Pak Rasyid, terima kasih...".

Acara sudah di buka, ada pembacaan puisi dan beberapa acara lain. Dan berakhir makan malam, acara berjalan lancar, namun Rauf masi menyimpan hampa didalam benaknya. Ia sungguh berharap bertemu dengan nya disini. Rauf menghembuskan nafasnya berat sejenak, dan matanya terlihat kosong.

Sebelum makan malam berakhir, "Mari kita sambut pertunjukan drama, berjudul The House!!". Mc berucap barusan setelah makan malam.

Cahaya ruangan menjadi gelap dan alunan melodi membuat suasa menjadi mulai dalam.

___

"Mas, ini semua tentang waktu. Saya masi punya orang tua yang hendak saya bahagiakan".

"Dinda, saya pun ingin membahagiakan orang tua saya. Kumohon pergilah, saya takut hati saya berdosa memikirkan kamu yang tidak bisa saya pinang".

Gadis itu berwajah kaget namun terbungkam oleh keinginan besarnya, hatinya terasa sedikit perih namun ia tetap pergi.
__

"Tidak kah Mas tahu, seberapa banyak Saya berkorban... ", decit gadis itu. Setelah lama waktu akhirnya di pertemukan kembali.

"Saya tidak ingin menyakiti kamu... Mengapa kamu tidak bilang kalau kamu akan datang?".

", sh... dua tahun lalu kamu mengatakan pada Saya, tunggu Saya disini, di kota ini!. Nihil!. Wanita ini sungguh besar kau buat hancur..."

__

Banyak mata yang mengeluarkan air mata disana, termasuk Rauf. Pria itu benar benar terpaku, hati dan jiwanya terasa begitu ngambang dengan apa yang baru saja ia saksikan.


***

Bangku Punya Ian [Revisi-END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang