8. Kakak Terbaik

1K 132 7
                                    

Kafka akhirnya bisa bernapas lega saat Shenka melepas pelukan dari perutnya. Cewek itu pun turun, dia melepas kunci helm hingga seolah baru sadar sesuatu, Shenka terlihat hendak menguncikannya lagi. Kafka cepat-cepat menarik lepas helm itu sebelum Shenka kembali membuat drama.

"Onni-chan kasar banget, rambut aku berantakan," rengek Shenka seraya mencoba merapikan rambutnya.

"Bentar lagi mandi, nanti sisiran lagi." Kafka beranjak dari motornya lalu melangkah ke arah pintu masuk lebih dulu. Di ruang tengah dirinya berpapasan dengan asisten rumah tangganya yang hendak pulang. Kafka melewati begitu saja hingga kemudian dirinya menyadari sesuatu.

"Bibi emang suka pulang jam segini?" tanyanya. Orang tua Kafka belum pulang kerja, sangat tidak baik jika hanya ada Kafka dan Shenka di rumah. Kewarasan otak Kafka terancam.

"Biasanya sampe jam 7, sampe Pak Andra pulang. Soalnya Pak Andra nggak mau Non Shenka ditinggal sendiri. Tapi 'kan sekarang udah ada Den Kafka, jadi Bibi pulang cepat."

Kafka menggeleng cepat. "Aku ada urusan di luar, Bibi jangan dulu pulang."

Baru saja pembantu itu membuka mulut, suara Shenka langsung menyela. "Aku ikut Kak Kafka!"

Pembantu itu menatap Shenka bingung.

"Bibi pulang aja, aku mau ikut Kak Kafka kok," jelasnya dengan cengiran yang lebar.

"Nggak," tolak Kafka.

"Kak Kafka mau aku sendirian di sini?" ucap Shenka dengan raut yang tiba-tiba dibuat sedih. Tangannya menarik sang pembantu dan menginteruksikan untuk pergi.

"Ini urusan cowok."

"Kak Kafka nggak perlu pergi keluar kalo cuma sekedar urusan cowok." Shenka mengedipkan sebelah matanya senyum yang lebih mirip pada tante-tante girang.

"Bukan yang kayak gitu!" Kafka menggeram kesal, apalagi begitu melihat pembantu itu sudah berjalan keluar menuruti Shenka.

"Ya udah aku ikut."

"Shenka," ucap Kafka dengan penekanan.

"Aku harus pastiin kalo Kak Kafka nggak kelayapan yang nggak bener. Ingat, Kak Kafka bukan anak broken home lagi, jadi nggak usah aneh-aneh."

Ingin rasanya Kafka potek cewek di hadapannya itu. Semakin waktu bertambah, mulut kurang ajarnya juga semakin sadis.

"Aku nggak bakal pergi." Pada akhirnya Kafka pun mengalah.

"Nggak-nggak, kita harus pergi. Kita belum healing berdua sebagai adik-kakak loh."

Kafka menatap datar. Yang tak akan pernah Shenka pedulikan.

"Aku mandi dulu ya. Jangan coba-coba ninggalin, begitu tau Kak Kafka pergi, aku bakal langsung lari keluar meski cuma handukan." Shenka mengacungkan telunjuknya. Entah bermaksud mengancam atau apa.

oOo

Apa yang diharapkan dari cowok yang baru patah hati terus dimintai sesuatu oleh cewek yang pernah dicintai setengah mati? Meskipun sisi berontaknya lebih besar, tetap ada sisi ingin menjadi hero untuk dia. Kecilnya, mengabulkan keinginan cewek itu. Kafka sampai memukul kepalanya sendiri sebagai bentuk protes atas apa yang kini tubuhnya lakukan. Kenapa dia sama sekali tidak bisa menolak Shenka? Kenapa dia harus takut pada ancaman remehnya? Toh, bukan Kafka juga yang akan rugi 'kan?

Sembari menunggu Shenka keluar dari kamarnya, dia membuka mesin pencarian di ponsel. Bagaimana cara melupakan mantan. Kafka mengetikkannya dengan lancar. Artikel-artikel pun langsung berderet mengisi layarnya.

Hello SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang