7. Pindah Sekolah

994 146 25
                                    

Kafka berhasil menyeret Shenka keluar. Dia mengunci pintu kamarnya dengan napas terengah penuh dengan rasa kesal. Kafka mengacak rambutnya lalu megambil ponsel. Membuka web pencarian lalu mengetik 'burgundy' di sana.

Kafka mengerutkan kening. Bukannya ini warna marun? Kafka bahkan tidak menyebutnya merah, jadi pengetahuan soal warna tidak se-basic itu, tapi kenapa masih salah soal warna-warna yang menjadi ribet jika di tangan cewek.

Kafka mendekati lemarinya, mencari semua pakaian yang berwarna marun atau burgundy atau apa pun itu. Kafka akan membuangnya!

Kafka menghela napas dalam setelah semua dirinya masukkan ke dalam kantong kresek. Kafka harus memasang pengingat tentang memastikan pintunya terkunci dua kali.

Setelah mengatasi morning stress-nya, Kafka pun bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Dengan seragam lengkap juga ransel menggantung di bahu kiri, Kafka berjalan ke arah depan.

"Hey, kamu mau ke mana?" Kafka mengernyit kemudian berbalik. Melihat Teresa dari arah ruang makan yang berdiri membawa tumpukan piring. Bukannya Shenka bilang orang tuanya tidak akan pulang.

"Sini sarapan dulu."

"Di sekolah aj--"

Belum selesai bicara, dari arah belakang Shenka memegang tangannya lalu menyeret Kafka untuk pergi ke ruang makan.

"Katanya mereka nggak pulang."

Shenka mendongak dan tersenyum. "Kak Kafka percaya?"

Kafka menahan diri untuk tidak mengumpat. Dia pun duduk pasrah pada kursi. Pagi-pagi tenaganya sudah raib dan hanya menyisakan rasa malas yang luar biasa. Kafka menatap sinis pada si sesumber masalahnya yang kini asyik menyapa kedua orang tua mereka dengan memberikan ciuman di pipi kiri dan kanan mereka.

Kafka ingin bertepuk tangan, betapa tidak adanya rasa bersalah padahal dia sudah menghancurkan hari seseorang.

"Morning Kak Kafka." Shenka bergerak mendekat. Kafka langsung memasang antipasi penuh dengan menahan kening cewek itu. Jangan bilang dia mau melakukan cipika-cipiki seperti pada orang tuanya itu.

"Mau ngapain lo?!"

"Nyapa Kak Kafka," ucapnya dengan wajah polos yang penuh kedustaan.

"Kafka kok kasar gitu? Masa sama adeknya pake lo-gue? Nggak-nggak, Mama nggak suka." Suara Teresa menginterupsi.

"Shenka, bilangin ke Mama kalo Kafka kasar lagi gitu."

Shenka memasang cengiran lebar. "Siap, Mama." Shenka kemudian menepuk pipi Kafka dua kali lalu duduk di kursinya.

"Hari ini Shenka pindah sekolah, jaga baik-baik. Jangan tinggalin dia sendiri."

"Dia bukan anak TK, Ma," ucap Kafka seraya mulai menikmati sarapannya dengan tidak semangat.

"Kasih tau tempat satpam aja, nanti kalo Shenka tersesat Shenka ke sana aja," ucap Shenka dengan nada yang tiba-tiba dibuat sedih.

"Kafka." Teresa menatap putranya dengan tatapan tajam.

"Ma, Shenka nggak mungkin tersesat."

"Nanti Shenka berusaha keras buat hafal denahnya aja." Shenka semakin melirihkan ucapannya.

Kafka melirik cewek di sampingnya dengan sinis. Apa perlu Kafka buka suara bahwa saat mereka pacaran Kafka pernah membawa dia ke sekolahnya karena harus mengambil  barang yang ketinggalan. Dan mereka tidak hanya diam, mereka berkeliling-keliling menikmati waktu berdua. Yang indah. Sialan.

"Papa pasang GPS nanti di tubuh kamu, kamu nggak bakal ilang. Ayo cepet makannya, nanti kesiangan."

Shenka menatap Andra dengan sorot tajam. Bibirnya mencebik kesal. Kafka menghela napas lega. Setidaknya ada Andra yang benar-benar paham keajaiban anaknya. Hingga tak mudah termakan drama.

Hello SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang