2. Bawa Dia Padaku

212 27 0
                                    

"Ketakutan itu ada, tapi harus ditutupi. Karena kita sebagai tembok sandaran harus lebih kokoh agar tidak roboh dan menyakiti yang dilindungi."

_Jenara Anindya_

"Masakan kamu?" Suara bariton Rony Wardhana-Presedir PURA Group terdengar memecah hening di resto itu. Alunan musik yang menenangkan berubah menjadi musik mencekam bagi Jena.

Jena yang menunduk perlahan mengangguk. Gadis itu sama sekali tidak berani mengangkat kepalanya.

"Bawakan semua masakan yang dibuatnya," titah Rony dengan tegas.

Suasana hening, beberapa orang seperti tidak percaya. Rony melanjutkan kegiatan makannya.

"Ka-kalian tidak dengar?!" Manager memberikan peringatan karena para pramusaji yang terlambat.

Semua orang yang semula berdiri kaku langsung bergerak. Jena hendak beranjak turut membantu tetapi perkataan Rony membuatnya terdiam. "Duduk."

Jena langsung mengangkat pandangannya. Entah keberanian dari mana, tapi gadis itu akhir menatap wajah dan bahkan netranya bertemu dengan pria itu.

Deg!
Jantung Jena berdebar kencang. Dia terkejut dengan apa yang baru saja dia pandang.

Netra tanpa emosi, wajah tampan dan bahu lebar yang cocok dengan setelan kerjanya.

"Duduk!" Rony kembali mengulangi apa yang dia perintahkan.

Segera Jena menuruti. Dia duduk di hadapan Rony. Kenapa kursi itu? Kenapa bukan kursi lain? Karena asisten Rony menarik kursi itu, seolah berkata jika Jena harus duduk di sana.

Akhirnya, gadis itu duduk. Keringat dingin muncul. Tahgannya berkeringat karena gugup.

Sajian yang Jena masak sudah ada di atas meja makan yang ditempati Rony. Ada tujuh sajian. Termasuk Dessert dan main course, satu Apetizer juga.

Jena memperhatikan pria itu menyantap. Dia tidak makan sesuai urutan. Berbeda dari kebanyakan orang kaya. Pria itu makan sedikit demi sedikit dari setiap sajian.

Suasana hening untuk beberapa saat, hanya ada suara sendok dan garpu yang beradu. Alunan musik yang tenang tidak berpengaruh bagi orang restoran MADA. Semuanya terlihat tegang.

Klang!

Sendok dan garpu disilangkan di atas piring. Tanda jika orang itu sudah selesai. Tanpa menunggu waktu lama dia langsung berdiri dan mulai beranjak. Saat di depan pintu. Tatapannya kembali menangkap sosok mungil Jena.

"Sudah diberi bayarannya, kan?"

tanya Rony pada asistennya.

Pria dengan setelan kemeja hitam yang lebih santai dari Rony itu menangangguk.

***

"Bagaimana?" tanya Rega Erlangga-asisten Rony.

"Aku mau dia."

Rony hanya menjawab demikian dan Rega langsung paham. Dia mengangguk dan mulai melajukan mobil mewah itu.

***

Jena memasuki rumahnya. "Kakak!" Juan berlari memeluk gadis itu dengan erat.

"Belum tidur?" Jena melirik jam dinding rumahnya. "Ini udah jam berapa? Besok telat bangun lagi, gimana?"

Juan melerai pelukannya. Dia memasang wajah muram. "Juan pengen tidur sama, Kakak."

Tangan Jena mengusap puncak kepala Juan. Dia tersenyum hangat. "Kakak bebersih bentar, ya."

"Udah, Kakak tidur, aja." Suara Juna menginterupsi. Pemuda itu turun dari lantai atas dengan wajah garang menatap Juan.

"Manja banget tuh anak, udah gede juga. Kakak 'kan capek kerja. Pulang malem gini, besok bangun pagi. Nyiapin sarapan, biarin kek kakak istirahat." Juna mengomel tak senang karena Juan yang manja.

Jena menatap Juna galak. Gantian sekarang Juna yang ciut. "Sesekali, nggak papa. Kalau Lo mau gua dongengin juga gapapa," balas Jena.

"Ck, terserah. Ntar kalau Kakak sakit, Lo tanggung jawab." Juna memberi ancaman kepada Juan.

Juan menarik tangan Jena. "Kakak istirahat aja, deh."

Duar!
Suara Guntur dari luar berhasil membuat pegangan Juan di tangan Jena mengerat. Memang, malam ini hujan turun dengan deras.

Jena paham adik bungsunya meminta tidur bersama karena dia terganggu dengan suara Guntur yang terus bersahutan.

"Tidur sama Juan kan juga termasuk istirahat. Abang kamu itu berlebihan, jangan dianggap serius."

Juna mencebik kesal. "Manjain teros!" Pemuda itu kembali naik ke kamarnya. Meninggalkan Jena dan Juan.

"Ya udah, ayo ke kamar!"

**

Guntur memang menyeramkan suaranya. Jena juga takut, tetapi setiap ia takut dulu, ibu atau ayahnya tidak ada untuk menggenggam tangannya seperti sekarang. Jena sadar, dia tidak bisa terus berada dalam ketakutan itu. Jadi, perlahan ketakutan itu memudar. Sedikit, masih tersisa ketakutan sebenarnya. Tapi, Jena tidak memandang itu sebagai rasa takut.

Tidak ada yang mengetahui hampa dan takutnya ketika menghadapi hari hujan menyeramkan dengan Guntur bersahutan, sendirian tanpa orang terdekat. Jadi, Jena tidak bisa membiarkan adiknya merasakan apa yang dia rasakan. Dia tidak mau, adiknya menjadi seseorang yang hampa tanpa kasih sayang.

"Kamu tahu, Ju? Kakak juga takut Guntur." Jena yang tidur memeluk sang adik mulai berujar.

Juan mendongak menatap wajah kakaknya. Wajahnya bertanya-tanya. "Kakak takut, makanya kakak tidur sama kamu biar nggak takut," kata Jena sembari tersenyum. Dia mengecup dahi Juan.

"Have a nice dream, Juan."

TBC

KOKI FOR MR.ICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang