Sudah tiga bulan lamanya Mario tidak mengirim pesan atau bahkan membalas pesan Jena. Pemuda itu hilang tanpa kabar. Membuat Jena resah. Setiap hari Jena mengirimi pesan. Mulai hari pertama kerja. Saat itu Jena mengirimi pesan permintaan maaf atas apa yang terjadi di hari sebelumnya. Tetapi, Mario tidak membalas.Jena kira, mungkin Mario yang sedang marah butuh waktu. Biasanya dia akan berhenti marah ketika tiga hari berlalu. Tetapi, ini tiga bulan.
"Kayaknya dia marah banget," ucap Jena sembari meletakkan ponselnya di atas meja. Room chat yang berisi pesan Jena saja terlihat di layar.
"Berantem sama bang Mar?" tanya Juna yang baru saja turun dari lantai dua. Dengan kaos oblong berwarna putih dan celana cargo abu.
"Dia marah. Kejadian waktu itu kayaknya bikin dia marah banget nggak sih, Jun?"
"Gue jadi dia sih bakal sakit, ya. Digituin sama orang yang disayang."
Juna duduk di kursi berhadapan dengan Jena di meja makan itu.
"Tapi kakak juga harus realistis. Kerjaan di resto sebelumnya itu nggak pasti keterima. Sedangkan ini udah pasti dan gajinya besar banget. Untuk kehidupan kita, ini adalah jalan berbunga."
"Seharusnya dia paham keadaan kita," cicit Jena di akhir kalimatnya.
"Ya, gimana ya. Gue juga bingung kalau begini. Abisnya sama-sama Denial sama perasaan sendiri." Juna menyindir sang kakak.
Jena seketika menoleh dengan tatap tajam. "Ah, kalau sama kamu yang ada makin ruwet pikiran kakak. Pergi sana belajar!"
"Udah," balas Juna santai sembari mengunyah keripik kentang.
"Huh!" Jena yang gagal mengusir Juna memilih mengalah dan beranjak dari kursinya.
Sepanjang langkah menuju kamar Jena memikirkan kalimat Juna. "Kita temenan! Nggak mungkin!"
***
Di ruangan yang mewah. Dengan lampu gantung besar menghiasi bagian atas ruangan. Meja besar dan penuh makanan tersaji. Di tengah duduk seorang kakek dengan pakaian santai. Sedangkan di sisi kanan meja duduk seorang perempuan paruh baya, pria paruh baya dan laki-laki muda. Di sisi kiri duduk pria paruh baya dan putranya yang mengenakan pakaian formal.
"Jujur, Kakek bahagia kamu akhirnya berhenti berkeliaran dan memilih untuk mengurus perusahaan papamu."
Pria tua itu mengusap bahu pemuda di sisi kanannya.
"Jadi, kapan nih, Mario ungkapin identitasnya? Perusahaan udah semakin berkembang sejak kamu urus loh."
Mario, pemuda yang baru saja dipuji itu mendongak. "Besok waktu rapat direksi."
Pemuda itu menjawab santai. Dia menoleh ke arah pria di seberang meja yang berhadapan dengannya.
"Makanmu belakangan lahap. Sudah dapat koki pilihan?" tanya Syarifuddin—kakek Mario kepada Rony yang duduk di sebelah kiri bersama sang ayah.
"Iya, Kek."
"Baguslah. Nggak masalah kalau kamu nggak makan, makanan koki kakek. Asal kamu nggak sakit lagi."
***
Rony adalah anak dari putra pertama keluarga Syarifuddin. Sedangkan Mario adalah adik ayah Rony. Kedua ayah mereka sudah mengurus perusahaan masing-masing sejak awal. Tidak ada yang berniat mengambil alih. Keduanya sama-sama ingin memulai dari nol. Sekarang perusahaan sang kakek diurus oleh Rony dibagian konstruksi. Sedang Mario dibagian kuliner.
"Gimana kabar Jena?"
Rony yang mendengar pertanyaan Mario menoleh ke arah adik sepupunya yang lebih muda satu tahun darinya itu.
"Dia kerja dengan baik."
"Dia bahagia?"
Pria di sebelah Mario menoleh ke arahnya. "Belakangan ada yang aneh dari dia."
Mario menunduk. Sembari menghela kasar.
"Kalian berpacaran?" tanya Rony.
Seketika Mario yang tengah menenggak jus jeruk tersedak. "Uhuk! Nggak lah!"
"Oh, baguslah."
Mendengar penuturan itu membuat Mario terbelalak. "Apa-apaan, 'baguslah-baguslah'?"
Pria yang biasanya menyiratkan wajah datar tersenyum sinis. "Kamu nggak mungkin nggak tahu maksud saya."
Setelahnya Rony pergi meninggalkan Mario yang terlihat masih diam di tempat. Sampai akhirnya pemuda itu sadar karena dering ponselnya. Itu panggilan telepon dari perempuan yang ia abaikan selama tiga bulan lamanya.
"Angkat, nih?"
Mario masih ragu. Dia masih mau melanjutkan sandiwara marah. Sampai ingin tahu sejauh mana kekhawatiran Jena. "Angkatlah, ntar di tengah-tengah kosongnya hidup Jena tanpa gue diisi bang Rony lagi. Bisa gawat, belum confess udah ketikung Abang sendiri."
Mario mengangkat panggilan. Suara gadis yang begitu dirindukan terdengar sangat semangat.
"Mario?"
Mendengar Jena memanggil namanya setelah sekian lama. Membuat sensasi menggelitik di perutnya. Hingga pemuda itu tak bisa mengendalikan ekspresi wajah yang tersenyum mendengar itu.
"Hem." Mario mencoba menjaga perasaannya yang sangat ingin lebih lagi dibuai oleh Jena.
"Marah ya sama gue?"
"Keliatannya?" tanya Mario datar.
"Lo kemana aja, sih?"
"Balik ke rumah."
Alis Rony menyatu kala mendengar suara keramaian di seberang sana. "Lo di luar?"
"Iya! Rencana mau ke kostan Lo nih. Rupanya Lo di rumah, ya? Padahal gue buat kue ucapan maaf. Enak tahu."
Mario berdehem. "Besok gue balik ke kost. Lo anterin bisa?"
"Ambil sendiri, nggak ada pengantaran dua kali."
"Lo niat minta maaf nggak sih, Jen?"
Jena tertawa di seberang sana. "Nggak nyangka Mario bisa marah. Maaf ya, Yo! Tapi gue harap Lo sekarang paham kenapa gue milih kerjaan itu."
Hela napas kasar menguar dari rongga pernapasan Mario. "Iya, sekarang gue paham."
"Ya udah, besok bisa nggak lo—"
TINNNNN
"Argh!"
Kehebohan di seberang sana seketika membuat Mario khawatir. "Jena! Jen! Lo nggak papa? Jen! Jawab gue! Jen!"
TBC
![](https://img.wattpad.com/cover/357981230-288-k248524.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KOKI FOR MR.ICE
FanfictionJenara Anindya seorang gadis lulusan SMK tataboga yang harus menjadi tulang punggung keluarga. Usianya yang menginjak 28 tahun hanya fokus untuk menghidupi dua adiknya. Tetapi, dia yang hanya memiliki pekerjaan pokok sebagai koki di restoran besar m...