4. Jadilah Orangku

173 24 0
                                    

"Terkadang, sesuatu yang diluar rencana itu bisa menjadi jalan yang terbaik untuk hidup kita. Jangan menyalahkan batu ketika kamu jatuh. Cobalah bangkit dan lihat, apa maksud dari batu itu ada di hadapanmu dan membuatmu jatuh terluka seperti itu. Pasti ada alasan dan jalan baiknya."




Langit sudah menjingga. Mario dan Jena sudah berkeliling melamar kerja di berbagai tempat. Kafe, restoran, toko kue. Semuanya sudah mereka datangi. Tinggal menunggu hasil saja.

Kedua orang itu menyusuri tepi pantai berhias langit jingga yang indah. Bercanda dan tertawa bersama. Kesedihan Jena sudah hilang sejak tadi. Seharian ini Mario berhasil membuatnya melupakan masalah itu sejenak.

"Woy, kepikiran lagi?" Mario menegur Jena yang duduk di tepian pantai sembari melamun.

Air mata gadis itu kembali luruh. Mario menyerahkan es krim yang dia beli. Es krim rasa cokelat kesukaan Jena. Pria itu menghapus air mata gadis di hadapannya dan tersenyum.

"Udah, ya. Di kafe terakhir gue yakin Lo keterima."

Jena mengangguk saja. Kemudian, mulai memakan es krim yang diberikan Mario. Pemuda itu mengusap puncak kepala Jena, senyuman manisnya merasa puas atas penghiburan yang sudah dia lakukan pada gadis di sebelahnya.

***

Jena yang melangkah menuju rumahnya dikejutkan dengan keramaian di depan rumah. Mario yang di sebelahnya juga terkejut.

"Temennya Juna, Jen?" tanya Mario.

"Kurang tahu gue. Juna nggak ada ngabarin, sih. Biasanya dia ngabarin." Begitu jelas Jena.

Lagipula, sejak kapan teman Mario itu punya mobil mewah hitam legam seperti yang terlihat di pekarangan.

Begitu sadar. Jena langsung tertegun. Dia melihat banyak orang berjas hitam berdiri di halaman rumahnya. Para tetangga berkumpul melihat pemandangan itu.

"Jen, Lo berususan sama siapa? Jangan aneh-aneh lo. Adek Lo gimana ntaran!" seorang ibu-ibu berdaster kuning menasehati.

Jena menggeleng. Dia dengan cepat berjalan dengan cepat. Menghampiri rumahnya.

Gadis itu menangkap sosok Diana, Rasya, dan Andi yang menunduk ketakutan. Jena terkejut akan kehadiran mereka.

Jena mencari adiknya. Berlari masuk ke dalam. "Juan! Juna ...." Suara Jena melirih kala melihat dua adiknya duduk bersama sosok yang tak asing.

Mario yang mengikuti langkah Jena juga terkejut. Pria itu memegang bahu Jena dengan erat. Tatapan Mario terlihat marah.

Sedangkan pria dengan setelan kantor lengkap itu hanya menatap Mario dengan senyuman sinis.

"Saya tadi datang untuk makan siang di restoran MADA. Tetapi, makanan itu berubah rasa. Ketika itu saya tahu kamu suda tidak bekerja di sana lagi." Rony berjalan mendekati Jena yang masih diam di tempatnya.

Tubuh gadis itu gemetar ketakutan. Ekor matanya melirik Juan dan Juna yang diam di tempat duduk mereka.

"Saya tidak bisa makan dengan baik. Saya datang ke sini untuk menawarkan sesuatu yang baik untuk keadaan keluargamu."

Rony mengulurkan tangannya. Sang ajudan sigap memberikan selembar kertas dan pena.

"Jadilah orangku."

Jena terkejut. Dia menatap kertas yang sudah berisikan rentetan huruf berbentuk paragraf.

Kontrak kerja.

"Kau lampirkan sendiri gaji yang kau mau di sini." Rony menunjuk sebuah tempat kosong di tengah paragraf.

"Kudengar adikmu sangat berbakat? Dia pintar. Jadi, dia pantas untuk mendapatkan pendidikan terbaik."

Gadis itu diam menatap kertas. Tanpa suara. Pikirannya berkecamuk. Sejenak melirik Mario yang terlihat lurus menatap Rony. Seolah ketakutan tidak ada di mata pemuda itu.

Jena melirik Juna yang juga menatapnya. Anak itu tersenyum meyakinkan. Kapan lagi pekerjaan bagus datang dan pasti akan memperbaiki ekonomi mereka.

Bibir Juna bergerak mengatakan. "Pilihan ada di tangan kakak."

Jena mengambil surat itu sedikit ragu.

"Jen, gue yakin Lo diterima di perusahaan terakhir. Itu juga nggak kalah besar sama perusahaan PURA. Lo bisa mikir lagi tentang keputusan ini."

Netra Jena menatap tajam Mario. "Yo, ini kesempatan gue. Juna bakal kuliah. Emangnya Lo siapa berani jamin gue bakal diterima di sana?" Jena sedikit sebal.

"Gue pe—"

Mario menghentikan kalimatnya. "Ya udah terserah Lo." Dia kemudian keluar dari rumah Jena. Sebelum benar pergi, tatapan tajam terarah ke Rony. Sedang pria berjas itu hanya tersenyum sinis.

***

"Besok pagi datang lebih awal. Saya benci keterlambatan barang beberapa menit saja. Datang dengan sarapan. Saya tidak akan merepotkan. Saya tidak pemilih, selagi itu masakan kamu dan juga makanan sehat."

Perintah itu Jena terima usai menandatangani kontrak. Besok hari pertama ia kerja. Jena tidur lebih awal. Dia harus bangun lebih cepat. Menyiapkan sarapan untuk tiga orang dan beres-beres rumah.

***

Ya, seharusnya Jena bangun lebih awal. Tapi ini sudah pukul lima pagi. Jarak yang jauh dan waktu yang mepet untuk masak dan beberes rumah.

Jena keluar dengan buru-buru. Wajahnya masih terlihat berantakan. Begitu datang ke dapur Juan dan Juna sudah selesai membereskan piring kotor. Baju juga sudah dicuci dan dijemur tinggal dikeluarkan saja.

Semuanya beres. Ruangan di rumah rapi dan bersih. Juan tersenyum berjalan ke arah Jena. Menyerahkan Appron.

"Bu koki, boleh masak dengan nyaman sekarang."

Jena tertawa kecil. Dia mengusap puncak kepala Juan dan Juna.

"Adek-adek kakak emang yang terbaik."

TBC

KOKI FOR MR.ICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang