5. Hari Pertama

160 22 1
                                    


"Hidup itu harus punya tujuan. Mau jadi apa. Ini harus bagaimana, selanjutnya harus melakukan apa. Semua harus ada tatanannya. Agar tidak berantakan. Tapi, kalau berantakan karena sesuatu. Jangan menyerah, perbaiki lihat salahnya dimana. Dengan itu, buat pondasi yang lebih kuat agar tidak hancur lagi."

***

Jena menatap rentetan angka yang ada di secarik kertas. Kemudian, menekan urutan nomor pada pin apartemen mewah yang masih tertutup.

Tring!
Suara itu terdengar. Pintu bisa dibuka. Jena melangkah dengan ragu. Dia sedikit waspada. Orang kaya dan tampan seperti Rony, tanpa ragu menyerahkan pin apartemen kepada pekerja sepertinya. Apakah dia tidak takut Jena akan merampok atau apalah di apartemen ini?

Ya, dia yang orang kaya. Apartemen seperti ini bukan apa-apa, 'kan? Jena juga terkejut karena dia tinggal di apartemen bukan di mansion utama yang digadang-gadang adalah tempat mewah yang ada lift di dalamnya. Jena kira dia akan bekerja di sana.

"Kau ternyata disiplin juga." Suara berat itu mengejutkan Jena. Gadis itu berbalik menatap Rony dengan kemeja putih. Pria itu terlihat mengancingkan lengan kemejanya.

"Iya, Pak."

"Cepat sajikan."

"Ini mungkin sudah dingin. Jadi, saya akan panaskan sebentar boleh?"

Rony mengangguk. "Ya, lakukan saja. Dapurnya di sebelah sana." Rony menunjuk ruangan paling pojok.

Jena mengangguk, cepat dia berjalan menuju dapur. Mengambil alat masak. Memanaskan sayur capcay dan ayam goreng. Ini sederhana. Tetapi, Rony berpesan kalau 'saya akan makan masakan yang kamu buat untuk adikmu. Saya tidak pemilih.'

Ya, begini jadinya. Capcay yang dicampur udang. Dengan ayam goreng yang dibumbui seadanya.

Jena menyajikan masakan itu. Nasinya juga dari rumah sudah Jena bawa.

**

Rony diam menatap perempuan bertubuh mungil itu bergerak. Dia perlahan mendekat. Kemudian, menundukkan kepala.

'kecil.' begitu batin Rony saat menatap Jena yang tingginya hanya sebatas dada Rony. Di keluarganya yang rata-rata tinggi, dia jarang menemui seorang perempuan kecil seperti Jena. Bahkan sekretarisnya juga tinggi.

Rony terus memperhatikan Jena yang sibuk memanaskan makanan.

"Pak—astaga!" Jena hampir terjatuh karena terkejut. Rony yang melihat itu buru-buru menangkap makanannya.

"Apakah saya terlihat menakutkan?" Rony membawa makanan yang dia ambil alih ke meja makan. Jena tidak menjawab dan hanya membawakan nasi ke meja makan.

"Saya cuma terkejut karena Bapak ada di belakang saya," cicit Jena. 'udah tinggi besar ngeliatin serius gitu, siapa yang nggak takut coba?' batin Jena.

"Kamu sudah sarapan?" tanya Rony.

Jena mengangguk. Dia memang sudah sarapan tadi di taksi.

"Sudah, Pak."

***

Rony memakai jasnya. Rega sudah menunggu di depan apartemen. "Nanti, saat jam makan siang datang ke kantor utama."

Rony terlihat merogoh kantung jasnya. "Ini, kartu akses. Kalau ditahan, tunjukkan ini sama orang yang nahan kamu. Paham?"

Jena mengangguk. Kemudian, dia menyimpan barang itu dengan baik. Keduanya keluar dari apartemen bersama-sama.

Rega tersenyum menatap Jena. Kedua orang itu berjalan di belakang Rony.

"Gimana hari pertamanya?"

"Lumayan."

Rega tersenyum hangat lagi. "Semoga betah, ya."

"Harus betah!" seru Jena berbisik.

Keduanya melempar tawa hening. Agar tidak terdengar mengganggu oleh Rony.

***

Di mobil menuju kantor. Rony yang sejak awal diam kemudian bersuara.

"Kau akrab sekali dengan anak itu."

"Jena?"

"Heum."

"Sebagai sesama pekerja 'kan harus saling mengenal dan akrab. Apalagi, Jena sudah membantu sebagian tugas saya."

Rony menghela napas kasar. Dia kembali menatap ke arah jendela mobil.

"Kenapa, Pak?"

Pria yang ditanyai merotasi bola matanya. "Jangan sok formal Lo."

Rega yang tengah menyetir tertawa. "Lo suka sama Jena, Ron?"

"Jangan aneh-aneh lo. Baru kenal."

"Siapa tahu, dari perut naik ke hati," celetuk Rega.

"Mana ada begituan. Jangan asal nyeletuk tuh mulut. Gue kasih sambel ijo juga tuh mulut lemes," balas Rony.

"Kalau udah sambel ijo gue sih nyerah ajalah."

***

Jam makan siang. Jena buru-buru datang, dengan kaos oblong putih dan celana olahraga hitam liris putih. Dengan membawa rantang berisikan sayur tumis bayam dan sambal cumi-cumi.

Dia memasuki kantor besar itu. Bertanya kepada resepsionis.

"Saya mau bertemu Pak Rony, Mbak."

"Maaf, adeknya udah buat janji sama Pak Rony?"

"Anu—" Jena merogoh kantung celana, mencari kartu yang menjadi tiket masuk ke kantor. Tidak bisa ditemukan. Ini gawat.

"Saya ... harus masuk, Mbak. Pak Rony menyuruh saya untuk mengantarkan makan siangnya."

"Tapi saya nggak bisa percaya gitu aja, Dek. Kasus seperti ini sudah berkali-kali terjadi. Banyak sekali yang ingin bertemu dengan berbagai macam alasan. Salah satunya seperti adek sekarang."

"Tapi, Mbak. Alasan saya ini bukan sekedar alasan biasa. Ini saya beneran disuruh Pak Rony. Saya—"

"Ada apa ini?" Suara seorang perempuan terdengar dari arah belakang. Jena berbalik dan resepsionis memberi hormat.

"Bu, adek ini mau masuk ketemu pak Rony. Katanya mau antar makan siang."

Perempuan itu melihat Jena dari ujung kepala hingga kaki. "Jena bukan?"

Wanita cantik itu bertanya dengan lembut. Jena mengangguk antusias. "Iya, saya Bu. Saya Jena."

"Ini koki Pak Rony. Kalian tidak perlu curiga. Mulai sekarang dia bakalan sering datang untuk antar makanan. Paham?"

"Paham, Bu."

Perempuan tersebut merangkul Jena. "Ayo!" ajaknya.

Dalam hati Jena benar-benar bersyukur bertemu perempuan ini. 'udah cantik, baik, lembut bicaranya, wanita Karir. Lengkap banget ini orang. Jomplang sama gue yang alakadarnya.'

TBC

KOKI FOR MR.ICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang