"Nama saya Yuria, kamu?" Perempuan cantik itu memulai perkenalan."Jenara, Bu. Biasa dipanggil Jena."
"Panggil saya Yuria, kalau pake embel-embel 'bu' berasa canggung."
Jena mengangguk. Senyumnya merekah. Siapa sangka semuanya berjalan dengan lancar.
Mereka berhenti di sebuah lorong. "Itu ruangan, Rony." Perempuan ini tidak memanggil atasannya dengan embel-embel 'pak' langsung nama. Wajah cantik itu memang wajib dicurigai. Dia jelas kekasihnya. Semua orang hormat kepadanya. Ya, itu pasti. Tapi bisa saja dia adiknya atau kakak (?) Tapi pemimpin perusahaan PURA Grup tidak punya adik perempuan. Dia hanya adalah anak tunggal. "Di dalam lagi ada klien, kamu di sini dulu ya sampai dipanggil. Saya mau ke ruangan saya. maaf nggak bisa temani kamu, Jena."
"Nggak papa, Yuria. Terima kasih sudah membantu saya."
Yuria tersenyum seraya berjalan pergi meninggalkan Jena. Gadis dengan membawa bekal makan siang itu menatap pantulan dirinya pada dinding kaca yang membatasi ruangan. Dia melihat pantulan gadis yang memang jelas terlihat tidak seperti usia aslinya. Tubuh tidak tinggi, pipi yang sedikit berisi, wajah dengan riasan tipis, dan pakaian santai yang membuat Jena jelas akan dikenali sebagai anak sekolah.
"Kayak bocil." Jena nyeletuk sembari menggeleng menatap pantulan dirinya. Tetapi, setelah mengeluh dia tersenyum lebar. "Berarti awet muda dong? Sabi, nikah sama brondong. Hehe."
"Kamu mau nikah sama jagung?"
Jena yang fokus pada pantulan diri, tidak sadar jika ada pantulan lain di kaca pembatas itu. Dia menatap sosok jangkung yang berdiri di belakangnya dengan wajah tanpa ekspresi. Jena buru-buru berbalik badan, menyerahkan makanan yang dia bawa.
"Masih anget, Pak."
Rony menatap bungkusan bekal yang Kena bawa. Kemudian, dia berjalan memasuki ruangan. Tanpa merespon kalimat Jena.
Tak lama masuk ruangannya. Pria itu kembali menampakkan diri. "Kamu mau berdiri di sana sampai makanan saya dingin?"
Jena cepat-cepat berjalan masuk. Kemudian, di ruangan itu Jena dibuat kagum. Ruangannya termasuk mewah. Ada lemari penghargaan yang cukup banyak. Lukisan mahal, dinding yang berhias lampu gantung mewah. Jendela besar yang menampakkan hamparan kota. Sofa cokelat caramel yang terlihat empuk, dan meja kebesaran Rony yang terlihat begitu mengagumkan. Belum duduk di tempat itu saja, Jena sudah merasakan karisma itu.
Jena menyajikan makanan. Mengeluarkan kotak bekal dari tas, kemudian membuka tutup bekal. Memberikan sendok dan juga air jus dan air minum untuk Jena.
Rony yang melihat kegiatan Jena yang cekatan dan sedikit panik membuatnya tersenyum.
***
Rony menatap Jena yang diam duduk di sofa sembari melihat sekeliling kantornya. Kaki gadis itu bergerak naik turun, diayunkan.
"Kamu sudah makan."
Pertanyaan Rony sengaja diucapkan untuk memecah hening yang menyelimuti mereka untuk beberapa saat.
"Iya, sudah Pak." Jena menjawab tanpa gugup.
"Kamu bisa bawakan saya cake apapun dari kantin kantor? Saya ingin makan penutup seperti itu."
Jena langsung bangkit, dan membungkuk singkat sebelum berangkat menuju kantin kantor untuk mencari cake yang ini.
***
Jena Tiba dengan cake cokelat di tangannya.
"Ah, ada cake lain? Aku jadi tidak selera cake cokelat ini."
Sembari membungkuk lagi memberi hormat sebelum pergi. Jena meletakkan cake itu di meja dekat sofa. Kembali dia berlari menuju kantin.
Saat kembali membawa strawberry cake. Rony tidak mau makan. Sampai Jena mondar-mandir Lima kali. Jarak ke kantin dan kantor Rony tidak dekat, jaraknya 3 lantai dan setiap lantai sangat luas. Kantin berada paling ujung di lantai 3. Sedang ruangan Rony ada di lantai 6.
"Ini, Pak. Saya bawa yang tiramisu, saya bawa rasa lain yang belum saya bawa sebelumnya. Bapak tinggal pilih. Hanya ini, tidak ada rasa yang lain lagi. Jadi, Bapak tinggal pilih." Jena berucap dengan menggebu-gebu dia sebal dengan kelakuan Rony yang diluar dugaan.
Rony yang semula fokus pada laptop langsung mengalihkan pandangan. "Saya sudah tidak mau makan kue."
Hela napas kasar menguar. Jena lelah dan jengkel. "Lalu?"
"Tidak ada yang mau saya makan lagi sebagai penutup. Kamu bawa makanan itu semuanya."
Jena yang sebal langsung membawa semua makanan yang dia bawa. Tetapi, langkahnya berhenti di depan pintu. Semua yang dia bawa dari kantin ke kantor pemimpin itu tidak murah. "Pak." Panggil Jena.
Rony yang memandang wajah gelisah Jena mulai menarik sudut bibir. Sungguh, pria itu tahu dan paham apa yang dipikirkan perempuan itu. "Saya yang bayar."
Jena tersenyum ceria. "Makan malamnya mau disiapkan jam berapa, Pak?" tanya Jena semangat.
"Kalau bisa, secepatnya. Saya akan pulang cepat. Tidak ada banyak agenda hari ini."
Jena mengangguk dan berjalan keluar dengan senyuman merekah. "Juna sama Juan pasti seneng." Dia bisa membayangkan wajah bahagia kedua adiknya.
Akan tetapi, entah kenapa rasa kesalnya masih sedikit ada, terutama pada cake cokelat yang dia bawa pertama kali.
Meskipun bukan salah makanan itu. Entah kenapa, Jena malas memakan makanan itu jadinya.
"Huh!"
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
KOKI FOR MR.ICE
FanficJenara Anindya seorang gadis lulusan SMK tataboga yang harus menjadi tulang punggung keluarga. Usianya yang menginjak 28 tahun hanya fokus untuk menghidupi dua adiknya. Tetapi, dia yang hanya memiliki pekerjaan pokok sebagai koki di restoran besar m...