3. Tergantikan

180 25 0
                                    

"Uang adalah pengukur di hidup ini. Uang bisa membeli nyawa, uang bisa membeli harga diri, tanpa uang kita bukan apa-apa di dunia ini. Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang."

Jenara Anindya

Pagi yang cerah. Jena sudah siap di becak motornya. Memakai helm, menunggu dua adiknya keluar dari rumah.

Juan keluar dari rumah dengan helm bergambar Spongebob Squarepants. Sedangkan Juna keluar dengan helm hitam biasa. Dengan wajah yang santai. Dia duduk di kursi belakang kakaknya. Dan Juan duduk di bak becak.

"Berangkat!" seru Juan semangat.

Becak motor mulai berjalan. Tak lama mereka mulai melaju Jena membuka suara. "Bulan depan kayaknya udah bisa beli motor buat kamu, Jun," kata Jena.

"Kamu bakal kuliah, jadi jadwalnya nggak tentu, butuh motor untuk pulang pergi. Tapi kakak beli yang second, ya?"

"Juna bisa naik bis aja ntar. Kakak simpen aja uangnya, mana tahu nanti kita ketemu momen yang mana butuh banget uang."

"Lah, ini 'kan lagi butuh. Nanti di kampus kalau kamu diantar sama Kakak bisa jadi omongan," kata Jena.

"Ngapain mikirin omongan orang?"

Jena tersenyum diam-diam. "Kakak simpen mana tahu bisa untuk tambahan pesta nikahan ntara kakak nikah."

Senyum Jena luntur. "Jangan bahas nikah-nikah."

"Ck, Kakak nggak sakit hati apa diomongin tetangga sama Om Tante setiap ngumpul?"

Gadis berpipi tembam itu menggeleng. "Cewek nggak nikah juga nggak papa, Jun."

Juna reflek memukul helm sang kakak. "Omongan doa."

"Nggak sopan ya tangan Lo!"

"Jangan ngomong sembarangan. Gue juga pengen kali Poto di samping Lo di pelaminan nanti."

"Lo aja kali yang pengen nikah! Ya, 'kan?! Sekolah dulu yang bener!" cibir Jena.

Juan yang ada di bak becak hanya menghela kasar. Dua orang yang jarang akur. Juna dengan mulut pedas dan Jena yang tak mau kalah. Mereka memang selalu begini.

***

Tiba di restoran. Semua tatapan tertuju pada Jena. Restoran belum dibuka. Jena berjalan menuju dapur. Begitu pintu dapur dibuka. Dia melihat semua rekan timnya menangis sedih. Tangis Diana dan Rasya pecah saat melihat Jena.

Gadis itu masih heran. "Kalian ngapa dah?"

Saat pertanyaan itu terlontar dari arah pintu keluar Manager dan seorang perempuan cantik dan elegan.

Diana dan Rasya langsung melerai pelukan mereka.

"Jena, maaf. Tapi, sepertinya kamu tidak bisa lagi bekerja di sini." Jena terbelalak. Dia menatap managernya tidak percaya.

Kemudian, dia melihat gadis di sebelah sang manager yang memakai pakaian kepala Koki.

"Pak! Nggak bisa gini, dong!" Mario yang datang dari arah belakang sang manager menyalip. Dia berdiri di sisi Jena. Rasya, Diana, dan Andi di belakang mereka.

"Jena udah lama di sini! Banyak yang suka makanan Jena!"

"Tapi ini restoran bintang lima yang harus memberikan hal yang baik, Mario. Sedangkan apa yang dimasak Jena terlalu sederhana. Ini restoran bintang lima bukan gerobak kaki lima!" bentar Manager.

"Oke, Mbak ini jadi Kepala koki, tapi jangan pecat Jena. Dia punya keluarga yang harus dinafkahi. Bapak tahu itu!"

"Jena bakal gantiin saya, dan saya yang keluar."

Jena yang masih diam karena syok langsung terbelalak sadar. "Nggak!"

Jena berteriak. Gadis itu tersenyum singkat. "Ini keputusannya. Gue yang dipecat. Gue yang harus cabut. Bukan Lo, Yo."

Jena menatap sang manager. "Saya benar-benar nggak ada kesempatan ya, Pak?"

"Ini perintah atasan Jena."

Gadis itu mengangguk. Mungkin memang sampai di sini.

"Kita butuh seorang cheff pengalaman. Rekam pendidikan Rosalina bagus. Karena itu dia terpilih, maaf mengecewakan kamu."

Jena menatap perempuan bernama Rosalina itu dengan seksama. Dia memang terlihat lebih mahir soal masakan. Jena bukan apa-apa. Jika sudah berbicara tentang rekam jejak pendidikan. Dia hanya tamatan SMK Tata Boga yang belum ada apa-apanya.

"Saya permisi."

Jena keluar dari dapur. Para pramusaji dan kasir menghampiri Jena. Dia adalah senior di restoran ini. Jena adalah kakak dan saudara bagi mereka semua. Rasanya cukup berat untuk membiarkan Jena pergi. Entah bagaimana jadinya dunia pekerjaan mereka tanpa orang hangat seperti Jena.

"Jen!" Mario berlari. Dia keluar dengan kaos hitam dan celana hitam yang cocok untuknya. Tidak lagi memakai seragam kerja.

"Lo ngapain?!" Jena bertanya dengan nada galak.

"Gue berhenti juga."

"Ihh, bego!" maki Jena.

"Nggak asik kalau nggak ada Lo."

Mario mencebik kesal. Dia kemudian tersenyum. "Cari kerjaan baru, kuy. Bareng gue. Motoran kita. Sekalian ngilangin sedih Lo."

Jena menghela napas. "Lo anak perantauan, Yo."

"Tahu. Makanya ayo cari kerjaan baru. Lo juga butuh. Juna 'kan bentar lagi kuliah."

Mario mengusap puncak kepala Jena. Kemudian, tangan tegapnya menarik lengan Jena dengan erat. Mengajak gadis itu untuk ke tempat parkir.

"Jen," panggil Mario saat sudah di parkiran. Pemuda itu memakaikan helm merah muda ke gadis mungil di hadapannya.

"Ya?"

Mario merentangkan tangannya. "Mau nangis?" tanya Mario lembut.

Jena yang sudah menahan air matanya sejak tadi langsung menangis keras. Dia memeluk Mario dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang Mario. Pemuda itu mengusap punggung gadis itu.

"Ini Lo dah pake helm. Gue usap kepalanya terasa kagak, Jen?" tanya Mario yang dihadiahi pukulan kecil Jena. Gadis itu yang menangis pun tertawa kecil dalam tangisnya.

TBC

KOKI FOR MR.ICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang