Hari berjalan dengan sangat cepat. Pernikahan Minju juga sudah berlalu beberapa hari lalu. Sebut Sungchan pendendam, tapi Sungchan sama sekali tidak hadir ke pernikahan Minju.
Jika Minju ingin melanjutkan hidupnya, ya sudah. Sungchan juga harus melanjutkan hidupnya. Tanpa bayang-bayang Minju atau mengharapkan kehadirannya lagi.
Meskipun yang tersisa kepada perempuan itu hanya amarah dan dendam, tapi Sungchan tidak dapat memungkiri ia sedikit sedih. Ia sedih memikirkan kenangannya bersama Minju semasa sekolah itu, sampai mereka mempunyai buah hati bersama, ternyata hanya berakhir sia-sia.
Beberapa hari yang lalu Ibunya Sungchan juga mampir ke apartemen untuk menjenguk Sungchan dan Chan. Tentu saja Ibunya datang diam-diam tanpa sepengetahuan Ayahnya.
Menurut kabar dari Ibunya, Ayahnya sama sekali tidak pernah mengungkit tentang Sungchan atau Chan lagi. Sungchan seperti dihapus dari keluarga mereka yang menurut Sungchan sendiri... berarti bagus.
Sungchan sebenarnya sadar, mau sejauh apapun ia bersembunyi Ayahnya pasti tetap bisa menemukannya. Ibunya saja bisa menemukan tempat tinggal Sungchan dengan mudah, bahkan mengetahui Minjeong yang sering bersama Sungchan. Apa lagi Ayahnya.
Terkadang Sungchan mengkhayalkan Ayahnya tiba-tiba muncul di depan pintu apartemennya berniat untuk menjemputnya pulang dan meletakkan Chan di panti asuhan. Salah satu ketakutan terbesar Sungchan, tapi sampai detik ini hal itu tidak pernah terjadi. Sungchan berpikir kalau Ayahnya hanya sedang pura-pura tidak tahu keberadaannya sekarang.
Sungchan selalu membenci Ayahnya. Tapi sebenci apapun, kabar duka Ayahnya cukup membuat Sungchan terkejut.
Pagi ini Sungchan dikejutkan dengan kabar bahwa Ayahnya meninggal dunia karena overdosis obat-obatan. Awalnya Sungchan berpikir ini hanya jebakan, tapi mendengar suara tangisan Ibunya di telfon pagi tadi membuat Sungchan yakin bahwa... pria itu benar-benar meninggal dunia.
Benar saja.
Sungchan memperhatikan sosok Ayah yang hampir satu tahun tidak pernah ia temui itu terbaring tak bernyawa di dalam peti. Yang ada di kepala Sungchan saat melihat jasad Ayahnya hanyalah, bagaimana orang sekeras itu bisa meninggal dengan mudahnya?
Sungchan tidak meneteskan setetes air matapun dari pelupuk matanya. Ia hanya merasa sedih melihat Ibunya yang sedari tadi hanya menangis, tapi rasa sedih itu tidak sebanding dengan rasa bencinya terhadap Ayah.
Bahkan sampai mengantarkan Ayahnya sampai peristirahatan terakhirpun, Sungchan mati rasa. Ia tidak merasakan apa-apa.
"Gue turut berduka ya, Chan." Kata Chenle sambil menepuk pelan punggung Sungchan.
Sungchan mengangguk pelan. "Thanks, Le."
"Bokap lo udah gak ada, jadi apa lo akan balik ke rumah dan hidup kayak dulu lagi?" tanya Chenle.
Sungchan mengangkat kedua bahunya. "Gue bingung, Le."
"Semoga yang terbaik ya, untuk lo dan Chan." Kata Chenle.
Setelah Chenle pamit, Sungchan dan Ibunya diminta untuk berkumpul di ruang kerja Ayahnya karena akan ada pembacaan surat wasiat dan pembagian warisan oleh notaris.
Sungchan memeluk Ibunya erat ketika mereka duduk bersebelahan di ruang kerja. Sampai detik ini Ibunya tidak kunjung berhenti menangis.
"Kepada Istriku tercinta, aku meminta maaf karena sudah banyak mengecewakanmu dan membuatmu bersedih. Aku adalah penyebab utama keluarga kita terpecah, bukan Sungchan. Aku terlalu malu untuk mengakui ini. Tidak seharusnya aku bersikap seperti ini. Terima kasih atas segalanya, dan maaf." Kata notaris itu setelah membacakan satu paragraf.