× ×
Park Sooyoung.
Sudah hampir 3 hari perempuan jangkung tersebut termenung di tempat yang sama —teras berlantai kayu, tepat di sebuah kursi tua yang sesekali menimbulkan derit mengganggu kala Ia sekedar menggerakkan kakinya pelan.
Sebuah amplop putih di tangan dengan surat terlipat rapi tampak tak pernah lepas dari jepitan jari-jarinya seolah apa yang ada di tangannya kini menentukan masa depannya nanti.
Alih-alih memperhatikan jalanan sepi nan basah bekas hujan yang biasanya menjadi pemandangan favoritnya, Sooyoung justru menetapkan matanya pada tulisan yang jelas-jelas mengeja namanya; berusaha membuat segalanya masuk di akal walaupun Ia masih belum berhasil sampai detik ini juga.
"Masih belum? Bukankah ini sudah 3 hari?" sebuah suara yang memberikan kesan dewasa sekaligus terasa membasuh sebagian kekhawatiran Sooyoung tahu-tahu memecah perenungannya sebelum disusul usapan lembut di belakang kepalanya.
Sooyoung hanya disambut senyuman yang yakin dan berani dari sosok yang jauh lebih tua kala Ia menoleh, melepaskan pikiran yang berasal dari isi surat dalam genggaman.
Bibirnya seketika dirapatkan membentuk garis tipis dan lengkungan nan hampir sama dengan sang ibu, hanya saja miliknya sangat tampak dilapisi kebimbangan luar biasa tebal. Belum lagi netra yang mendadak memandang arah manapun selain mata intens ibunya.
"Bagaimana jika aku salah memilih, eomma? Aku hanya akan membuang waktu."
Sooyoung sesungguhnya tidak hanya memikirkan waktunya sendiri melainkan juga orang tua, bahkan adik-adiknya. Layaknya Sooyoung sejak lama, banyak pertimbangan yang terjadi di kepalanya ketika dua peluang besar disuguhkan padanya di waktu yang bersamaan.
Ia tidak bisa memilih hanya dengan melempar koin dan melihat bagian mana yang menghadap ke langit. Dia jauh lebih cerdas, teliti, dan hati-hati dari itu. Namun pilihan yang disodorkan padanya kali ini pun jauh lebih kompleks dari yang pernah Ia alami dan 3 hari saja tidak akan cukup baginya untuk menemukan jawaban paling tepat.
"Tidak akan."
Sooyoung dan ibunya sontak berdiri kala suara lain yang hampir saja tidak terdengar bila bukan karena komplek perumahan sedang begitu sepi dan sunyi, tiba-tiba terdengar dari arah trotoar depan rumahnya.
"Oo?" Lebih terkejut lagi ketika mata ibu-anak tersebut tersorot pada sosok elegan nan dengan ekspresi serius dihiasi senyum tipisnya, melangkah cepat melewati tapakan batu membentuk jalan ke beranda teras mereka. "Director-nim? Benar bukan? Anda adalah Creative Director SM Entertainment?"
"Dan yang memiliki wewenang untuk merekrut atau menolak calon trainee." Perempuan yang —ternyata— lebih pendek dari Sooyoung tersebut akhirnya berhenti tepat beberapa langkah didepan keduanya kemudian membungkuk sopan ke arah ibu Sooyoung. "Annyeonghaseyo, saya Irene dari SM Entertainment."
Sooyoung berpikir mungkin sosok yang memperkenalkan dirinya sebagai Irene ini —yang nyatanya telah Sooyoung lihat di pencarian googlenya— adalah figur yang cukup sibuk sehingga tak memiliki waktu untuk menunggu Sooyoung memproses segalanya, termasuk gestur ibunya yang tampak bingung harus merespon seperti apa selain balik membungkuk.
Tidak. Kepala Sooyoung mendadak menjadi penuh hanya atas kehadiran Irene karena... 'Kenapa juga orang sepenting dia sampai datang langsung ke rumahku?' batin Sooyoung.
"Kau tidak akan membuang waktumu karena aku dapat memastikan kau debut."
MWO?!
Kira-kira begitulah respon batin Sooyoung secara real-time tepat beberapa milidetik setelah Irene berbicara.
Semua sungguh tidak masuk akal.
Tapi entah kenapa Sooyoung merasakan firasat baik tentang semua ini.
×××
![](https://img.wattpad.com/cover/357148495-288-k752913.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lucky Girl
FanfictionPark Sooyoung tidak pernah membayangkan kehidupan seorang Idol karena... well, dia adalah seorang fresh graduate dari program studi Fisika di Universitas Nasional Jeju. Jeju. Pulau yang berbeda, berjarak tepat 465.43 kilometer dari Seoul dimana age...