🏀 BATTLE POINT 🏀 : KEMBALI

79 17 6
                                    

Indo dan Malay langsung pergi ke lapangan basket, tapi nyatanya lapangan itu masih milik ekskul volly dan badminton.

"Yo, numpang tanya, katanya ekskul basket udah balik?" tanya Malay kepada salah satu anggota volly yang sedang sibuk berlatih.

Bukannya mendapatkan jawaban, mereka berdua langsung ditatap sinis oleh semua orang yang ada di sana.

"Dasar keras kepala, lapangan ini tetap milik kami!" Salah satu dari mereka langsung membalas dengan nada penuh permusuhan, Malay mengerutkan dahinya bingung dengan sikap mereka yang terlihat sangat menjengkelkan.

"Bung, gua cuman tanya ekskul basket udah balik atau belum- napa lu jadi sewot ngomongin lapangan?!" Memang selain agresif Malay juga mudah terpancing emosi, apa lagi menyangkut harga diri.

Lawan bicaranya mendekat dan menarik kerah baju Malay. "Gua peringatin sama lu ya, kalo lu ngomongin soal basket lagi di sini, gua hajar muka jelek lu!"

"Shttt, Malay udah lu ga usah ikut kepancing emosi!" Indo berbisik pelan dan menyikut perut Malay tanda bahwa dia harus menghentikan pertengkaran ini.

Malay tertawa, dia menyeringai menatap orang yang berada di depannya. "Sejak awal lapangan ini milik ekskul basket."

Tangan yang sejak tadi memegang kerah baju pria berdarah melayu itu dengan erat, kini mengepal tangannya siap meluncurkan bogem mentah tepat di pipi sebelah kanan Malaysia.

Sontak Indo terkejut, Malay mundur beberapa langkah karena pukulan dari salah stau anggota volly itu ternyata cukup keras.

Tanpa basa basi lagi, Indo langsung membalasnya- dan perkelahian tidak bisa di hindari.

"Bang-sat berani-beraninya lu hajar temen gua?!" Indo marah, dia berhasil memukul rahang orang yang melukai Malay, sedangkan Malay juga terkejut karena Indo malah ikut-ikutan marah.

Malay mencoba menarik Indo dari perkelahian satu lawan tiga, dia harus menenangkan temannya karena jika kesiswaan tahu perkelahian ini terjadi di ruang lingkup sekolah, kali ini mereka akan mendapatkan sanksi yang cukup berat.

Tentu saja berita ini viral dengan cepat ke seluruh penjuru sekolah.

"Lihat, anak itu kembali membuat keributan." Mereka saling bergumam, melihat Indo dengan tatapan intimidasi.

Indonesia terdiam, dia mengepalkan tangan masih belum puas berkelahi dengan bajingan itu, namun hasrat akan menyiksa harus dia simpan dalam-dalan karena kini semua mata tertuju kepadanya.

"Dasar pemain basket."

"Eh iya aku ingat, dia Indonesia si pecundang."

"Huh, mau apa dia ada di sini? apakah kejadian lima tahun yang lalu akan terulang kembali?"

"Mungkin haha, benar-benar gila."

Banyak dari orang langsung membicarakannya, bahkan masa lalu Indo kembali diungkit, membuatnya gemetar ketakutan.

Perasaan ini, dia hampir merasakannya lagi- tapi Malay langsung menarik tangan Indo dan membawanya segera keluar dari kerumunan.

"Bang-sat sialan, liat aja nanti." Malay berteriak saat keluar membawa Indo, mereka mendapat caci maki sepanjang perjalanan, tapi itu tidak membuat Malay goyah untuk melindungi temannya.

Dia membawa Indo ke UKS, Malay meminta dibuatkan teh untuk Indonesia.

"Indo, gimana udah mendingan?" tanya Malay menatap temannya yang terlihat pucat sibuk bergelut dengan pikirannya.

Indo hanya mengangguk, dia mencoba bersikap acuh ketika ada orang yang mengungkit masa lalunya- tapi rasa takut terlalu besar untuk ia hadang sendirian.

"Malay maafin gua-"

Kalimatnya dipotong oleh Malay, dia membentak meninta agar Indonesia tidak menyalahkan dirinya sendiri.

"Gua yang salah. Lu gak punya hak untuk minta maaf!" potongnya serius.

________________________

Sejak saat itu Malay kesal lantaran mendapatkan hinaan dari para pemain volly, dia memutuskan untuk bertemu langsung dengan Kepala Sekolah, meminta kebijakan agar lapangan basket kembali menjadi milik klub basket.

"Tidak bisa. Bapak sudah pernah bilang, tidak akan membantu kalian sedikitpun." Jawaban yang diberikan oleh pak tua itu membuat Malay menghembuskan nafas panjang, dia menggeledah saku celananya dan mengambil dompet tebal berwarna hitam.

"Saya mohon." Dia memberikan beberapa lembar uang yang nominalnya paling besar, dengan wajah tak berdosa dia menatap mata Kepala Sekolah itu dengan tatapan penuh selidik.

"Apa maksudnya ini!?" jawabnya hendak menolak uang yang di berikan oleh Malay, tapi pria muda itu masih setia memegang dompet yang masih tebal walaupun beberapa lembar sudah dia keluarkan.

"Sekali lagi saya mohon."

Karena nominal uang yang diberikan oleh Malay terlalu besar untuk ditolak, jadi Kepala Sekolah menyetujui apa yang Malay minta. "Baiklah, saya akan mengembalikan lapangan basket kalian- tapi ini bukan karena uang yang kau berikan, namun kebijakan dari sekolah."

Malay diam tidak peduli apa yang pak tua itu ucapan, setelah urusannya selesai dia memilih langsung pergi pulang karena hari sudah sore.

Indo sudah pulang lebih dulu, karena harus pergi kerja part time di sebuah restoran keluarga. Jadi Malay manfaatkan waktu itu untuk berbincang dengan Kepala Sekolah agar lapangan dan ruangan basket kembali menjadi milik mereka.

"Huh, semua manusia itu sama saja- gila uang," kata Malay sambil mengutak-atik ponsel miliknya sambil menunggu taksi.

Hari sudah hampir larut malam, taksi cukup sulit untuk di dapatkan- karena wilayah sekolah tidak berada di pinggir jalan raya. Malay mencoba untuk menelpon seseorang, namun enggan dan memutuskan untuk jalan kaki.

Sore itu langit sangat cerah, bahkan seluruh pengguna jalan terlihat memamerkan wajah bahagianya. Malay tidak tahu pasti kenapa mereka seperti itu, tapi setelah dipikir-pikir sepertinya mereka senang karena hari ini adalah pesta gajian.

“Wah Indo pasti dapet banyak duit. Kayaknya gua harus minta traktiran lagi nih!" gumam Malay yang ikut tersenyum senang juga.

Sudah tiga tahun Indonesia hidup serba mandiri, sejak kedua orangtuanya cerai karena masalah perselingkuhan ketika Indo beranjak remaja SMP, dia harus menanggung beban hidup sendirian karena ia lebih memilih hidup sendiri dibandingkan bersama salah satu orangtuanya.

Awal kehidupannya mandirinya cukup sulit, ia hanya bisa kerja bantu-bantu toko untuk memanggul barang-barang yang datang. Semua barang ini tidak seberat beban hidupnya, jadi Indo selalu menjalani kehidupannya dengan penuh bersyukur.

Uang itu selalu ia gunakan untuk membeli stok mie untuk satu bulan ke depan, sisanya ia tabung untuk keperluan sekolah.

___________________________

Keesokan harinya, ketika Singapore dan anggota basket lain kembali berdebat dengan para anak volly- kepala sekolah langsung menghentikan pertikaian, ia mengumumkan bahwa lapangan dan gudang lama di sekitarnya resmi menjadi milik ekskul basket kembali.

“Loh pak, kenapa tiba-tiba?” tanya Singa sedikit penasaran. Kepala sekolah hanya menjelaskan bahwa basket patut di beri kesempatan untuk kembali mengharumkan nama baik sekolah, pak tua itu juga bilang bahwa team basket ASEAN harus bisa membersihkan nama baik mereka.











TBC

Sayang di anggurin

Battle Point [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang