🌼 Menyerah 🌼

4 1 0
                                    

       Masa ini adalah masa di mana aku merasa ini bukan Zeva, ini bukan aku yang sebenarnya. Ini adalah pribadi orang lain. Bukan aku yang biasanya suka berjuang. Aku sudah tidak memiliki semangat untuk mengejar cita-citaku. Menjadi wanita berpendidikan. Aku bertarung sendiri setiap malam dengan pikiranku.

       “Capek banget setiap hari bertemu orang-orang baru. Yang ada bukan bahagia, malah  menyedihkan,” kata hatiku yang mulai lelah dengan setengah jalan buruk ini.

         “Kamu gak boleh nyerah, kamu harus ingat segala cita-cita kamu. Pengen jadi wanita berpendidikan, iya kan? Ini masih masa SMA, masih panjang 3 tahun lagi selesai. Kamu belum sampai pada perguruan tinggi impianmu. Jadi dilarang menyerah untuk kamu. Hei, ini bukan kamu yang menyerah seperti biasanya. Kamu itu suka tantangan. Suka hal-hal baru. Ini bukan kamu, Zevallia Valentina,” kata yang ramai di pikiranku.

       “Huaaaaa, diam semua. Kalian berisik, kalian gak tau gimana aku berusaha setiap harinya. Senyum setiap harinya. Merelakan masuk di tempat yang gak pengen aku masuki lagi. Kalian berbicara tentang pendidikan, sedangkan aku sudah lelah. Mau ngajarin aku sabar, aku setiap hari sabar. Mengalah, mengalah lagi yang harus aku lakukan. Mereka meninggalkanku, mereka mencemooh aku, aku hanya diam. Tak bersuara. Mulutku terkunci rapat di rumah sendiri. Kalian tau itu, kalian harus tau. Hiks hiks hiks,” teriakku di dalam kamar dengan ditutupi bantal serta guling.

        “Zevallia Valentina lelah,” kata terakhirku sebelum aku tertidur pulas.

         Malam itu, tidak ada yang mendengar suara isak tangisku, serta teriakanku. Yang tau segalanya hanya Allah dan bantal gulingku yang menjadi saksinya. Malam itu, gadis yang dikenal semua orang selalu ceria periang telah kehilangan dirinya. Dirinya sampai berpikir untuk berhenti sekolah. Dan, lebih memilih di rumah bersama ibunya.

      Namun, setelah itu, keesokan harinya, di waktu malam, ia berbicara di depan cermin. Cermin yang terletak di sebelah meja belajarnya.

       “Wahai, dirimu, Zevallia Valentina. Kamu kenapa seperti itu? Lihatlah, tampilan wajah kamu. Kusut sekali, mata kamu kenapa? Bengkak memerah seperti itu. Ada apa? Ceritalah.” Kaca seolah mengajakku untuk bangkit. Walau sebenarnya itu adalah bayanganku sendiri.

       “Benar katamu, kaca, aku sangat buruk sekali di sini. Aku lelah menghadapi manusia jahat. Aku menangis, menangisi nasibku yang begini. Tidak ada semangat lagi. Tidak ada gairah untuk berjuang. Apa kamu tidak mau membantuku untuk berdiri lagi?” kataku dalam batin. Dengan badanku yang tetap menghadap kaca.

        “Selesaikan masalah dirimu dengan tenang, Zevallia Valentina. Aku akan menjadi penyemangat di kala kamu sedih dan senang. Tidak ada yang lebih penting dari kamu, Zevallia Valentina. Peluk diri kamu banyak-banyak untuk menenangkan badanmu.”

       “Aku akan berjanji bisa berdamai dengan kamu, wahai Zeva.”

       Aku mengelus diriku. Sampai napas dan tangisanku berhenti.
       Keesokan harinya, aku memutuskan untuk ke rumah Nirmala. Aku menangis di pundaknya. Menjelaskan apa yang aku rasakan. Jujur, ia adalah rumah keduaku.

      “Nirmala, aku lelah, aku sudah menjalani beberapa bulan sendiri di tempat itu. Rasanya kurang karena tidak ada kehadiranmu di sampingku. Rasanya tidak nyaman. Setiap hari aku bertemu manusia-manusia yang menjengkelkan. Hiks hiks hiks, aku lelah, capek. Kamu tau Nirmala, aku di sekolah dikatain bau ketiak. Minimal pake skincare biar enggak hitam kulitnya. Bahkan, pas aku mau bergabung sama mereka, mereka malah menyuruhku untuk pergi. Yang dikata malah ‘kamu kan biasanya sendiri, ngapain sama kita, sana sendirian'. Zeva emang sejelek itu, ya? Zeva emang bau banget, ya? Kayak rasanya gak pantes punya teman. Hiks hiks hiks.” Ceritaku pada Nirmala yang mendengarkanku sambil menatap mataku.

    “Cup cup cup, Zeva enggak bau. Apasih kata mereka itu. Mereka yang hidungnya bermasalah. Kamu cantik, Zeva. Kamu selalu cantik dengan apa pun yang kamu gunakan dan selamanya kamu itu cantik. Tak perlu untuk cantik dari wajah. Hati kamu sangat cantik, Zeva. Zevallia Valentina, seperti yang aku katakan, aku akan selalu bersamamu. Kamu tidak kehilangan siapa-siapa. Aku ikut bersamamu ada di sini, di hati kamu. Okey. Zeva, kamu telah berjuang sejauh ini. Sampai di titik kamu lulus sekolah ini. Ingat impian kamu, Zeva. Menjadi wanita independen berpendidikan tinggi. Jangan biarkan hanya karena manusia kamu putuskan cita-cita kamu itu. Kamu kubur dalam-dalam segala usahamu. Kamu jangan pernah melupakan itu, Zeva,” jawab Nirmala dengan nada yang sangat lembut.

         “Zeva tidak kehilangan siapa-siapa kan, Nirmala?”

          “Tidak lah, kamu milikku dan aku miliknya Zevallia Valentina.” Ia menjawab pertanyaan dan meyakinkanku untuk semangat lagi.

          Ia memelukku tanpa aku memintanya. Ia tak pernah menghakimiku. Dalam keadaan seperti ini ataupun bahagia, dia merayakannya bersamaku.

         Selain aku bercerita dengan Nirmala, aku memiliki seorang sahabat lagi, dia juga penting di dalam hidupku. Dia bernama Leonard Ardi. Aku memanggilnya dengan sebutan kakak karena aku menganggapnya kakak laki-lakiku. Dia pengertian, menerima segala cerita randomku dan menerima manjanya seorang anak perempuan pertama di keluarganya. Aku sudah bersahabat dengannya selama 1 tahun. Aku mengenalnya secara virtual, lewat temanku yang berada di Mts dulu. Malam pukul 19.30, aku menghubunginya. Tertulis dalam kontak itu, ‘Abangku <3’.
                          “Assalamualaikum, Kak.”
“Wa’alaikumsalam, Dek, ada apa?”
                       “Aku mau cerita. Aku boleh telepon gak, Kak?”
“Boleh, Dek.”

            Kring kring kring. Suara telepon bunyi. Aku pun bergegas mengangkat telepon.

          “Assalamualaikum, Dek. Kamu kenapa tiba-tiba mau telepon? Apa ada masalah, Dek?” tanya Kak Leo.

        “Hiks hiks, iya, Kak. Zeva capek harus bertemu dengan orang-orang di sekolah. Apa adek putus sekolah aja, ya, Kak?” ceritaku sambil menangis.

        “No, kamu gak boleh putus sekolah. Kamu udah berjuang sejauh ini, Zeva. Orang tua kamu juga membiayai kamu sekolah sampai di titik ini juga tidak sedikit. Apa kamu tidak mau mengukirkan senyuman di wajahnya? Aku tau kamu belum menerima. Wajar aja, lingkungannya juga gak mendukung untuk berkembang. Namun, untuk menjadi seorang mahasiswa sampai lulus, prosesnya, ya, melewati sekolah SMA atau Madrasah Aliyah. Aku yakin kamu bisa, Dek, sampai akhir. Aku yakin kamu mampu. Aku akan mendukung kamu, Adek. Sampai selesai. Okey. Jadi, sekarang sambung lagi, ya, semangatnya. Gapapa kalau mau nangis, nangis aja. Biar lega, gak enak kalau nangis ditahan,” kata Kak Leo padaku. Aku olah apa kata Kak Leo.

       Menang benar juga.
Ya. Kalau bukan aku, siapa lagi yang akan mengukirkan senyum untuk orang tuaku?

        “Iya, Kak, Zeva akan mencobanya.”

         Setelah aku bercerita dengan orang tersayangku, hatiku menjadi lega. Aku memutuskan kembali menjalani sekolah di Madrasah Aliyah. Menyambung segalanya yang putus termasuk putusnya semangat untuk bersekolah.

        Karena merekalah aku kembali menyambungkan semangat serta harapanku terhadap pentingnya pendidikan. Mereka adalah dua orang yang berarti bagi hidupku. Selain keluarga kecilku.

Yang katanya Masa Paling Indah ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang