Meski di tempat yang kurang menyenangkan, aku bertemu dengan seorang guru yang sangat membahagiakan. Beliau adalah Pak Zavier, guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Beliau adalah guru yang diam-diam memperhatikan setiap muridnya, baik perilaku maupun sifatnya.
Suatu hari, ketika kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, beliau menghampiriku saat aku sedang menunggu guru ekstrakurikuler datang. Pak Zavier menghampiriku dan mengajakku berbicara mengenai diriku.
"Hai, Zeva, sedang menunggu siapa?" tanya Pak Zavier.
"Eh, Bapak. Saya sedang menunggu guru ekstrakurikuler literasi, Pak."
"Apa boleh Bapak duduk di sini?"
"Boleh, Pak."
"Zeva, gimana kamu di kelas? Nyaman, nggak?" tanya Pak Zavier dengan senyum.
"Ya begitu, Pak, seperti yang Bapak lihat. Saya murid yang paling pendiam di sekolah dan di kelas."
"Mengapa kamu jadi anak yang pendiam di kelas dan di sekolah ini?"
"Saya kurang suka, Pak, dengan suasana di kelas. Karena banyak teman-teman yang punya circle, Pak."
"Sebenarnya Bapak sudah tahu tentang kelasmu. Hanya saja Bapak diam."
Aku hanya tersenyum mendengar penuturan Pak Zavier.
"Yang kena masalah karena alpa banyak. Yang suka membully juga ada. Kemarin, ada temanmu keluar dari sekolah gara-gara dibully oleh teman se-circle-nya. Tapi kamu tidak, kan, Zeva? Kalau ada apa-apa, ada Bapak di sini," ucap Pak Zavier sambil tersenyum kepadaku.
"Semoga tidak, Pak." Aku membalas ucapan Pak Zavier dengan senyum.
Namun, dalam hatiku berkata, Semoga saya bisa bertahan ya, Pak, hingga akhir kelas 12 ini. Terima kasih, Pak. Meski di sekolah ini sangat menyedihkan, ada Bapak yang peduli dengan murid-muridnya, di tengah ketidakadilan dan suara yang tidak didengar.
Selain pribadi beliau yang sangat peduli, aku juga menyukai cara beliau mengajar. Beliau selalu membebaskan muridnya untuk bertanya, memberi waktu bercanda, dan berbicara bersama selama 15 menit setelah pelajaran. Beliau juga sering memberikan hadiah kepada murid yang mendapat nilai di atas 90. Beliau adalah sosok yang sabar mendengarkan setiap suara muridnya, seorang guru sekaligus sahabat di sekolah.
🍒🍒🍒
Guru kedua adalah Pak Ardian, wali kelasku dari kelas 10 hingga 12 sekaligus guru mata pelajaran Bahasa Arab. Beliau pribadi yang humoris. Meski terkadang sibuk, beliau tetap memperhatikan murid-muridnya. Aku, Zeva, pribadi yang introvert dan sangat jarang berbicara, sering merasa canggung. Namun, Pak Ardianlah orang yang mengajakku berbicara dan membuatku berani berbicara. Aku hanya merasa nyaman berbicara dengan orang yang membuatku nyaman, meskipun terkesan aneh.
Suatu ketika, Pak Ardian membuat pengumuman di grup WhatsApp bahwa setiap murid yang memiliki prestasi dimohon untuk mengisi daftar. Awalnya, aku ragu, mungkin yang dimaksud adalah siswa berprestasi di sekolah, bukan di luar. Namun, aku teringat bahwa aku memiliki sertifikat olimpiade dan menulis. Aku mencoba mengirim pesan pribadi ke WhatsApp Pak Ardian. Ternyata, daftar tersebut bukan hanya untuk siswa berprestasi di sekolah, tapi juga untuk yang berprestasi di luar sekolah. Aku mengirimkan sertifikat dan mengisi daftar di WhatsApp pribadi.
Pak Ardian lalu berkata, "Wah, ternyata murid pendiam ini sangat pandai, ya. Selamat atas juaranya, Nak."
Dari situ, Pak Ardian memberiku semangat. Beliau pernah berkata, "Saya tahu kamu mampu, Nak. Kamu bisa, hanya saja tertutup oleh sifat introvert-mu. Tidak salah menjadi introvert, tapi saya ingin kamu mampu berbicara, tidak diam saja."Aku tersenyum kecil mendengar ucapan Pak Ardian. Lagi-lagi, hanya batinku yang berbicara, Saya mampu, Pak, tapi setiap hari saya merasa tidak nyaman di sekolah ini. Terima kasih banyak atas semangatnya, Pak. Saya akan mencobanya. Jika tidak di sini, mungkin di luar sana suatu hari.
Beliau adalah guru yang tidak pernah menuntut nilai terbaik dari setiap muridnya, hanya menuntut kejujuran dalam mengerjakan ujian. Aku pernah mendapatkan nilai 44 di mata pelajaran Bahasa Arab, dan beliau sama sekali tidak marah atau berkata kasar. Justru aku sendiri yang kecewa, mengapa sejak dulu aku tidak pernah bisa di pelajaran Bahasa Arab.
Saat itu aku berkata, "Maaf, Pak, nilai saya tidak memuaskan."
Jawabannya hanya, "Tidak apa-apa, Nak," sambil tersenyum kepadaku.
Satu hal yang sangat membekas di ingatanku adalah kata-kata beliau, "Kamu boleh di sekolah menjadi introvert dan tidak mengikuti banyak kegiatan. Tapi Bapak minta, ketika kamu lulus dari sini, kamu harus menjadi pribadi yang berubah. Tidak apa, Nak, jika di sini kamu tidak punya banyak teman. Tapi Bapak ingin, ketika kamu di perkuliahan nanti, kamu sudah memiliki teman. Oke, Nak?"
Kata-kata itu diucapkan ketika aku ingin meminjam handphone untuk keperluan lomba.
Suatu hari, saat aku menyerahkan semua sertifikat yang kumiliki kepada Pak Ardian di ruang guru, pukul 9.30, Hari Rabu, beliau berkata kepada para guru yang sedang istirahat makan, "Pak, Bu, perkenalkan ini murid saya yang paling pendiam di kelas. Tapi jangan salah, meski dia sangat pendiam, prestasinya sangat unggul di kelas."
Respons para guru saat itu sangat menyenangkan. "Masya Allah. Semangat, Nak," kata Pak Jumahidin, guru Geografi.
Aku tersenyum tipis dan hanya mampu berkata, "Terima kasih, Bapak."
Beliau berdua adalah guru favoritku. Mereka tidak hanya mengajar menggunakan buku, tapi juga dengan hati, memberikan rasa sebagai orang tua dan sahabat di sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang katanya Masa Paling Indah ?
Ficção AdolescenteCerita tentang Zevallia Valentina yang memiliki keinginan bersekolah disekolah unggulan di tempat tinggalnya. Namun, takdir berkata lain. Ayah nya tidak mengizinkan nya bersekolah sesuai keinginan Zeva. Sampai ia masuk dalam sekolah.... Cover by pi...