Annisa

5 1 0
                                    

Dan akhirnya Lutfan tumbang juga. Mau gak mau gue ijin kerja setengah hari buat jenguk dia. Dia anak rantau, semua keluarganya di Bogor. Lutfan itu ya, selain kerja utama ngide kerja sampingan atau freelance dan sekarang kena tipes kan.

Gue mendorong pintu ruang rawat inap nya. Gue duduk disebelahnya lalu mengupas buah apel untuk nya.

"Jangan lupa obat nya dimakan"

"Iya udah makan buah deh makannya" jawab lutfan sambil menatap laptop dipangkuannya.

"Fan, udah simpen laptopnya. Kan harus istirahat."

"Ini dimas minta review code nya sebelum di merge"

"Kan kamu lagi sakit, besok aku datengan si dimas ya."

"Dengerin cewek lu fan.."sahut seseorang dibelakang.

Ghaly.

Sontak gue melihat kebelakang. Ghaly berdiri disana sambil menenteng beberapa kantong berisi makanan.

"Gue udah makan gal, gak usah repot-repot.."sahut Lutfan.

"Geer lu, ini buat Kara. Pasti dia belum makan."ujar Ghaly sambil memberikan kantong itu.

Gue menerima kantong itu. Tak lupa tersenyum terimakasih. Dan setelah hubungan gue dan Lutfan berjalan selama dua bulan. Gue merasa tahta tertinggi tetap Ghaly. Gue merasa menjadi manusia paling munafik saat ini. Bukan gue gak suka sama Lutfan. Entah kenapa ketika Ghaly hadir persaan gue ke dia tiba-tiba hilang begitu saja.

Gue memakan makanan yang Ghaly berikan. Sementara itu Ghaly dan Lutfan asik bermain game di handphone mereka. Setelah selesai makan gue membereskan beberapa sampah dan keluar kamar untuk membuangnya. Namun tiba-tiba gue merasakan seseorang mengambil plastik sampah di tangan gue. Ya, Ghaly berjalan di depan dan membuang sampah itu. Entah kenapa gue malah mengikutinya kesana. Padahal pekerjaan itu sudah dia ambil alih, dan gue bisa aja masuk kembali menemui Lutfan. Ghaly berbalik menatap gue, gue agak salah tingkah mencoba pergi mencari udara segar.

Setelah memilih bangku bangku menghadap taman, gue sedikit melamun. Menerawang apakah keputusan gue sudah tepat? Karena semakin banyak kebaikan dan curahan perasaan Lutfan berikan, semakan besar rasa bersalah gue sama dia. Dan gue bisa merasakan seseorang duduk disebelah gue sekarang.

Ghaly.

"Kenapa lu kar? Lagi banyak pikiran kayanya?"

"Biasa, menjelang UAT"ujar gue tanpa menatapnya.

"Bisa dimaklumi, QA ujung tombak waktu UAT sih."

"Jangan lupa, PM yang pake tombak nya"jawab gue sambil menatapnya. Gue bisa melihat dia tersenyum. Gue mengalihkan kembali tatapan gue ke taman.

"Gue baru berani lagi ke rumah sakit sekitar tiga tahun kebelakang."dia tiba-tiba bercerita.

Gue mendengar itu seketika menandang ke arahnya. Dia menatap gue balik lalu melanjutkan ceritanya, dia bisa melihat wajah penasaran dihadapannya.

"Waktu kelas dua SMA gue punya sahabat cewek. Gue, Lutfan, Megan dan dia berteman dekat. Gue suka dia begitu juga Lutfan. Akhirnya gue ngalah sama Lutfan. Tapi, ternyata cewek itu nembak gue setelah ujian akhir semester.." Ghaly terlihat menarik nafas, "-gue tentu aja nolak dia. Karena gue tau Lutfan suka dia. Di hari itu gue ninggalin dia gak nganterin dia pulang, dan gak lama gue dapat kabar bahwa dia kecelakan hari itu. Gue terpukul, gue akhirnya ke rumah sakit dan yang lebih menyakitkan dia udah di kamar mayat. Dan saat itu juga Lutfan marah kenapa gue gak jujur soal perasaan gue sama dia, dia gak keberatan kalau dia mengalah. Lutfan masih bisa bangkit dan memulai dengan Rafika. Sementara gue ciut belum bisa melupakan hari itu."

Gue mencoba mencerna ceritanya dan menemukan luka di matanya. Oh, jadi ini alasan Ghaly belum juga punya pasangan dan fokus ke karirnya.

"Lu tau gal, gak ada takdir yang buruk. Semua yang Tuhan takdirkan dihidup kita pasti ada hikmah dan kebaikan. Gue salut sama persahabatan lu dan Lutfan, kalian masih tetap peduli dan support sampai di titik ini-" Gue menatap dia dalam, "Lu pernah denger gak sih, orang meninggal masih bisa melihat kita?" Ghaly mengangguk, "Kita dan mereka hanya dipisahkan oleh alam yang berbeda, cepat atau lambat kita pun akan menyusul. Gue yakin temen lu sekarang lagi tersenyum karena pertemanan kalian masih terjaga sampai sekarang."Lalu gue melepaskan pandangan gue dan menatap ke taman.

"Annisa" ujar Ghaly.

"Namanya Annisa.."jelasnya lagi.

"Lucu ya, gua paham kenapa Lutfan segitunya ngejar lu karena lu mirip sama dia, bahkan nama kalian mirip."

Gue menatap Ghaly keheranan.

"Gue melihat Annisa di diri lu kar, kalian terlihat pendiam padahal asyik diajak ngobrol. Sama-sama perhatian bahkan untuk hal kecil dan yang paling penting selalu optimis dengan takdir Tuhan."

"Ini bukan artinya Lutfan mau sama gue karena Annisa kan?"tanya gue sedikit menuntut tapi bercanda.

"Ya gak lah, dari segi karakter lagian kalian gak mirip kalau secara penampilan."

"Terus ini alasan lu gak punya pasangan aja ghal?"

"Iya, sebenernya gua mulai tertarik sama seseorang.. tapi gue gak mau kejadian lagi kaya dulu.."

"Maksudnya gimana?"

"Suka sama orang yang Lutfan sukain."

Guess agak sedikit membeku dengan ucapan nya tadi. Maksud Ghaly apa?

Ghaly menatap jam ditangannya.

"Bentar lagi orang tua nya Lutfan sampai nih. Lu gak mau ketemu calon mertua lu kar?"

"Pamali woy, belum tentu jodoh."

Gue berjalan meninggalkan Ghaly dan dia mengikuti gue seraya menyelaraskan langkahnya.

"Jadi lu gak mau berjodoh sama Lutfan?"

"Bukan gituh, gua gak mau membesarkan harapan. Kalau gak sesuai malah kecewa."

Kami sudah berada diruang inap Lutfan. Lutfan sedang tertidur nyenyak. Efek obat membuatnya lebih tenang. Gue menutup laptopnya dan memasukan ke tas laptop. Besok gue harus marahin dimas, masih aja gangguin orang sakit. Ghaly menyambut seseorang di pintu. Ya itu kedua orang tua Lutfan.

"Oh ini kara kara itu.."ujar seorang wanita paruh baya.

"Assalamu'alaykum tante, maaf belum sempet silaturahmi ke Bogor.."sahut gue sambil mencium tangan ibu Lutfan.

Pada saat itu gue bisa melihat Ghaly pergi undur diri. Dari raut wajahnya gue bisa melihat dia tak seceria tadi.

***
Lutfan akhirnya pulang ke Bogor setelah sembuh. Dia dipersilahkan wfh beberapa minggu mengingat kondisinya yang masih dalam masa pemulihan. Sehingga gue harus pergi ke kantor tanpa dia. Sebelum gua memesan ojek online, gua bisa mendengar deru suara motor di depan.

Motor Ghaly.

Gue bergegas menghampirinya. Gue melihat Ghaly tersenyum. Gue membalas senyumnya dengan keheranan.

"Selama Lutfan wfh gue bertugas anter jemput lu kar.." terang Ghaly tanpa diminta.

"Maksudnya?"

"Gue menawarkan diri ke Lutfan buat anter jemput lu ke kantor.."

"Lu minta izin ke Lutfan?"

"Iyess.."jawab dia tanpa keraguan.

Sementara disini gue ragu. Gue meragukan kesetiaan gue. Gue meragukan perasaan gue terhadap Ghaly. Gue ragu apakah gue sudah melupakannya dan hanya ada Lutfan di hati gue. Bagaimana jadinya hati gue kalau peluang gue bersama Ghaly saja tanpa embel-embel Lutfan begitu mudahnya?

Gue memakai helm dan duduk dibelakangnya. Gue gak bisa menolak. Dan bahayanya gue bisa nerasakan jutaan kupu-kupun keluar dari perut gue. Apa ini artinya gue masih bisa lupain Ghaly?

Gue seumur hidup, gak pernah membayangkan bisa sedekat ini sama dia. Biasanya gue yang hanya memandanginya dari jauh, sudah duduk dibelakang kemudinya. Andai ini bisa berlangsung lama?

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dari JauhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang