29. Ada apa? (Rev)

30 3 0
                                    

Pluem pergi apartemen August untuk menginap selama beberapa hari. Dia memilih menghindari Chimon. Belum siap bertemu langsung. Karena pasti dia akan luluh dengan air matanya. Sekalipun alasannya gak masuk akal, Pluem pasti akan memaafkan.

Tapi dia hanya manusia biasa yang bisa kecewa. Dan dia berhak mempertanyakan keputusan Chimon menghianatinya. Pluem kira dengan Chimon mau menjadi suaminya, maka dia sudah melupakan orang itu. Tapi ternyata tidak. Bahkan hubungan mereka lebih dekat.

Pluem merasa sudah dibohongi. Dari status pertemanan mereka saat Pluem dikenalkan pertama kali dengan Ohm. Tanda merah pada leher pacarnya yang gak pernah dia buat. Meski waktu itu dia ragu, tapi sekarang yakin. Itu bukan bekas ciumannya.

Yang paling membuatnya sakit hati. Ketika dia memergoki dengan langsung bagaimana intimnya Chimon dan anak itu. Bahkan pikirannya kosong untuk sesaat. Bener gak sih itu Chimon? pertanyaannya seolah tak percaya.

Rasanya keputusannya untuk membatalkan pernikahannya sudah tepat. Dia tak ingin dihantui perasaan takut Chimon akan berpaling. Setidaknya mereka baru pacaran. Dia tidak takut berkomitmen, tapi berjuang untuk seseorang yang memainkan cintanya rasanya gak perlu.

Pluem sengaja mematikan ponselnya. Tak ingin mendengar suara Chimon karena bisa meruntuhkan keputusannya. Pasti dia akan langsung menghampirinya dan memeluknya.

Di hari ke lima Pluem sudah mendapatkan wahana untuk internship.

Sebuah tempat yang mungkin anak-anak lain gak mau memilihnya. Wilayah perbatasan. Dan keputusan ini tanpa meminta izin orangtuanya. Tapi tak apa, pasti Ayahnya tau dia perlu menjauh dari ketidakpastian ini.

Saat surat keberangkatannya datang, Pluem baru kembali ke rumahnya untuk berkemas. Papah Tay langsung memeluknya, begitu juga dengan Ayah Newiee.

"Kamu kenapa gak pernah pulang? Paling gak ngasih kabar Papahmu yang udah tua ini." Pluem tersenyum mendengarnya. Merasa bersalah, hanya karena menghindari Chimon dia membuat kedua orangtuanya khawatir.

"Bang, gue sampe busuk nungguin lu pulang." Timpal adeknya yang tambah tinggi satu senti selama dia gak ketemu.

Seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang keluarga. Minus adeknya nomor dua yang gak mau pulang sebelum acara resepsi. Sayangnya, acara tersebut gak bakal ada.

"Iya, Pluem mau ngasih surat ini, Pah, Yah."

Setelah dibaca oleh kedua orangtuanya, mereka sangat terkejut.

"Bang ini mah ujung banget. Gue kalo mau ngunjungin lu harus naik helikopter."

"Gak usah, Non. Kalo pulangnya tetep minta salam tabok, mah. Mending lu baik-baik disini, jagain Ch... Ayah sama Papah." Bahkan setelah disakiti dia masih sanggup mengucapkan namanya. Meski terasa pahit di lidah.

"Oh." Jawab adeknya datar.

"Loh, ini jauh banget, Bang. Terus kapan kamu berangkat?" tanya Ayahnya setelah membaca isi surat tersebut.

"Besok, Yah." Orangtuanya menarik napas panjang. Mungkin dalam batin mereka gak mengira perjodohan ini akan berakhir dengan anak sulungnya pergi jauh.

"Kok mendadak, Bang? Ayah masih kangen sama kamu. Beberapa hari gak pulang, giliran pulang mau pergi lagi dan lama."

"Maaf, Yah. Pluem mengambil keputusan sendiri. Tapi Pluem akan merasa lebih baik sepulangnya nanti mengabdi."

"Pesawatnya berangkat jam berapa, Bang?" tanya Papahnya. "Biar kita bisa anter kamu ke bandara."

"Jam setengah enam pagi. Kalo gitu Pluem mau beresin barang-barang dulu, ya." Setelah berpamitan Pluem menuju ke kamarnya, disusul dengan adeknya.

"Tadi Chimon kesini, nyariin lu." Pluem berhenti sejenak. Tapi kemudian masuk ke kamarnya dan mengeluarkan koper besar. Ia mengurungkan niat untuk bertanya gimana kabar pacarnya itu. Ya, status mereka masih pacaran. Dan dia tak ada niat untuk memutus hubungan mereka.

Mau diapain lagi kalau cinta aja dia nggak dapet tempat? Chimon main dibelakang aja udah salah, ketika mereka berdua punya komitmen sama yang namanya pernikahan.

Nggak ada bagusnya dilanjut. Karena diakhir kalau bukan dia yang terluka, ya Chimon. Biar dia cari bahagianya sendiri. Kalau bukan jodoh pasti ada jalan berpisah.

"Jam keberangkatan gue, lu gak usah ngasih tau dia, ya." 

"Bang..."

"Biar gue tenang kerjanya dan gak mirkirin dia lagi." Padahal bohong. Gak gitu isi hati yang sebenernya. Kalo liat Chimon nangis-nangis di bandara, bisa-bisa dia membatalkan penerbangannya karena gak tega.

"NOTED!" seru adeknya yang ikutan masukin barang-barang yang mau dibawa.

"Bang, apa gak sebaiknya kalian omongin dulu masalah kalian sebelum berangkat?"

"Nggak, Non. Gue rasa dengan dia main belakang itu berarti dia meremehkan perasaan gue. Dia anggap cinta gue main-main, dan memilih yang lain. Gue juga berhak gak dengerin penjelasannya. Mungkin tergengar egois." Kata Pluem. Dia tak mau menyebut namanya. Bukan benci seperti isi bicaranya kepada adeknya, tapi dia gak mampu.

"Mau gue ceritain gak keadaan Chimon setelah lu pergi, Bang?" tanya adeknya hati-hati. Takut mungkin Abangnya merasa keberatan untuk menceritakan langsung, jadi dia minta izin lebih dulu.

"Gak, Non. Gak perlu. Karena lu pasti cerita gimana dia menderita hanya untuk membujuk gue, kan? karena lu sahabat baiknya."

"Sangkaan lu jelek banget, Bang. Kan gue juga adek lu."

Pluem menatap dalam-dalam adiknya, "Tapi lu lebih sayang dia. Makasih ya, Dek, lu jagain dia selama gue tinggal. Jagain terus, Abang titip dia ke elu."

Si Nanon langsung cemberut. "Bang, takut gue sama kata-kata lu. Pokoknya selesai tugas lu harus balik. Masa anak Pak Tawan cuma gue doang yang di rumah."

Pluem membalasnya dengan senyum ringan.


OffGun's Son In Law (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang