Teriakan.
"Jangan, kumohon. Jangan bunuh aku!" Aku berjalan ke arahnya yang mencoba menjauhiku. Ia merangkak mundur sambil menatap mataku. Mataku seolah menatap ke arah jiwanya, membuatnya ketakutan setengah mati. Meski beberapa kemudian, aku yakin tidak akan "setengah" mati lagi.
Tinjuku dan aku mencoba mengarahkan bogem mentah itu ke arah wajahnya. Saat tangan kananku yang bersimbah darah mencoba mengakhiri hidupnya, tangan kiriku mencekiknya membuatnya tidak bisa bernafas dengan baik. "Kumohon, argh." Dia mencoba meminta ampun, "Aku tarik kembali kata-kataku.." Dia menyesali apa yang telah ia katakan. Aku seketika tuli akan apa yang ia katakan selanjutnya. "Kamu.. bisa.." Aku tidak mendengar kelanjutannya karena aku menghujamnya dengan tinju-tinju yang sangat keras. Menghancurkan lantai di belakang kepalanya dan mengakhiri hidupnya. Kepalanya hancur, tidak bisa dikenali.
Aku tidak menahan pukulanku. Mataku seolah dibutakan sesuatu dan telingaku seolah ditutup karena amarah tak masuk akal yang aku rasakan. Aku tidak berhenti meninjunya sampai wajahnya tidak terlihat berbentuk lagi."Hah..hah..." Aku menarik napasku dalam-dalam. Menyadari apa yang telah aku perbuat. "Sialan.."
Aku melakukannya lagi.
***
Hujan deras turun dari langit kala itu. Aku menggali tanah di belakang rumahnya dan memasukkan mayatnya ke dalam tanah setelah memandikannya. Tidak lupa aku memasang sebuah penanda seperti batu yang aku tancapkan di atas kuburnya. Aku tidak menambahkan namanya, karena aku tidak sempat bertanya padanya. Bahkan aku tidak mengetahui siapa dia, tapi aku membunuhnya dengan sangat keji. Apa yang sebenarnya aku lakukan?
"Sialan.."
Lututku lemas. Aku terjatuh karena terbebani rasa bersalah. Sungguh munafik sekali. Penyesalan yang aku rasakan tidak ada gunanya. Tuhan tidak akan mengampuniku, bukan? Orang keji sepertiku ini, tidak pantas untuk hidup.
Aku menatap kuburnya, "Aku iri. Aku harap ada seseorang yang pada akhirnya bisa membunuhku dengan keji." Aku pantas mendapatkannya. Aku sangat pantas mendapatkannya.Rasa bersalah, rasa kecewa, kemarahan, kepasrahan, dan kebencian. Semuanya tercampur aduk dalam asaku, membentuk kekecewaan yang mendalam terhadap diriku sendiri. Perasaan gagal tak berhenti menggerogoti jiwaku.
"Siapapun kamu. Aku harap kamu mendapatkan tempat yang baik." Aku mencoba mendoakannya, meski aku rasa tidak akan berguna karena aku pikir Tuhan tidak akan mendengarkan suara orang keji sepertiku.
Aku bangkit dan mencoba berjalan meninggalkan kuburannya. Kakiku kemudian berhenti di depan pintu rumahnya. Pakaianku yang basah meninggalkan jejak di teras rumahnya berupa air yang mengalir jatuh. Jika aku melihat ke dalam rumahnya, ia tinggal sendirian. Tanpa orang tua, istri, ataupun anak. Aku tidak tau apa dia meninggalkan mereka atau dia tidak memang memilikinya.
Cukup berbeda dengan seseorang yang sebelumnya aku bunuh, ia memiliki keluarga yang menangisinya setelah aku membunuhnya. Aku tidak membenci siapa-siapa. Aku malah mencari seseorang untuk mendapatkan sebuah jawaban dari pertanyaan yang membendung pikiranku. "Apa aku bisa berubah?" Pertanyaan itu selalu aku ajukan pada setiap orang yang aku temui. Aku mencoba menerima apapun jawaban mereka, tetapi aku tidak bisa menahan amarahku setelah mereka mencaci makiku dan mengutuk diriku atas perbuatanku.
Aku membunuh mereka. Mungkin sudah sekitar puluhan atau mungkin sudah genap seratus orang yang aku bunuh.Aku tidak bisa berubah, iya kan? Itu yang aku percayai.Namun, kenapa diriku menolaknya? Seolah mencoba mencari pembenaran atas tindakan yang aku lakukan. Seolah mencari jarum di tumpukan jerami. Mencari arti dan ampunan Tuhan di tumpukan mayat orang-orang yang telah aku bunuh.
"Aku bisa berubah.""Kau tidak bisa berubah.""Tuhan pasti bisa mengampuniku.""Tuhan sekalipun muak melihatmu.""Aku ingin hidup.""Sebaiknya kamu mati saja."Semua kontradiksi dan pertentangan dalam diriku membawaku ke dalam kawah kebingungan dan ketidaktahuan. Aku tidak tau harus apa. Aku tidak tau aku mau apa. Aku harap seseorang memberi tahuku apa yang harus aku lakukan. Aku benar-benar ingin berubah, berhenti melakukan semua kekejian yang aku lakukan selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Balik
FantasySebuah sejarah yang terlupakan pada zaman mistis, di dunia yang kaya akan pengetahuan dan kekuatan. Zaman emas untuk transendensi. Di dunia yang tampak damai di permukaannya, ada seorang pemuda bernama Raif Altair yang menyembunyikan rasa bersalah d...