Aku berjalan keluar dari rumah orang tersebut dengan baju yang diwarnai darah yang mulai mengering. Pada saat ini, tidak ada yang memenuhi hatiku selain perasaan hampa dan bersalah. Aku menatap ke arah langit yang diselimuti awan mendung.
"Apakah.."
Aku menahan diriku sendiri untuk tidak mengeluarkan kalimat itu lagi. Kepalaku tertunduk dan terus melangkahkan kaki ke depan. Aku tidak tau kemana ini akan membawaku. Kakiku terus berjalan tanpa arah entah berapa lama.Diriku sekarang bagai cangkang tanpa isi bagai raga yang tidak memiliki jiwa. Tatapan kosong dari seseorang yang telah tenggelam dalam kebingungan. Berharap seseorang membawanya keluar dari semua ini.
Tiga hari kemudian...
Aku berjalan tanpa henti di atas padang rumput ini. Tak ada yang menuntunku atau memberikanku petunjuk. Apa yang sebenarnya aku lakukan? Rasanya ingin mati. Aku mengamati rerumputan sekitarku, mereka bergerak ke sana kemari tertiup angin. Sudah berapa hari sebenarnya ini? Aku diam termenung, tidak tau harus memikirkan apa. Bagai orang yang linglung atau orang yang mabuk. Rambutku yang sepanjang pundak ikut tertiup angin yang kencang.
Mataku menatap langit, "Bukannya sudah terlalu lama langit mendung?" Tidak ada sinar matahari yang aku rasakan sedari awal aku meninggalkan rumah orang tersebut. Namun, saat aku tengah mendalami pengamatanku, suara teriakan seseorang terdengar, "Ayo lewat sini!!" Disertai dengan suara kaki kuda yang semakin dekat denganku.
Kini aku berada di daerah padang rumput yang luas. Aku melihat bayangan orang-orang yang menaiki kuda yang perlahan mendekat ke arahku. Mereka mengenakan jubah dari kain dan tombak dan pedang di tangan mereka. "Apa mereka sekelompok pasukan?" Mungkin saja ada desa atau suku di sekitar sini.
"Mereka tidak mengincarku, kan?" Aku menatap mereka yang semakin dekat ke arahku sehingga membuatku sedikit waspada karena aku tidak membawa senjata apa-apa.Suara telapak kaki kuda tersebut semakin keras dan aku mulai melihat mereka berjalan ke arahku. Aku hanya melirik mereka yang terus melanjutkan perjalanan tanpa mengucapkan sepatah kata padaku. Sepertinya aku bukan tujuan mereka, aku memutuskan berbalik badan dan melanjutkan perjalananku juga.
"Hari ini cukup melelahkan kurasa." Bagi diriku yang sudah berjalan tanpa henti selama berhari-hari tanpa makan dan minum, ini sudah cukup melelahkan. Jika aku manusia normal mungkin saja aku akan mati karena kelaparan dan kelelahan. Namun, setidaknya aku bisa bertahan berminggu-minggu tanpa makanan dan minuman.
Jika seseorang bertanya padaku, "Siapa kamu sebenarnya?" Ketahuilah bahwa aku hanyalah manusia seperti kalian. Lebih dari itu, aku harus berpikir bagaimana caraku mendapatkan makanan? Atau setidaknya minuman di antara padang rumput yang luas ini. Namun, pemikiran itu sepertinya sangat tidak mungkin.
Mataku mengamati sekitar yang hanya dipenuhi rumput yang bergoyang akibat angin yang lalu. Namun, aku melihat sesuatu yang menarik perhatianku dari kejauhan. Sepertinya aku melihat sebuah pohon. Semoga saja benar, aku sedikit keroncongan sekarang.Aku bersiap-siap untuk berlari, "Satu.. dua.. tiga.." Aku menarik napas dalam-dalam untuk mempersiapkan tubuhku. Dan dalam satu hentakan kaki.
Fyuushhh..
Layaknya angin kencang yang menerpa dedaunan dan tanaman hijau, aku bergerak setara dengannya, tidak, aku bergerak jauh lebih cepat daripada angin. Di mata manusia normal mungkin aku terlihat menghilang dari hadapan mereka meski kenyataannya aku hanya bergerak sangat cepat.
Kurang dari dua puluh detik yang berlalu, aku bisa sampai di hadapan pohon yang aku lihat barusan. Kedua mataku mengamati pohon ini dengan lekat, "Tak ada."
Aku tidak menemukan buah yang tumbuh di ujung batang pohon ini. "Hadeh.. apa yang aku harapkan? Di padang rumput ini jarang ada pohon karena rerumputan ini mengambil semua airnya. Jikapun ada pohon belum tentu berbuah juga." Yah, meskipun itu hanya hasil deduksiku semata.
Aku menghela napas dalam-dalam, "Aku menyerah mencari makan." Aku tidak perlu merasa kesal juga karena mati kelaparan mungkin salah satu cara mati yang bisa menebus semua darah di tanganku. Atau mungkin saja kematian tidak cukup bagiku?Mataku mulai suntuk karena mulai kelaparan. "Mungkin lebih baik tidur saja di bawah pohon ini, harusnya energiku kembali sedikit setelah tidur." Aku memutuskannya dengan cepat.Pada sore yang mendung itu, aku tidur di bawah pohon. Berharap tidak ada yang menggangguku.
Beberapa jam kemudian...
Malam tiba dan udara dingin menggelitik kulitku. Aku yang tertidur lelap tidak merasa terganggu oleh suasana malam ini. Hanya saja, ada yang aneh.
"Cepat bawa dia!" Teriakan itu seolah menggema dalam kepalaku.
Perasaan ini, aneh. Seperti ada teriakan dan suara seorang gadis. "Kejar dia, tembak tangan nya!" Desahan akibat terluka terdengar keras, sepertinya berasal dari seorang perempuan.Apa ini? Apa aku sedang bermimpi?
Seolah-olah aku berada di dalam ruangan hitam yang tidak memiliki apa-apa. Namun, ingatan akan masa itu kembali bergentayang dan memanifestasikannya pada saat ini. Aku melihat kesengsaraan orang-orang itu. Teriakan orang tua yang melihat anaknya kehilangan kedua tangannya. Teriakan seorang anak yang melihat kepala ibunya.
Aku melihatnya. Desa yang terbakar dengan aku sebagai aktor utamanya. Diriku yang muda seolah menatapku dengan baju yang bersimbah darah dan senyuman tanpa rasa bersalahnya. Matanya menatapku dengan dalam saat ia tiba-tiba menarik paksa seorang gadis yang berlari di belakangnya. Ia menggenggam pergelangan tangannya dengan sangat kuat hingga gadis itu ketakutan setengah mati.
Aku tidak bisa bergerak, hanya bisa memandangi kekejianku yang tengah berlangsung di hadapanku sendiri. Aku melihat diriku yang dulu membunuh gadis itu dengan cara yang tidak manusiawi.
Ia hanya tertawa tanpa rasa bersalah sedikitpun. Tanpa rasa iba sedikitpun melihat desa yang terbakar dan orang-orang yang terbantai di tangannya. Aku sangat ingin membunuhnya. Aku harap dia mati.
"Tolong a—" Aku mendengar suara itu lagi dan kini suara itu terasa lebih nyata. "Huh?" Mataku terbuka lebar dan bangun dari mimpi buruk itu. "Sialan, mimpi itu lagi." Aku mengusap kedua mataku, tapi aku mendengar suara samar seorang gadis. Aku kembali fokus dan melihat sekitarku.
Ke kanan dan ke kiri, aku melihat dan mencoba mencari sumber suara. "Darimana suara itu berasal?" gumamku.Kemudian, aku melihat sesuatu bergerak dari kejauhan hingga membuatku secara sigap untuk menunduk sambil mengamati dari kejauhan. "Ada empat kuda yang sedang menuju kemari." Aku juga bisa melihat beberapa orang yang mengelilingi kuda tersebut seolah melindungi penunggang kuda tersebut.
Apa mereka orang yang tadi? Aku tidak tahu.Kemudian aku menyadari sesuatu. Sumber suara yang barusan aku dengar, mungkin berasal dari sana. Aku dapat melihat meski samar bahwa ada seorang perempuan yang terikat di tengah-tengah gerombolan orang-orang itu.
"Apa aku harus menolongnya?" Pertanyaan itu muncul dalam pikiranku. Apakah orang sekeji aku boleh menolongnya? Siapa aku sebenarnya? Seorang pembunuh yang mencoba sok-sok an menjadi seorang pahlawan?Aku merenungi jalan yang harus aku pilih. Kenapa menolong orang lain begitu berat bagiku? Apa sesulit itu bagiku? Aku tinggal menolongnya, kan?"Tapi kenapa? Bukannya aku sendiri sudah lama mengabaikan kata-kata itu?" Kata-kata seperti permohonan dan permintaan tolong. Kata-kata terakhir kebanyakan orang yang telah aku bunuh, bukannya aku sendiri sudah mengabaikan kalimat itu?
Aku melihat mereka semakin dekat ke arahku sedangkan aku sendiri bingung mau melakukan apa. Seolah kontradiksi yang berbenturan di dalam kepalaku menahan tindakanku selanjutnya. Aku diterpa dilema yang menerjang pikiranku. Mencoba sebaik mungkin agar aku bisa lepas dari semua ini. Tak lama kemudian, aku memutuskannya. Hingga seolah semua kebimbanganku runtuh begitu saja.
Sebuah panah terbang melesat ke arahku, kepalaku meneleng menghindari serangan tersebut. Mereka menyadari keberadaanku. "Siapa itu?!" ucap salah satu dari mereka. Setelah itu, aku merasakan hasrat gelap mulai muncul dari dalam diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Balik
FantasySebuah sejarah yang terlupakan pada zaman mistis, di dunia yang kaya akan pengetahuan dan kekuatan. Zaman emas untuk transendensi. Di dunia yang tampak damai di permukaannya, ada seorang pemuda bernama Raif Altair yang menyembunyikan rasa bersalah d...