Seminggu telah berlalu. Keadaan Jeslyn berangsur-angsur membaik. Luka di punggung dan lengannya akibat cambukan mulai mengering.
Tentang kejadian ini, Jeslyn masih tidak percaya. Kali ini ia harus benar-benar menerima kenyataan bahwa dirinya mengalami perjalanan waktu. Bagaimana tidak? Segala cara yang ia lakukan untuk membuatnya terbangun bahkan membunuh dirinya sendiri pun, tetap tidak ada yang berubah. Seolah dirinya memang tidak akan bisa keluar dari tempat ini.
Sudah ke empat kalinya Jeslyn menusuk lehernya sendiri dan mati, juga sudah ke empat kalinya ia kembali ke masa saat dirinya pertama kali tiba disini. Sambutan cambukan yang mengerikan untuk bocah usia empat tahun.
Butuh keberanian besar memang, namun hal ini sudah menjadi biasa karena aturan jika misi gagal, akan lebih baik membunuh dirinya sendiri sebelum ditangkap oleh pihak musuh. Mengerikan memang, tapi inilah nyatanya.
Sejak saat itu, Jeslyn menyerah dan mencoba beradaptasi didunia-nya yang baru. Jeslyn sedikit kesulitan saat beradaptasi mengingat semua yang ia alami, semua yang ia terima, adalah hal asing untuknya. Perhatian kecil dan kata-kata lembut yang menyapa pendengarannya. Tidak seperti dulu, bentakan, makian, dan ketidakpedulian adalah makanan sehari-hari Jeslyn sejak kecil. Hingga ia bertemu dengan seseorang kakek tua yang menolongnya keluar dari tempat terkutuk, Zona Merah.
Semingguan ini, hal yang dilakukan Jeslyn adalah berdiam diri untuk memulihkan lukanya. Mungkin setelah lebih baik, ia akan mulai menjelajah tempat dimana dirinya tinggal saat ini. Tempat yang penuh dengan barang-barang kuno. Jika benar ini adalah era Kekaisaran, bukankah tidak ada yang tidak mungkin jika makhluk, sihir, dan moster itu ada?
-
-
-"Bibi, aku ingin belajal membaca."
Pergerakan mengupas buah seketika berhenti saat mendengar celotehan nona kecilnya. Bibi mendekatkan dirinya untuk lebih dekat ke arah Jeslyn. Bibi menatap lamat nona-nya.
"Apa nona serius?"
Jeslyn mengerutkan keningnya. "Kenapa? Apakah aku tidak dipelbolehkan belajal, bibi?"
Bibi menggerakkan tubuhnya sedikit menjauh memberi ruang. Bibi mengelus lembut Jeslyn. "Tidak, Nona. Anda boleh belajar apapun yang Nona inginkan. Tapi, nona masih terlalu dini untuk menerima pembelajaran. Apa tidak apa?"
"Aku tidak apa-apa, bibi. Akan lebih baik jika aku menghabiskan waktu dengan benal." Jawab Jeslyn lancar. Sebenarnya bukan itu alasannya. Ia hanya ingin cepat-cepat mencari informasi terperinci yang tidak akan bisa ia tanyakan pada bibi pengasuh.
Bibi pengasuh tampak berpikir, "apa nona tidak masalah jika bibi saja yang mengajarkan nona membaca?"
Tanpa ragu Jeslyn mengangguk, "boleh! Jadi kapan bibi? Aku bosan dan aku ingin mengusil kebosananku."
Bibi pengasuh berpikir sebentar, "besok bibi akan membawakan nona beberapa buku."
Mata Jeslyn berbinar senang, "janji ya, bibi?" Jeslyn menyodorkan kelingkingnya. Bibi menatap kebingungan.
Jeslyn mengernyit. "Ini simbol janji. Bibi halus mengaitkan jali kelingking bibi dan aku sebagai kesepakatan."
"Nah, sepelti ini!" Tanpa sadar Jeslyn berteriak antusias saat berhasil menyatukan kelingking kecilnya dengan kelingking milik bibi pengasuh.
Bibi terkekeh kecil melihat tingkah nona-nya yang benar-benar diluar perkiraan. Ia tersenyum lembut.
Dirinya berharap, nona nya akan terus ceria seperti ini ditengah kesulitan dalam hidup. Ia ingin, nona nya bahagia dengan mendapatkan kasih sayang penuh seperti saudari kembarnya. Jika hal itu terlalu berlebihan, setidaknya biarkan nona-nya menikmati kehidupan layaknya seorang anak kecil yang hanya mengerti cara untuk bahagia dan tertawa.
-
-
-24 Desember 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
I Thought it was a Dream
Ficción históricaHistorial - Kerajaan - Fantasi Sebagai seseorang yang berprofesi menjadi agen mata-mata membuat kehidupannya penuh dengan logika, perhitungan, dan rasa was-was setiap saat. Awalnya, dia mengira jika dia sedang berada alam bawah sadar karena saat te...