08. Beranjak.

30 5 0
                                    

About You.
Looking for ways to let you know just how I feel,
I wouldn't change a thing cause finally it's real

Apakah pertemuan pertama membuatku percaya dan yakin akan perasaan yang dulu? Tentu tidak. Tentu tidak. Tentu tidak, ulangku tiga kali. Seraya ramainya gemuruh di dada tentu saja tidak seramai pikiranku.

Maksudku, apakah ada kemungkinan orang untuk jatuh cinta dengan orang yang sama bertahun-tahun, pun setelah sekian lama tidak bertemu? Maka jawabannya, tidak.

Tidak tahu.

Maka aku mengumpulkan beberapa jawaban setelah banyaknya pertemuan. Rumit memang. Dan aku memang serumit itu.

Apakah aku masih menyukainya?

Apakah aku menyukainya yang saat ini?

Tahun ini?

Aku senang ketika bertemu lagi dengannya. Saat duduk bersebelahan dengannya. Saat ia menoleh menatapku untuk mendengarkan ceritaku. Saat ia memperdengarkan lagu yang ia tulis padaku. Saat ia mengomeliku meminum es dikala flu. Saat ia mengingat beberapa momen masa lalu kami.

Aku senang saat pertemuan selanjutnya, saat aku yang tiba-tiba mengajaknya, dan ia memberikan waktunya. Aku senang saat ia datang menghampiriku. Aku senang saat ia berjalan ke arahku. Aku senang saat ia mengingat beberapa hal kecil tentangku. Aku senang saat mendengarkannya bercerita tentang keluarganya. Aku senang ia bercerita tentang masa lalunya, kekurangannya, kesedihannya, namun juga hal yang membanggakan baginya.

Aku senang saat berbagi momen berharga bersamanya, menghabiskan waktu di bawah langit malam. Aku senang saat ia menyukai apa yang aku berikan. Aku senang saat ia bertanya banyak hal tentangku dengan cara yang berbeda. Aku senang saat ia memberitahu tentang kabarnya, menyapa di pagi hari, berpamitan di malam hari. Aku senang dengan entahlah... apakah itu usahanya, saat mencari hal-hal yang bisa dibicarakan, seperti drama korea? Seperti melukis? Seperti pinjam-meminjam buku?

Aku sangat amat senang, saat kali pertama ia membukakan pintu mobilnya untukku. Meminjamkan topi untuk menghalangi terik sinar matahari. Mengenalkanku pada teman-temannya. Mengingatkan waktu sholat, dan saling mendoakan. Juga, saat ia mengulurkan tangannya yang tak bisa kubalas saat itu.

Apakah semua itu belum cukup untuk menjadi alasan, aku juga akan menyukai dirinya yang saat ini. Yang sekarang.

Bukankah bahkan aku juga sangat mengingat semua tanggal-tanggal pertemuan yang tidak sesering itu, tapi sangat berkesan?

7, 11, 23, 27 July. 21 Agustus, 3, 6, 10, 30 September dan lain-lain yang mungkin memang tak aku ingat lagi sampai di beberapa pertemuan yang membuatku semakin bertanya-tanya.

Dirinya ada di momen bermakna bagiku, begitu juga sebaliknya, bukan begitu?

Semakin lama, semakin aku bertanya-tanya. Semakin lama, semakin aku ingin dipertanyakan olehnya, namun ada kalanya, ia tak lagi bertanya.

Hingga suatu pagi, aku memimpikannya dengan sosok yang sangat aku rindukan.

Sosok itu jarang sekali datang ke mimpiku. Aku bahkan menangis setiap kali bisa memimpikanya. Sosok itu yang sudah tidak ada lagi di dunia ku, yang kini pergi ke sisi-Nya terlebih dulu.

Abah, panggilanku untuk sosok kakek terbaik yang ada di dalam hidupku. Ia datang ke mimpiku. Menyilangkan tangannya dengan tatapan awas. Menatap pria yang menghampiri rumahku saat itu. Aku tak tahu apa artinya, karena ia hanya bertanya "Siapa ini?" Dan tak ada kata-kata lain keluar dari bibirnya.

Saat aku terbangun, aku kembali menangis karena merindukannya. Namun juga bingung, akan arti dari mimpi itu. Apakah Abah ingin mengenalnya? Atau sebaliknya. Namun jauh... jauh sebelum masa ini. Abah sudah mengenalnya.

Bagaimana bisa?

Dulu, ketika pelajaran bahasa indonesia di kelas 3 SMP. Bu Lis pernah meremedial cerita pendek yang aku buat. Dia bilang, ceritaku seperti ngambil di internet... yang padahal, mungkin saat itu harusnya dia sadar akan bakat murid nya bukan hanya jago melukis tapi juga jago nulis. Iya, itu cerita tentang aku dan dia, bagaimana kisah pertemuan dan perpisahan yang kita lalui.

Tapi ada satu hal lagi yang paling aku ingat betul, dan sepertinya ia harus tahu.

Abah pernah tiba-tiba mendatangi kamarku sembari membawa sebuah makalah tugasku yang tidak sengaja tertinggal di meja belajar lantai dua rumah—alias bersebelahan dengan meja kerjanya.

"Nih ada di meja belajar atas." Katanya menghampiri.

Ia tersenyum meledek. Ada lagi kalimat selanjutnya, yang sebenernya aku sedikit lupa tapi senyumannya selalu teringat. Tapi biar kalimat itu menjadi rahasia saja.

Dengan wajah memanas serta panik, aku langsung bilang kalau itu tugas sekolah, dan bukan cerita diary. Meskipun senyumannya tak pudar sedikitpun dan tetap meledek.

Betul, itu cerita pendek tentang aku dan dia, my first.

Jadi jauh sebelum Abah meninggalkan dunia ini, ia telah mengenal dirinya lewat cerita yang aku tulis untuk tugas Bahasa Indonesia.

Lalu apakah jalan yang akan ku lalui ini akan beranjak pada hal-hal tak terduga, atau justru menjadi sesuatu yang aku takutkan?

⋆⁺₊⋆ ☾⋆⁺₊⋆

Langit Tanpa BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang