Naruto dan Hinata kini ada di bilik praktik. Ini suatu hal yang baru bagi Hinata. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Dinding gelap kelabu dengan beberapa ornamen dan lukisan abstrak yang dipajang di sana.
Julia duduk di bibir ranjang. Aroma terapi yang berasal dari air disffuser elektrik di sudut ruangan masuk ke indera penciuman, membuat Julia merasa relax dan nyaman.
"Apa kau benar-benar yakin?" tanya Naruto pada Hinata untuk terakhir kalinya.
Hinata mengangguk mantap. "Tentu. Aku sangat yakin."
Naruto menyiapkan peralatan kemudian memakai sarung tangan lateks. "Jadi, pola apa yang kau inginkan."
"Aku ingin bunga mawar. Bunga mawar yang cantik di sini." Hinata menunjukkan letak yang dia inginkan. Di tangan sebelah kirinya.
"Baiklah jika itu maumu."
Naruto menghilangkan bulu halus dengan pisau cukur di area tangan Hinata yang akan ditato. Area tersebut dioleskan sabun khusus tato, setelah itu dibersihkan dengan tisu. Kemudian Naruto membalurkan alkohol agar steril dan siap dilukis.
Naruto membuat sketsa dengan teknik freehand untuk membentuk pola yang Hinata inginkan. Tidak lupa Naruto melumuri gambar dengan petroleum jelly sebelum mulai menebalkan pola yang tadi dengan mesin tato liner shader.
Ekspresi Hinata tak bisa berbohong. Hinata menahan perih ketika jarum mulai menembus kulitnya. Tangan kanan Hinata meremas handle tattoo bed, suatu bentuk usahanya mengurangi rasa sakit ketika benda tajam itu menari-nari.
Tak terasa pengerjaan tato selesai. Naruto membersihkan bagian tato yang sudah diberi cairan khusus dengan tisu. "Kau suka?"
Hinata takjub melihat hasil karya lelaki itu. Jauh lebih baik dari ekspektasinya. Lukisan bunga mawar indah yang memanjang di tangan kirinya. Gadis itu sangat senang.
"Ini bagus. Aku suka. Sangat suka!"
Naruto hanya tersenyum kecil sembari membereskan peralatannya.
Saat keluar dari ruangan, Hinata sudah disambut oleh Shikamaru dan Temari. "Lihat sayang, gadis lugu ini sudah menjadi gadis yang berbeda," kata Temari pada kekasihnya.
"Kau terlihat jauh lebih cantik dengan tato itu," puji Temari.
"Baiklah, semoga kau berhasil mendapat peran yang kau mau dan memperoleh nilai yang bagus."
"Terima kasih, teman-teman."
Shikamaru dan Temari saling berpandangan.Hinata berujar, "Kenapa? Apakah aku tak boleh menjadi teman kalian?"
"Tentu saja boleh. Sepertinya kita akan cocok." Temari menyodorkan ponselnya pada Hinata. "Tulis nomor ponselmu."
Hinata menuliskan nomornya kemudian menyerahkan ponsel itu kembali pada Temari.
Temari tersenyum. "Baiklah. Jangan lupa jawab panggilan dan balas pesanku."
Hinata tersenyum. "Tentu saja. Kita sudah berteman, bukan?"
***
Malam itu itu Hinata pulang ke asrama. Dia berganti baju dengan pakaian yang bersih. Rasanya lelah sekali badannya dan masih sedikit perih tato yang ada di tangannya. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Fuu yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut melihat tato baru Hinata. "A-apa yang kau lakukan, Hinata? Kau menato tanganmu?"
Hinata bangkit kemudian duduk. "Iya. Bagaimana menurutmu?"
Fuu melihat tato Hinata dengan seksama. "Terlihat bagus. Walau pun sedikit aneh. Karena hal itu bukan dirimu. Bukan Hinata yang kukenal."
Hinata mengembuskan napas. "Aku ingin ikut audisi pemilihan aktor Lady Rose yang akan diselenggarakan dua minggu lagi. Jadi, apa pun akan kulakukan untuk meraihnya."
"Ah, penampilan teater festival musim panas itu."
"Iya. Aku harap akan berhasil mendapatkan peran itu."
"Baiklah, semoga beruntung."
Hinata baru ingat. Dia harus mengisi daya ponsel karena sudah hampir seharian alat komunikasi itu tidak aktif. Ada beberapa pesan dari ibu menanyakan kabar, Temari yang mengajaknya ke kafe minggu depan dan Toneri yang minta maaf karena tak menepati janji.
Hinata tak membalas pesan dari ibu. Untuk Temari, Hinata setuju dengan ajakannya minggu depan. Kalau Toneri, Hinata membalas dengan kata-kata andalannya. 'Tidak apa-apa. Semoga harimu menyenangkan.'
Setelah membalas semuanya gadis itu membaringkan tubuh hingga terlelap.
Di samping tempat tidur Hinata, terlihat Fuu yang duduk duduk di tepi ranjang memandanginya dan tato di tangannya dengan tatapan yang sulit diartikan.
***
Alarm jam digital di nakas samping tempat tidur Hinata berbunyi. Menandakan ini sudah waktunya dia bangun pagi. Hinata enggan beranjak dari tempatnya dan menutup kepalanya dengan selimut tebal. Dia menunggu omelan Fuu membangunkannya. Namun, suara Fuu tak terdengar sama sekali. Karena penasaran, Hinata akhirnya membuka mata. Ketika dia melirik ranjang di sampingnya, Fuu sudah tak berada di sana. Biasanya gadis itu yang berisik jika Hinata tak kunjung bangun.
"Mungkin Fuu sedang di kamar mandi," pikirnya.
Tapi sudah lebih dari lima belas menit tak ada yang keluar dari pintu toilet.
Hinata mengetuk pintu kamar mandi. "Fuu, apakah kau ada di dalam?" serunya.Tidak ada jawaban. Hinata membuka kenop pintu, ternyata tak ada siapa pun di sana. Hinata masuk dan membersihkan diri, bersiap ke kampus.
Di kampus Hinata pun tak menemukan Fuu. Dia malah tak sengaja berpapasan dengan Toneri di koridor kelas. Toneri hendak menuju aula sedangkan Hinata baru saja keluar kelas.
"Hai, Hinata. Maaf untuk tempo hari," ujar Toneri.
"Ah, tak masalah. Bukan salahmu. Ponselku mati jadi kau tidak bisa menghubungiku untuk memberi tahu."
"Begitu rupanya." Toneri menatap lekat iris amethyst Hinata. "Hari ini apa kau punya waktu?"
Merasa gugup, Hinata buru-buru menjawab, "Tentu. Setelah kelas Profesor Iruka."
"Baiklah. Aku akan menunggu di aula." Toneri melihat tato baru Hinata sambil meraih tangannya. "Wow, apa ini? Kau membuat tato?"
Hinata tersenyum bangga. "Iya, bagaimana menurutmu?"
"Terlihat cocok denganmu." Netranya melirik Hinata dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Kau tampak lebih ... menggoda," bisik Toneri dengan gestur merapatkan tubuhnya pada gadis itu.
Merasa tak nyaman dengan perlakuan seniornya itu, Hinata mendorong Toneri menjauhinya. "Maaf, sudah waktunya masuk kelas. Sebaiknya aku segera ke sana. Sampai bertemu lagi."
Hinata berlalu meninggalkan Toneri yang masih memasang senyum miring. "Gadis yang menarik."
***
Kelas Profesor Iruka sudah berakhir tiga puluh menit yang lalu. Kini Hinata sudah berada di aula. Namun, lagi-lagi Toneri dengan gampangnya membatalkan janji. Setelah Julia lama menunggu. Urusan mendadak katanya.
Tiba-tiba ponsel Hinata berdering. Panggilan dari Temari. Sudah seminggu sejak terakhir kali mereka bertemu di studio Naruto.
Suara Temari dari seberang sana. "Hallo, Hinata. Apa kau bisa membantuku?"
Hinaya membetulkan letak ponselnya. "Tentu. Apa yang bisa kubantu?"
"Bisakah kau ke tempatku sekarang?" kata Temari.
"Iya. Tunggu, apa ini darurat?" tanya Hinata ingin tahu.
"Benar. Ini sangat penting. Kau harus segera ke sini," jawab Temari yang membuat Hinata bertambah penasaran.
"Baiklah, Aku akan ke tempatmu sekarang juga." Hinata berjalan cepat menjauh dari area kampus.
"Aku akan kirimkan alamatku. Terima kasih, Hinata." Kemudian Temari menutup telepon.
Hinata merasa khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi pada temannya itu. Apa dia bertengkar dengan Shikamaru? Atau ada hal lain yang lebih genting dari itu?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet (NARUHINA)
FanfictionHinata dan Naruto sama-sama menginginkan kemerdekaan dan kebebasan atas diri mereka sendiri. Hinata yang lari dari desa ke kota dengan berburu beasiswa agar terlepas dari sang ibu tiri, sedangkan Naruto lebih memilih kabur dari kediaman keluarga bil...