"Aku akan kirimkan alamatku. Terima kasih, Hinata." Sambungan telepon dari Temari terputus.
Hinata merasa khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi pada temannya itu. Apa dia bertengkar dengan Shikamaru? Atau ada hal lain yang lebih genting dari itu?
Hinata berjalan menuju halte bus dekat kampusnya. Di jalan, dia melihat Fuu yang sedang bermesraan dengan seorang laki-laki di kafe tak jauh dari kampus. Rasanya familiar melihat punggung lelaki yang bersama teman sekamarnya itu.
Walau pun penasaran, Hinata tetap melewatinya karena rasa khawatir pada Temari lebih besar. Untung saja bus segera datang dan Hinata naik untuk sampai ke tempat yang dimaksud Temari.
Sampailah kini Hinata di alamat yang dikirimkan Temari lewat pesan setelah berjalan kaki cukup jauh dari pemberhentian bus. Dia berada di depan butik pakaian dalam yang berada di gang kecil.
"Apa benar ini tempatnya?" Hinata memastikan alamatnya lagi.
Hinata bingung. Sebaiknya dia tetap menunggu di luar sebelum Temari benar-benar menghubunginya lagi. Namun, jika Hinata tetap berada di sini, dia takut dicurigai seperti tempo hari di studio tato Naruto. Akhirnya Hinata memutuskan untuk masuk saja.
"Permisi, apa benar ini alamat yang tertulis di sini?" Hinata bertanya pada gadis yang berada di meja kasir sembari menunjukkan pesan pada ponselnya.
"Iya benar. Apa ada pakaian dalam yang kau inginkan, Nona?" Si kasir mencoba memberikan bantuan.
Hinata menggeleng. "Tidak. Aku mencari Temari."
"Ah, kau mencari Temari rupanya. Baiklah, kau tunggu sebentar biar aku panggilkan untukmu."
Beberapa menit kemudian Temari datang dengan wajah kusut. Wanita dua puluh lima tahun itu terlihat kurang tidur dan tak bersemangat. Sepertinya dia benar-benar punya masalah besar.
"Apa kau baik-baik saja, Temari?" ujar Hinata seketika melihat keadaan temannya itu.
"Iya, aku tak apa. Mari ke ruanganku. Aku akan ceritakan semuanya." Temari mengajaknya ke ruangan khusus di lantai dua.
"Ada apa denganmu? Apa kau bertengkar dengan Shikamaru?" kata Hinata setelah duduk di sofa bludru merah di ruangan itu.
Temari nampak lelah. "Tidak. Aku bahkan belum pulang sejak kemarin. Ada yang lebih berharga ketimbang hubunganku dengannya."
Hinata semakin penasaran. "Apa itu? Apa hal ini sangat penting bagimu?"
Tak membalas Hinata, Temari justru balik bertanya. "Apa hari ini kau sudah melihat berita?"
Hinata memang jarang melihat berita, jadi kadang kala gadis itu memang tak up to date tentang keadaan di kota itu. Dia menggeleng. "Tidak, sebenarnya ada apa, Temari? Cepat katakan saja."
Temari sangat frustasi. "Model utamaku terjun dari lantai 15 hotel yang ditempatinya, aku rugi besar dalam semalam. Dia bahkan belum melakukan apa pun untuk butikku."
"Seharusnya ada jadwal pemotretan hari ini. Tapi semua itu batal, karena si tolol itu mati."
"Butikku memang tak sebesar yang lain, tapi bagaimana nasib bisnis yang kurintis sejak tiga tahun ini akan berjalan, kalau semua uang aku investasikan pada si jalang berengsek itu."
Mendengar cerita Temari barusan, Hinata merasa iba. "Jadi, apa yang bisa kubantu? Aku tidak punya keahlian apa-apa yang dapat menolongmu."
Dengan wajah memelas, Temari memohon pada Hinata. "Bisakah kau menjadi bagian dari butik ini? Karena aku tak mampu lagi membayar orang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet (NARUHINA)
FanfictionHinata dan Naruto sama-sama menginginkan kemerdekaan dan kebebasan atas diri mereka sendiri. Hinata yang lari dari desa ke kota dengan berburu beasiswa agar terlepas dari sang ibu tiri, sedangkan Naruto lebih memilih kabur dari kediaman keluarga bil...