Setelah berganti pakaian, Hinata datang kembali ke hadapan Naruto yang sedang menonton acara televisi. Hinata memakai kaos Naruto layaknya mengenakan terusan di atas lutut. Naruto melihat Hinata dari ujung kaki hingga kepala. Gadis itu justru membuatnya tampak lebih imut.
"Apa kau punya celana yang bisa kupakai juga?"
Tak ada respon dari Naruto. Dia hanya memandangi gadis itu tanpa berkata apa-apa.
Hinata melambaikan kedua tangannya pada Naruto. "Hei, apa kau punya sesuatu yang bisa kupakai?"
Naruto tersadar ketika Hinata mengulangi pertanyaannya lagi. "Ah, akan kubawakan celana yang cocok untukmu."
Naruto teringat beberapa potong celana panjang milik Karin yang tertinggal sewaktu sepupu dari pihak ibunya itu kabur dari rumah beberapa bulan lalu.
Naruto memberikannya pada Hinata. "Apa ini sesuai dengan ukuranmu?"
"Sepertinya pas. Akan kucoba semuanya."
Benar saja, celana-celana itu sangat pas di tubuh Hinata. Dari mulai celana pendek jin, celana panjang ketat sampai celana jin belel biru laut begitu sesuai dengan ukurannya. Walau pun semua itu bukan gayanya, Hinata tetap memakainya.
Akhirnya Hinata memilih celana jin belel biru laut yang tampak serasi dengan kaos hitam gombroh yang dipakainya sekarang. Hinata menyelipkan ujung kaos ke dalam celana. Lalu memandang lagi ke cermin kamar mandi. "Tidak terlalu buruk." Dia mencuci wajahnya dan merapikan rambutnya.
Keluar dari kamar mandi, Hinata mendengar suara ribut dari arah pintu depan. Dia mengintip dari balik dinding ruang tamu.
Terlihat jelas sorot mata Naruto dipenuhi dengan amarah. "Untuk apa kalian ke sini?"
Salah satu dari tiga orang berbaju serba hitam itu menjawab, "Kami diperintah untuk menjemput tuan muda sekarang."
"Tak perlu kalian datang pun aku akan menemui si tua bangka itu."
Kini giliran yang bertubuh lebih berisi yang bicara. "Tuan besar takut anda akan kabur lagi."
Naruto tersenyum miring. "Sejauh apa pun aku pergi si tua bangka itu pasti akan menemukanku juga bukan?"
"Sebaiknya tuan muda ikut kami saja. Sebelum tuan besar bertindak lebih jauh lagi."
Naruto mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Menekan nomor yang dia hapal di luar kepala. "Bawa anak buahmu pergi dari sini! Aku akan pulang tapi tidak bersama mereka!" Naruto menutup panggilannya.
Tak lama kemudian, pemimpin dari mereka mengangkat telepon. "Baik, Tuan."
Mereka saling melempar pandang dan kode untuk pergi dari sana. "Baiklah, Tuan. Kami pergi."
Naruto mengumpat sambil menutup pintu dengan kesal. Dia sedikit terkejut ketika mengetahui Hinata ada tak jauh dari tempatnya.
"Apa kau tak apa?" Hinata memeriksa keadaan Naruto.
Naruto tak menjawab.
"Apa mereka mengancammu?"
Naruto bingung, namun tak juga membalas.
"Kau punya utang seberapa banyak hingga penagih hutang itu datang ke sini?"
Mendengar perkataan Hinata barusan, Naruto sedikit terhibur. Pengawal pribadi sang kakek disangka penagih hutang. Naruto kemudian menyusun skenario kebohongan pada Hinata untuk mendapat simpati.
Naruto mulai akting memelas. "Tak terhitung jumlahnya."
Hinata memandang iba. "Kau benar-benar sudah terjerat lintah darat dan sulit keluar rupanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet (NARUHINA)
Fiksi PenggemarHinata dan Naruto sama-sama menginginkan kemerdekaan dan kebebasan atas diri mereka sendiri. Hinata yang lari dari desa ke kota dengan berburu beasiswa agar terlepas dari sang ibu tiri, sedangkan Naruto lebih memilih kabur dari kediaman keluarga bil...