Chapter 02: Hati-Hati

76 12 0
                                    

"Erlan."

lelaki yang memiliki nama Erlangga itu menoleh, mendapati sang Bunda sudah bangun dari tidurnya.

Erlan langsung beranjak dari sofa yang tersedia diruang rawat Bundanya untuk membantu Bunda duduk diatas bangsalnya.

ia juga membantu membuat bangsal Bunda sedikit naik dibagian atas agar Bunda bisa duduk bersandar dengan nyaman.

Bunda menatap Erlan dengan lembut saat anak sulungnya itu masih sibuk membenarkan selimut yang dipakainya.

"kamu udah makan?"

Erlan tidak menjawab pertanyaan Bundanya, dia mulai duduk dikursi yang tersedia disebelah bangsal rumah sakit.

"sebentar lagi jam Bunda makan--"

"Bunda tanya kamu, Erlan."

Erlan menatap Bundanya yang sekarang sedang menatapnya dengan kerutan dialisnya, tanda bahwa Bunda sedang marah.

"habis ini Erlan makan."

"kapan?"

Erlan diam tak menjawab lagi pertanyaan Bunda.

"kamu bisa rawat Bunda selama ini setidaknya kamu juga gak lupa buat rawat diri kamu, Lan." Bunda menatap anak semata wayangnya dengan khawatir.

tangan Erlan bergerak untuk menggenggam tangan wanita satu-satunya yang sangat disayanginya. "Iya. Bunda."

Bunda melepas genggaman tangan Erlan dan mengalihkan wajahnya enggan melihat wajah anaknya. "sama aja kayak Ayahmu. Keras kepala."

Erlan tersenyum mendengar Bunda menyebut Ayahnya. "kesehatan Bunda itu lebih penting sekarang buat Erlan."

"kalo mau Bunda sehat, kamu juga harus sehat. Berhenti jadi keras kepala kayak Ayahmu, Bunda gak suka sifat keras kepala Ayahmu itu."

Erlan memilih tak merespon kalimat yang baru saja keluar dari mulut Bunda.

"kamu itu benar-benar wajah Ayah. tapi versi yang terbaik." ucap Bunda saat tak mendapat respon apapun dari anaknya.

terbaik?

memangnya selama ini Ayah belum cukup menjadi yang terbaik untuk  Bunda?

"maaf kalau Bunda terlihat haus perhatian dari kamu, Lan. Bunda bahkan ngelarang kamu untuk punya pacar cepat-cepat." Bunda menatap dengan kosong pandangan didepannya.

Erlan baru menyadarinya.

semua yang pernah Erlan pikirkan memang selalu benar adanya.

kalau Ayahnya,

"Bunda udah cukup hidup dengan orang yang tidak pernah mencintai Bunda. Sekarang waktunya Bunda merasa dicintai sepenuhnya oleh kamu, Nak. Jadi tolong berhenti bersikap seperti Ayahmu."

tidak pernah mencintai Bunda seumur hidupnya.

.
.
.
.
.

Erlan menutup pintu ruang rawat Bundanya pelan.

sebelumnya Erlan memberi tahu Bunda untuk keluar membeli makan malam untuknya. Tetapi langkahnya tak menunjukan bahwa ia akan pergi ke kantin rumah sakit.

Erlan melangkah tanpa melihat arah didepannya, pandangannya kosong menatap lantai rumah sakit.

kakinya melangkah tanpa tujuan, pikirannya terasa sangat kacau dan dia merasa ada sedikit rasa kecewa didalam dirinya.

Erlan selalu membanggakan Ayahnya, meskipun Ayah hanya menemaninya selama tiga tahun setengah.

Erlan yang saat itu masih sangat kecil tak mampu mengingat memorinya bersama Ayah. Tetapi yang pasti, sosok Ayah bagi Erlan adalah seorang Ayah yang hebat.

Blue, 1997.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang