Bab 6 | Kenyataan yang nyata

13 6 0
                                    

Aturannya, masa lalu hanya untuk dikenang, bukan diulang.

***

Suara adzan berkumandang. Nala bergegas membuka mata dan merapikan tempat tidurnya. Ia segera mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat subuh. Sebelum shalat subuh, ia shalat dua raka'at yang dimana tidak semua orang bisa melaksanakannya. Setelah itu baru ia shalat subuh dilanjut membaca dzikir dan surah Al-Baqarah 10 ayat setiap pagi. Agar semua berjalan lancar dan tidak ada halangan apapun.

Seusainya ia lanjut membangunkan kedua adiknya untuk segera bangun dan menunaikan shalat sebelum melakukan aktivitas. Nala lanjut memasak untuk bekalnya dan sarapan kedua adiknya.

Ia berjalan menuju kulkas dan mengambil beberapa bahan masakan, seperti telur, tempe, dan sayur kangkung kesukaannya. Kemarin malam ia sudah memotong tangkai dan daunnya agar pagi punya waktu banyak untuk bersiap-siap.

Suara deringan telepon membuat ia menghentikan pekerjaannya. Ia berlari menuju kamar untuk mengambil telepon genggamnya. Nama yang tertera adalah Ibunya. Ibu Nala bekerja di luar kota. Semakin banyak kebutuhan untuknya dan keluarga membuat Ibunya bertekad untuk bekerja menginap dan tidak pulang.

"Halo, Assalamualaikum." Suara dari seberang sana terdengar di log panggilan.

"Wa'alaikumussalam nopo, Bu?" ucap Nala bertanya.

"Wes tangi to? Tak kiro urung, ndang masak sek nak e," jawab Ibu. Ya, begitulah rutinitasnya. Selalu menelpon Nala setiap pagi. Karena Nala adalah tipikal anak yang bandel untuk bangun awal.

"Enggih, niki bade masak riyen," ujar Nala lalu menutup telepon dengan salam.

Ia mulai memotong tempe dan dimarinasi. Tak lupa mengaduk telur untuk digoreng dadar. Lalu dilanjut dengan memotong bawang putih, merah, dan cabai. Suara sentuhan pisau yang tajam menyentuh talenan yang ia gunakan untuk alas.

Nala menarik napas dalam-dalam dan membuangnya. "Kesalahan opo sing harus tak tebus nggo ngrasakne seneng?"

Ia meratapi nasibnya yang berbeda jauh dengan sebagian anak seusianya. Kadang dia merasa iri dengan teman-temannya yang selalu disiapkan apa saja dan selalu berkecukupan. Tapi dia juga nyaman dengan keadaan seperti ini, meski awalnya ia terpaksa harus menerima semuanya.

Terkadang menerima kenyataan memang sesulit itu. Harus banyak badai dan hantaman yang menabrak diri untuk jadi dewasa hingga menerima segalanya.

Dari usianya yang masih duduk di kelas lima SD dia seperti ini. Hanya saja sekarang semua terasa berat. Banyak beban yang ia rasakan untuk tumbuh menjadi kuat. Sekarang tidak ada lagi Nenek yang membantunya dan menuntun semua.

Bagi orang-orang ini hanyalah hal sepele, tapi jika merasakan sendiri pasti tau beratnya seperti apa. Bukankah Allah memberikan ujian pada pundak yang dianggap mampu? Tapi mengapa rasanya sulit bagi Nala untuk menerima semuanya?

Selesai masak, Nala menyiapkan bekalnya. Ia memasukkan Nasi, sayur, dan lauknya. Lalu mengisi air pada botol warna hijau kesayangannya. Setelah itu Nala bergegas menyiapkan seragam dan pergi membersihkan diri.

Pukul 06.00 WIB semua telah siap. Nala memakai sepatu dan memasukan kotak bekal pada tas tenteng khusus untuk kotak bekalnya. Anza sudah siap dengan semuanya dan sudah sarapan karena ia malas membawa bekal.

Anza dan Nala sekolahnya berbeda arah, jadi harus pergi lebih awal untuk mengantarkan Anda ke sekolah barulah dia berangkat ke sekolah. Butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk menempuh perjalanan sekolah pagi. Entah sampai kapan ia harus mengantarkan adiknya itu. Nala hanya bisa mengalah dan mengalah. Semua terjadi karena desakan dari keadaan. Yang sekarang ia lakukan hanyalah sabar menerima garis takdir yang sudah diedarkan untuknya.

***

Pukul 06.45 WIB untungnya Nala sudah memasuki kelas. Tepat waktu ia datang meski mepet jam masuk. Jika telat beberapa detik saja, tasnya akan diminta dan diberi poin pelanggaran sebanyak lima.

Semua murid di kelasnya sibuk dengan sendirinya sampai guru piket tiba-tiba masuk kelas dan memberi instruksi untuk segera menuju masjid. Setiap pagi di Madrasah ini melaksanakan shalat Dhuha dilanjut membaca surah Al-Waqiah.

Nala berjalan dengan membawa mukenanya. Kini ia sudah punya teman untuk kemana-mana. Dia adalah Amara. Satu-satunya teman yang punya frekuensi yang sama dengannya.

Mereka berjalan menyusuri koridor dan tak sengaja hampir saja menabrak anak laki-laki kelas sebelah. Untung saja tidak bersentuhan kulit, jika saja itu terjadi maka wudhunya akan batal. Sayang sunscreen yang dipakai jika harus wudhu ulang.

Nala hampir saja marah, namun jantungnya mendadak bergetar begitu cepat temponya.

"MasyaAllah, pangeran dari mana dia?" ucap Nala dalam hati. Lalu sesaat ia tersadar dan mengingat sesuatu. Ternyata dia orang yang bergabung di organisasi yang sama dengannya tempo hari yang lalu.

"Bukannya dia masih kelas X?" Tiba-tiba Nala mengerutkan keningnya. Dan ditepuk pundaknya oleh Amara.

"Kamu kenapa, La?" ucap Amara.

"Ha, enggak kok, ayo lanjut," jawab Nala lalu melanjutkan perjalanan menuju masjid yang berada di belakang dekat dengan parkiran belakang.

Tak butuh waktu lama tiba-tiba sholat segera dimulai. Amara dan Nala segera berlari mencari shaf kosong untuk ditempati.

Sholat berjamaah telah terlaksana. Dilanjut tilawah Al-Waqiah bersama. Setelah itu baru kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran seperti biasa.

Dia masih memikirkan apa yang baru beberapa menit yang lalu terjadi. "Siapa si dia namanya, kok mendadak amnesia sih," gerutu Nala.

"Heh, dipanggil tuh."

****

TBC!

Hai, gimana dengan part keenam? Sudah penasaran dengan kelanjutannya?

Jangan vote, komen, dan share ya teman-teman semuaa, satu dukungan dari kalian sangat berharga bagi sayaa, terima kasihhh, kritik dan saran sangat kupersilakan!

Jangan lupa mampir diigku @_aisss.nrhmfdl

Happy New Year kalian, semoga tahun ini bisa menuai apa yang kalian tanam!

See U!

#pensi #pensivol6 #eventpensi #eventwriting #teorikatapublishing #25dayschallenge

Setitik Asa Untuk Nala (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang