Bab 3 | Nala ingin sekolah

35 9 0
                                    

Semua itu tenang dan tentram. Yang berisik mulut orang yang suka mengusik!

***

Hari kelima Nala tinggal di Magetan. Keadaan semakin memburuk. Kadang saat malam, Nala suka mengigau memanggil Ibunya. Mai sebagai Kakak merasa kesal. Bagaimana tidak, ternyata semua tidak sesuai dengan ekspektasinya. Nala sangat rewel karena di usianya yang bisa dikatakan sangat kecil untuk jauh dari orang tua.

Ini hanya permulaan belaka. Entah bagaimana untuk tahun-tahun selanjutnya.

Mai meninggalkan Nala di rumah dengan Paman, karena Mai merasa dia juga ingin bersenang-senang untuk bermain dengan teman-temannya.

Nala selalu bermain sendiri, tak salah jika dia menangis karena kesepian. Mai hanya akan bermain dengannya saat malam saja, saat siang Nala tidak punya teman. Dia sering menghabiskan waktu bermain masak-masak di halaman barat rumahnya yang langsung terhubung dengan persawahan milik saudaranya.

Nala bermain dengan rumput dan bata merah yang rapuh. Seolah-olah dia adalah chef yang mahir, semua bahan dan alat permainannya sangat kotor sekali karena ulahnya. Tapi itu tidak membuatnya dimarahi, untung-untungan dia tidak rewel sudah syukur sekali orang yang mengasuhnya.

Di rumah Nenek, Nala tinggal bersama Mai–Kakaknya, Mas sepupu, Kakek, Nenek, Paman, dan Tante. Di rumah saat siang hanya ada Paman, Mai dan Mas sepupunya pergi main, sedangkan yang lainnya pergi bekerja pagi-pagi buta.

"Nala, bobok ayo wes bedug loh," ajak Paman kepada Nala untuk menyudahi bermainnya.

"Enggak, masih mau main aku ki." Sambil asyik mengulek daun Nala berteriak.

"Ayo nduk, kalau gitu maem dulu terus bobok, mengko main meneh." Sekuat tenaga Paman mencari cara untuk mengajak Nala istirahat.

Lalu tiba-tiba telepon dari HP paman berbunyi. Bapak menelpon di waktu yang tepat. Akhirnya Nala menjawab telepon dengan riang dan senang. Hingga pada akhirnya Nala mau istirahat dulu.

***
Adzan maghrib sudah berkumandang. Tiba-tiba Nala kumat dan membuat Kakek marah. Tak tahu kenapa Nala menangis, kedua Kakaknya pun tak mau mengakui apa yang terjadi tadi dengan Nala.

Nala menangis hingga terseguk-seguk. Nenek berusaha membujuk dengan mengatakan bahwa besok Ibu dan Anza akan datang lebih cepat. Namun usahanya tak juga membuahkan hasil.

Hingga akhirnya, Paman dan Tante membujuknya dengan membawanya jalan-jalan keluar naik motor setelah sholat. Syukurnya Nala mau dan menunggu sampai Paman dan Tante selesai sholat.

Setelah itu, Nala pergi dengan Paman dan Tante. Muter-muter jalanan desa yang kala itu lampu penerangan masih jarang ada.

Karena kecapekan akibat lama menangis, Nala akhirnya tertidur. Hal itu membuat lega rasanya. Usaha yang tak sia-sia kata Paman dan Tantenya.

Mendapati Nala tertidur, akhirnya bisa pulang dan beristirahat. Mengasuh anak balita memang membutuhkan kesabaran yang besar, karena dianggap banyak maunya.

***

Hari kedatangan Ibu dan Anza telah tiba. Pukul lima sore Ibu dan Anza datang diantar oleh Pak Puh–suami Budhe yang rumahnya di Madiun.

"Bapak ndak ikut?" tanya Nala dengan menahan tangis. Entahlah, rasanya rindu untuk bertemu dengan Bapak.

Karena di antara Nala dan Mai yang paling dekat dengan Bapak hanya Nala saja. Bahkan Bapak rela tidak kerja demi menjaga Nala.

Pernah ada satu kejadian di mana Nala kecelakaan akibat keteledoran yang menjaga Nala saat itu. Sampai beberapa minggu Bapak tidak kerja demi menjaga Nala agar tetap baik-baik saja.

"Kan Bapak besok sudah kerja, Nduk," kata Kakek membujuknya.

Nala berjalan menuju ke Ibunya dan memeluk. Biasanya Nala yang di pangku sama Ibu. Makanya Nala butuh Bapak, Nala merasa cemburu dengan Anza.

Nala hampir saja memukul Anza jika tidak diawasi. Untungnya Nala langsung ditarik Nenek untuk menjauh dari adiknya.

Nenek menyuruh Tante untuk menggendong Anza supaya Nala bisa dipangku Ibu. Nenek selalu tau apa yang di mau oleh cucunya itu. Maksud dan gerak-geriknya sudah ketebak. Karena waktu itu sudah surup, di mana Anza belum boleh ditidurkan, pamali katanya.

***

Waktu terus berjalan begitu cepat. Kini Mai sudah mulai memasuki Sekolah Menengah Pertama, namun dia masuk di Madrasah Tsanawiyah yang dekat dengan rumah. Nala sebenarnya juga sudah waktunya untuk masuk sekolah PAUD, hanya saja Ibu belum tega melepasnya.

Saat berbelanja dengan jalan kaki, Nala selalu melihat banyak anak seusianya sudah bersekolah, salah satunya Nakila sepupunya. Dia tidak merasa minder, namun Ibunya takut dia minder dengan teman-temannya itu. Nala hanya bisa tersenyum melihatnya. Hingga akhirnya Ibu menanyakan apakah Nala mau bersekolah? Dan jawaban Nala sudah cukup meyakinkan Ibu.

TBC!

Hai, gimana dengan part ketiga? Maaf yaa, kita akan kembali dengan masa kecil terlebih dahulu, baru masa dewasa hehehe.

Jangan vote, komen, dan share ya teman-teman semuaa, satu dukungan dari kalian sangat berharga bagi sayaa, terima kasihhh, see u!

#pensi #pensivol6 #eventpensi #eventwriting #teorikatapublishing #25dayschallenge

Setitik Asa Untuk Nala (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang