Kalau kata orang sebaiknya jangan terlalu berharap pada manusia, sebab manusia bisa berubah kapan saja tanpa diminta.
***
Kicauan burung terdengar riang di pucuk pohon. Matahari menyengat cukup terik pagi menjelang siang ini. Manusia di dalam kelas XI-D sedang berkutat dengan kertas ulangan harian. Suasana sepi dan tegang menyertai ruangan. Tiba-tiba hawa terasa tidak banyak oksigen. Semua memegang kepala dan suara decakan tak ada hentinya dilontarkan. Banyak yang mendadak tobat pagi ini.
Angka berderet dengan tersusun rapi di kertas berwarna putih. Hari ini ulangan harian Matematika Wajib dadakan. Ini adalah bentuk dari teguran paling sederhana menurut Guru Pengampu, tapi tidak dengan para siswa. Mereka merasa tersiksa dengan keadaan seperti ini.
Belum ada persiapan apa-apa, tapi sudah diberi ulangan tanpa aba-aba.
Nala duduk dibangku belakang paling pojok kanan. Dia mengerjakan dengan tenang, aman, dan damai. Meskipun otaknya sudah ingin meledak aslinya. Ulangan dilaksanakan open book, namun yang menjadi kesulitan adalah ini materi baru yang bahkan belum dijelaskan lebih detail, hanya baru pengenalan rumus-rumus saja.
Nala mengamati teman di sekelilingnya. "Ini mudah, ya? Kok banyak yang tenang?"
Dia tidak tahu saja sebagian anak sudah berdecak kesal karena belum paham dan belum mampu untuk mengerjakan soal-soalnya. Apa mungkin dia budeg? Atau memang pura-pura tidak tahu?
Hari apes tidak ada yang tahu, sebab guru pengampu Matematika selalu kurang bagus moodnya. Tidak semua, tapi pasti kebanyakan begitu.
Terlihat Bu Ana–Guru Matematika Wajib kelas XI-D mendadak meninggalkan kelas, kini suasana langsung mendadak riuh untuk mencari contekan. Nala duduk di kelas yang lebih dominan MIPA makanya selalu di serang pelajaran yang penuh dengan angka.
Banyak anak yang saling debat karena mempermasalahkan jawaban. Nala hanya bisa tolah-toleh tak jelas. Menurutnya ulangan kali ini sangat mudah baginya, tapi tidak tahu hasil akhirnya. Apakah dia mendapatkan nilai tinggi atau sebaliknya?
Nala dari SD suka dengan pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia. Biasanya nilai keduanya dominan setara di rapot.
"Nala, iki piye?"
Saat hendak Nala menjawab, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. Semua diberi kode untuk segera duduk dibangkunya masing-masing.
"Sudah?" tanya Bu Ana yang datang secara tiba-tiba.
"Belum? Soal mudah gitu masa gak bisa?"
Rasanya seperti ada yang tertusuk, tapi tak ada luka. "Nala, sudah?"
"Sedikit lagi, Bu," jawab Nala ragu-ragu.
Dia ragu dengan jawabannya. Memang soalnya cukup mudah, tapi dia belum mahir di bab ini. Dia ingat sedikit-sedikit dari materi saat bimbingan olimpiade yang dia ikuti, yaitu Matematika.
"Sepuluh menit lagi dikumpulkan!"
***
Suara tembakan push rank mendominasi di dalam ruang kelas X-C. Anak laki-laki sedang asyik dengan ponsel miringnya. Beberapa di antaranya sudah menata singgasana untuk tidur. Jamkos sering terjadi di kelas ini. Bukan karena anaknya bandel atau nakal, tapi memang guru-gurunya lebih sering tabrakan jadwal dengan kegiatan di luar.
Suaranya terdengar samar-samar, meski di dalam kelas sedang kosong, anak-anak tetap menjaga kondusif suara agar tidak banyak guru yang menegurnya. Kelasnya sangat unik, solid, dan tidak egois satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setitik Asa Untuk Nala (ON GOING)
Dla nastolatków"Kenapa, Dek?" "Izin mau ke kamar mandi, Kak," ucap Nala, dan diangguki oleh teman satu kelompoknya. Orang bertanya itu tiba-tiba melenggang pergi tanpa berhenti sama sekali dengan motornya. "What the hell? Anjir, malah ditinggal lagi, bukannya berh...