Bab 10 | Rasa Trauma

5 0 0
                                    

Maaf, aku egois. Tapi aku berhak untuk bahagia, kan?

***

Dentuman suara pintu menabrak dinding terdengar sampai seluruh penjuru rumah. Aku menangis di sudut kamar merasakan ketakutan. Bagaimana tidak, hal yang aku takuti kini kembali terjadi. Ibu kembali gali lobang tutup lobang. Tak tahu harus berbuat apa.

Rasanya cemas, takut, dan tak terarah lagi aku harus kemana. Semua terasa datang bersamaan. Aku kembali sendiri. Teman-temanku entah pergi kemana sekarang. Aku benar-benar sendiri. Tak ada teman dalam sepi.

Bagaimana bisa aku melawan semua ini sendiri. Bahkan keluarga yang menjebak Ibu seperti ini tak mau tahu, dan tak ingin ikut campur. Manusia bajingan seperti mereka harus diberi pelajaran. Sesuka hati memperlakukan manusia layaknya binatang.

Tapi aku tak memiliki kuasa. Bahkan Ibuku sudah hancur diinjak-injak oleh mereka. Aku sakit melihatnya. Tapi aku tak bisa apa-apa. Aku menangis tak suara saja yang bisa. Seandainya semua bisa terulang, aku tak ingin membebani Ibu dengan kelahiranku.

Semua salahku. Aku yang memilih untuk menjawab pertanyaan tujuh puluh tujuh kali dari malaikat. Jika aku benar-benar yakin dengan jawabanku yang terlebih dahulu, mungkin semuanya tak begini. Aku tak melihat pertengkaran banyaknya binatang untuk menyerang Ibuku sendirian.

Bapak tak peduli dengan keadaan seperti ini. Seakan dia meremehkan semuanya. Bagaimana mungkin Ibu bisa menang melawan semua orang yang menyerang.

Teriakan Ibu dengan tangisan itu benar-benar memekik di telingaku. Panas rasanya mendengar ini. Seandainya Bapak di sini, mungkin Ibu tak akan seperti ini. Tapi, ah sudahlah!

Anak kecil yang ikut tumbuh bersamaku meronta untuk berteriak di hadapan mereka. Tapi aku kini sudah tumbuh menjadi seorang remaja yang tak tau apa-apa. Ingin membela Ibu, yang ada aku akan ikut terserang sendiri.

Dengan banyak niat, aku keluar kamar dan menarik Ibu. "Sudah Bu, sudah!"

Aku masih dengan keadaan menangis. Hatiku teriris mendengar fitnahan yang begitu besar ditujukan. Manusia tidak memiliki akal sehat seperti mereka pantas untuk dibebaskan?

"Ayo Bu, sudah. Ayolah Bu, hentikan ini," ucapku dengan nada disertai tangisan. Aku menarik tangan Ibu untuk menjauh dari manusia-manusia jahanam itu.

Aku langsung memeluk Ibu. Menenangkan keadaan agar Ibu tak semakin emosi. Di antara banyaknya manusia. Ibuku sendiri tanpa ada seorang pun yang menyangganya.

Bahkan orang tuanya sendiri yang membuat Ibuku seperti. Keluarga egois, tak tahu malu!

"Mati saja kau bocah sialan!"

"Harusnya kamu gak sekolah!"

"Bebanin hidup aja kamu sekolah!"

"Beban!"

Aku berteriak dan menutup telinga rapat-rapat. Pekikan itu benar-benar menyakitkan. "Diam!"

***

Aku terbangun membuka mata melihat sekeliling. Ternyata aku berada di kelas, lalu tadi? Rasanya seperti benar-benar nyata adanya. Bagaimana bisa aku memimpikan hal itu?

Jilbabku basah dengan keringat. Waktu sholat Dzuhur telah tiba. Teman-temanku terpelongo dan khawatir melihat aku bangun dengan berteriak.

"Nala kamu gapapa?" tanya Amara mendekatiku.

Aku mengusap keringat yang bercucuran di kening. "Enggak kok gapapa."

Jantungku masih berdebar-debar. Panik, cemas, takut, dan campur aduk. Rasanya bingung. Kenapa aku tiba-tiba mimpi hal itu? Kejadian yang paling aku benci!

Di mana aku merasakan trauma yang membekas sampai sekarang.

"Ayo wudhu, terus sholat. Tenangkan dirimu dulu, Na," kata Amara menarik tanganku yang padahal aku masih duduk dan mencoba untuk mencerna mimpi barusan.

"Na?"

"Ha, iya ayo!" Aku langsung beranjak untuk pergi menuju kamar mandi.

Amara jalan berdampingan dengannya. Dia terus memandangku seolah dia bertanya-tanya, ada apa denganku?

"Aku gapapa, Ra. Kamu kenapa si?" kataku menyakinkan Amara.

"Kamu pasti ada apa-apa, coba cerita!" Amara terus memaksa aku untuk bercerita. "Tapi kalau kamu gak siap, gapapa kok."

Aku hanya tersenyum sambil terus berjalan menuju kamar mandi. Kelasku dengan kamar mandi cukup jauh, harus melewati lapangan tengah baru bisa sampai. Sebenarnya ada koridor, tapi lebih enak lewat lapangan karena lebih cepat.

Sesampainya di depan kamar mandi, aku dan Amara mendapati tak banyak orang yang mengantri, sebab kita berdua datang lebih awal sebelum pukul 12.30. Biasanya jam-jam tersebut rawan antri.

Setelah mendapat kamar mandi kosong, aku dan Amara bergantian untuk berwudhu. Lalu kembali ke kelas untuk mengambil mukena dan berjalan menuju Masjid belakang.

Saat aku berjalan menuju Masjid, tak sengaja mataku tertuju pada sosok pujaan yang memanah perasaan. Mataku membulat dan kagum padanya. Sandyka Langit, manusia yang diciptakan untuk bisa aku kagumi. Lebih dekatnya, dia aku jadikan sebagai adik laki-lakiku. Aku tak sengaja menarik bibir ke atas dan menunjukkan senyuman.

Sesaat aku sadar dari khayalan yang liar. Untung saja Amara menyenggolku. "Na?"

"Ayo, cepat!" Aku menahan malu karena tak sengaja menampakkan rasa suka pada orang lain. Amara hanya senyum-senyum dan mematung di depan kelas Sandyka. Dia hendak mengejekku, tapi aku berjalan terlalu cepat hingga dia tertinggal.

Jantungku berdebar kencang. Rasanya ingin menghilang. Tapi apa boleh buat?

****

TBC!

Haloo, gimana nih, udah siap dengan kelanjutannya? Apakah Sandyka juga mengagumi Nala? Yuk, stay tune yaaa!

Jangan lupa vote, komen, dan share yaa!

See u!

#eventpensi#teorikatapublishing#25daychallenge#pensivol6

Setitik Asa Untuk Nala (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang