Bab 13 | Pasti bisa!

3 0 0
                                    

Layaknya senja kamu itu sempurna sepertinya.

***

"Bu Ana mang perasaan gak neng kelas deh, kok ujuk-ujuk metu."

"Kaget sampe losetreak," ucap Sandyka mencoba untuk memaksakan tersenyum.

"Sumpah?!" Gelak tawa mendominasi ruang jurnalis. Sungguh malang sekali nasib Sandyka ini. Salah siapa mau ganggu orang masih on game.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Nala datang wajah sumringah dengan mengedipkan mata yang terpaksa senyum dan terlihat kelelahan.

"Bar garap Matematika mencoba untuk bahagia." Natha tertawa semakin terbahak-bahak melihat wajah kusut Nala yang kelelahan dengan mengacungkan jempol tangannya.

"Bzirlah kata aing teh." Nala langsung duduk dan membantingkan tubuhnya di bawah kipas ruang jurnalis, yang kebetulan ruangan tersebut beralaskan karpet berwarna hijau.

"Terbaik," kata Andika tiba-tiba mengeluarkan jempolnya seperti karakter Boboiboy.

Plak

"Huh, Mbak Nala ki," ucap Andika yang setelah digeplak oleh Nala kebetulan sebelahnya ada Sandyka dan Andika. Entah sejak kapan bocah ingusan itu suka menjarak alias menggoda Kanala.

"Mantap." Semua tertawa terbahak-bahak sampai tersedak.

Ekspresi dari kedua belah pihak antara korban dan pelaku itu pun tidak menguati kalau kata orang Jawa, wajah tak bersalah tanpa dosa dan membutuhkan belas kasihan.

Nala tak sengaja menampar pipi sebelah kanan milik Andika. Yang pasti sudah sakit itu yang dirasakannya.

Sandyka masih disambi dengan game yang dimainkan. Dia masih tetap memantau teman-temannya, termasuk Nala. Entah apa yang membelit pikirannya itu.

Layaknya senja yang dipandangi, Sandyka memandang Nala seperti ada sebuah kekaguman yang dirasakan.

"Opo we delok-delok," cetus Nala yang memergoki Sandyka ketiga memandanginya.

"Pede sekali kata gue mah," ucap Sandyka melanjutkan gamenya.

Nala hanya memekarkan hidungnya yang pesek sambil melirik samping.

"Ada isu beredar tentang kalian berdua dekat!" Tiba-tiba Nala tersedak oleh air liurnya karena pernyataan tersebut.

"Opo seh," kata Nala bangkit dari tidurnya lalu mencari botol air minum.

"Ngaku saja kalian, soal e iki wes dadi bahan incaran e cah-cah," ucap Fardila setelah memantau akun secret yang postingannya sudah seperti lambe turah.

Nala meneguk air dari botol minum yang ia tinggal tadi pagi saat sebelum sholat Dhuha.

"Arek og gak tau genah."

Sandyka hanya menunjukkan senyuman miringnya seolah-olah dia memiliki sebuah rencana dibalik isu ini.

***

"Bocah kok goblok, busok dipendem dewe!"

Kanala yang baru saja memasuki rumah sudah mendengar cacian yang menohok hati. Pukul lima lewat dua puluh dia baru saja menginjakkan kakinya di rumah, sebab tugas jurnalis dan kelompok kelas memiliki jadwal yang bertabrakan.

Nala hanya bisa menghela napasnya pelan-pelan. Dia juga menahan agar air mata tidak terjun dengan bebas. Ia langsung menaruh tas-tasnya di atas meja dekat kulkas depan kamarnya. Melepas rok seragamnya dan kerudungnya. Dia hanya memakai baju seragam dan celana legging rangkepan roknya. Di rumah dia tidak pernah memakai jilbab.

Dengan sigap Nala segera membersihkan gelas dan piring kotor yang menumpuk di atas meja dapur. Membersihkan setiap kotoran yang ada di meja dari sisa-sisa masaknya setiap hari.

Karena berangkat ke sekolah harus pagi, ia tak sempat membersihkan sisa-sisa bahan masakan di dapur. Tapi tak terlalu berserakan, Nala juga tetap merapikan dan menaruhnya di tempat nampan agar terlihat rapi.

Karena dapur masih beralas tanah seperti rumah dulu, sebab ia masih tinggal satu rumah dengan Kakeknya, tidak dengan Neneknya. Nenek Nala sudah tenang di sana. Maka dari itu, ia harus sabar menghadapi semua ini.

Kata cacian yang menohok hati tadi ditujukan padanya dan kedua adiknya. Nala hanya bisa diam tanpa membantah. Bukan karena takut, tapi dia sudah lelah dengan kegiatan seharian ini. Bahkan tak ada yang membantunya saat membereskan semua peralatan dapur. Kedua adiknya berdiam di kamar dengan memandangi ponselnya. Emosi Nala belum meledak, jika sudah meledak semua tak ada yang berani berkutik sekali pun.

Selama dia membersihkan dapur, Kakeknya terus-menerus memarahi dan mencacinya. Nala hanya diam dan melanjutkan semua pekerjaannya di dapur.

Dirasa sudah bersih dapurnya setelah di sapu dan dibuangnya sampah-sampah, Nala lanjut membawa peralatan dapur yang kotor ke belakang untuk di cuci.

Ia mengambil piring dan gelas yang menumpuk di ember untuk dikeluarkan, dan embernya diganti dengan air bersih. Satu persatu gelas dan piring ia gosong dengan spons cuci piring. Pertama ia akan mencuci gelas terlebih dahulu, dan paling akhir adalah sendok dan garpu.

Nala sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah seperti ini, hanya saja satu dia tidak dipaksa untuk mengerjakan.

Ucapan demi ucapan dan lontaran cacian masih terdengar jelas di telinganya. Kakeknya yang sudah tua, masih saja terus menyalah-nyalahkan, memarahi hingga membentak Nala dan kedua adiknya. Semua dicari kesalahannya untuk menjadi bahan amarahnya.

"Kabeh barang-barang dibruk-brukne, koyo gak due nggon arep ditoto!" Kanala yang masih membilas cucian piring itu pun cuma menghela napas dan terus beristighfar. Kejadian seperti ini akan terus ter-ulang sampai kapanpun.

Sejak dua tahun yang lalu, dia serumah dengan Kakeknya, meski beda tempat. Sebab, rumah Kakek di sebelah utara dan bagian punya Ibu Nala di sebelah selatan. Tapi dapur rumah masih menjadi satu berada di tempat Nala.

Dari kecil Nala sudah terbiasa mendengar suara bentakan keras yang nyaring itu. Bahkan dia sudah terbiasa dengan tekanan keadaan.

"Seandainya Bapak sama Ibu gak sama-sama egois, mungkin keadaan gak sampe seperti ini," ucap Kanala dalam hati.

Seolah-olah dia merutuki keadaan seperti ini. Tapi coba bayangkan, apa kamu bisa menjadi peran pengganti Ibu sekaligus Ayah di rumah untuk menjaga rumah? Kanala termasuk anak yang hebat, dia mampu dan bisa menerimanya. Meskipun dia tak sepenuhnya bisa dan yakin dengan ini semua.

"Kowe ki yo kok goblok men, surup lagek muleh!" Tiba-tiba Adiknya datang dan menyalahkan Nala.

Kanala masih diam terpaku, dan tak habis pikir. Adiknya yang tidak membantu pekerjaan rumah sekalipun melontarkan kata-kata yang menohok?

Terdengar suara adzan Maghrib berkumandang. Nala tak menggubris adiknya lalu dia mengambil baju ganti di kamarnya dan pergi mandi untuk membersihkan diri. Lalu, dia melaksanakan sholat Maghrib.

Seusai sholat, Nala tak kuat menahan air mata yang ia tahan. "Ya Allah aku capek."

****

TBC!

#eventpensi#pensivol6#teorikatapublishing#

Setitik Asa Untuk Nala (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang