08. Senyum Batavia

299 19 0
                                    

Bab 8

Aira berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar milik Zero. Sudah lebih dari 30 menit, dia disana tanpa melakukan apapun. Keberaniannya mendadak ciut saat akan mengetuk pintu, membuatnya mengurungkan niat.

"Ayo Ai! Harus berani. Berani berbuat harus berani tanggung jawab. Harus minta maaf ke Kakak, jangan sampe besok pagi masih marah."

Aira jadi teringat sebuah hadits yang berarti; "Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak bertegur sapa pada saudaranya lebih dari tiga hari lalu meninggal dunia maka ia akan masuk ke dalam neraka."

Bukannya semakin yakin, Aira malah kembali pesimis dan berbalik masuk ke dalam kamar mengurung diri. "Besok aja minta maafnya, kalo sekarang yang ada Kakak tambah marah."

Tapi bukannya semakin tenang, Aira malah semakin overthinking. Dia kembali keluar dan langsung masuk ke dalam kamar Zero, setelah mengetuk pintu. Kakaknya menoleh dan menatap tanya ke arahnya meminta sebuah penjelaskan.

Aira salah tingkah merasa malu karena asal masuk kamar tanpa izin. Dia menunduk untuk menutupi wajahnya memerah. Tapi dia tetap pada niat awal untuk segera minta maaf. "Ai mau minta maaf soal tadi. Ai bener enggak sengaja dan lupa. Baterai laptop Ai habis. Makanya pindah ke perpus, sangking paniknya Ai lupa kasih kabar ke Kakak."

Setelah mengatakan  itu, Aira melanjutkan permohonan maafnya. "Ai juga tau. Kak Zero pasti udah bosen  setiap Ai minta maaf hal yang sama. Tapi Kakak harus tau, Ai tulus minta maafnya."

Aira menyerahkan sebungkus coklat yang dia beli saat di kampus. Karena Zero tak juga menerima, Aira menaruhnya di meja belajar saja. Lalu langsung kembali ke kamarnya tanpa pamit, karena takut Zero bertambah marah.

Sedangkan, Zero sendiri sudah menahan tawa, agar tak pecah melihat Aira yang terlihat lucu. Dia memang sengaja pura-pura marah, tapi tak pernah terpikir effort Aira untuk meminta maaf sebanyak ini.

"Bisa romantis juga Adek gue," ujar Zero menatap coklat yang tadi diberikan Aira. Dia kembali melanjutkan kerja yang belum selesai.

𓅪𓅪𓅪

Kondisi Zaidan mulai membaik setelah beberapa hari dirawat inap. Dan saat ini dia sedang bersiap-siap untuk kembali ke rumah, dibantu oleh Jihan yang datang menjemputnya bersama Aba Zaaki. Sedangkan Umma Azrina memilih untuk tinggal di rumah untuk menyiapkan makan siang.

"Udah semua kan?" tanya Jihan sambil memeriksa kembali tas yang berisi beberapa pakaian Zaidan.

"Iya, tadi udah Abang cek lagi  kok." jawab Zaidan yakin.

"Kalo udah semua, ayo pulang!" ujar Aba Zaaki yang sedari tadi memperhatikan kedua anaknya.

Setelah memastikan semua sudah lengkap dan tidak ada yang tertinggal. Akhirnya, mereka memutuskan untuk segera pulang. Saat di perjalanan pulang Zaidan dan Aba Zaaki mengobrol hal random, mulai dari kondisi politik saat ini, di lanjutkan dengan cerita awal pertemuan Aba Zaaki dan Umma Azrina hingga berakhir dengan salah satu kisah legenda di  Aceh. Sedangkan Jihan yang duduk di belakang hanya menyimak sambil menikmati permennya.

Tak terasa, mereka akhirnya sampai di rumah. Saat Zaidan turun, dia melihat ada dua mobil yang sudah sangat dia kenali terparkir di depan rumahnya, mobil berwarna merah milik Nando dan mobil warna hitam milik Samudra.

Zaidan masuk kedalam diikuti oleh Jihan, sedangkan Aba Zaaki tengah berbincang dengan Pak Anton, pemilik rumah yang bersebelahan dengan rumah mereka.

"Assalamu'alaikum," ucap Zaidan dan Jihan bersamaan.

"Wa'alaikumussalam," jawab Umma Azrina dan Nando.

Zaidan langsung saja menyalim Umma Azrina, yang tentunya juga dilakukan oleh Jihan. Mata Zaidan melirik kearah dapur dimana dua sahabatnya tengah mengupas bawang dan juga memotong sayur untuk lauk makan siang mereka.

"Yo, bro. Welcome home.... Srot!" sambut Nando, matanya terlihat berair akibat mengupas bawang.

"Itu ingus lo jangan sampe kena bawang," ucap Zaidan ngeri.

"Aman, tenang aja dah." jawab Nando yang lanjut memotong bawang.

Sedangkan Samudra dia terlihat sangat fokus saat memotong wortel dan beberapa sayur lainnya untuk kuah  soup.

"Umma, ada yang bisa Jihan bantu?" tanya Jihan pada Umma Azrina yang baru saja selesai membersihkan ikan.

"Enggak ada, Dek. Biarkan anak-anak lanang Umma yang masak hari ini," jawab Umma Azrina sambil tersenyum.

"Beneran?" tanya Jihan sekali lagi.

"Iya. Nanti Umma panggilin kalo Umma butuh bantuan Adek."

"Baiklah. Kalo gitu Jihan naik ke atas dulu." Pasrah Jihan, dia melirik kearah Zaidan sebentar dan juga kearah sahabat-sahabat Zaidan sebelum akhirnya menaiki tangga untuk ke kamarnya.

"Padahal baru keluar rumah sakit. Bukannya istirahat malah rusuh di dapur," gumam Jihan pelan, saat melihat kakaknya begitu bersemangat ikut membantu masak-masak di dapur.

Suasana di dapur benar-benar terasa ramai dan heboh, mulai dari Nando yang berteriak karena minyak yang meletus saat goreng ikan, hingga Samudra yang hampir menuangkan setengah toples garam. Zaidan hanya bisa pasrah saat mengajarkan sahabat-sahabatnya memasak dengan benar dan aman untuk di makan.

𓅪𓅪𓅪

Disisi lain, Aira sedang menunggu jemputan entah siapa yang akan menjemputnya nanti, dia hanya menguhubungi bunda. Tadi pagi dia berangkat di antar ayah, karena dia yang memohon. Aira masih berasa takut dan tidak enak hati pada Zero akibat kejadian kemarin.

Dia sudah berdiri di depan kampusnya selama 15 menit. Lalu, sebuah motor yang tak asing berhenti tepat di depannya. "Ayo naik!"

Aira terkejut, dia merasa seperti mimpi. Yang baru saja mengajaknya adalah sang kakak. "Kakak udah enggak marah?"

"Mau pulang atau di tinggal?" tanya Zero tanpa menjawab pertanyaan Aira, membuat si empu terburu-buru naik di jok bagian belakang.

🐼🐨

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Hayo!! Siapa yang masih merayakan tanggal 14 ini?
Jangan ya guys! Itu bukan budaya kita. Jangan pokoknya.

Mendingkan kalian baca wattpad kayak sekarang, iya enggak?

Jangan lupa buat vote spam komen dan share!!!

🐨🐼, 14 Februari 2024

Senyum Batavia✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang